Setiap Jumat nenekku akan datang ke rumah. Setelah berbasa-basi tentang kesehatannya yang semakin memburuk, ia akan menyampaikan rangkuman hasil tontonannya sejak Jumat lalu. Belakangan, dengan nada terheran-heran, ketakutan, dan juga tidak terima, ia selalu bercerita kepada kami tentang aneka bencana yang ditayangkan di berita.
“Dunia sudah tua!” Katanya, berkali-kali. Kedua tangannya gemetar. Seolah berita yang ia tonton telah membuat kesehatannya semakin memburuk.
Sejak gempa 2018 lalu, ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Ia tinggal di hunian sementara yang semakin sepi setiap hari. Ada saja tetangganya yang pulang karena rumah mereka telah selesai dibangun. Atau, sekurang-kurangnya memiliki tempat lain yang bisa dihuni selain hunian sementara. Mengobati rasa kesepiannya, ia menjadi semakin sering berada di depan televisi.
Sebelum gempa, ia memiliki cukup banyak aktivitas. Salah satunya membuat gorengan yang ia jual di depan sebuah rumah sakit di dekat rumahnya. Ketika gempa, rumahnya rusak. Kerusakan yang tidak langsung ambruk. Rumahnya masih berdiri tetapi temboknya telah retak-retak dan setiap kali coba-coba masuk kematian terasa persis berada di ujung hidung.
Berkali-kali ia mencoba melakukan sesuatu untuk mengisi waktu. Membeli benang dan membuat taplak meja atau topi untuk cucu-cucunya. Kemudian taplak meja dan topi buatannya telah menumpuk. Seluruh cucunya telah kebagian. Tak ada yang membutuhkan topi atau taplak meja buatan tangannya. Topi atau taplak meja bukan barang yang dibutuhkan setiap hari. Jauh lebih dibutuhkan sepotong ikan asin.
Ia kemudian benar-benar menghabiskan waktu di hunian sementaranya bersama televisi yang menyala hampir sepanjang waktu. Hunian sementara miliknya hanya berupa rumah berbentuk kotak, berdinding triplek dan beratap sangat rendah. Di tempat inilah ia baru menyadari dunia yang ia huni telah jauh berubah. “Kalau panas, panas sekali. Kalau hujan, ndak henti-henti!” Katanya. Jelas ia tengah mengeluh.
Ketika sampai di tempat kami, ia sering bercerita tentang dunia ketika ia masih kecil. Tidak begitu banyak manusia. Tidak terlalu panas. Tidak banyak bencana. Pendek kata, lebih baik ketimbang sekarang. Terkadang ia menyalahkan manusia yang sering merusak lingkungan, terkadang ia menyalahkan dirinya sendiri, dan lebih sering ia hanya geleng-geleng. Terbebani sekali. Mungkin tidak tahu lagi hendak menyalahkan siapa.
Saya sebagai cucunya merasa paham ia tidak kerasan lagi di dunia ini. Usianya cukup tua. Rekan-rekannya telah pergi lebih dulu. Pergi dari dunia ini maksud saya. Anak-anaknya telah menikah, memiliki keluarga sendiri. Menetap dengan salah satu anaknya tidak bisa ia lakukan. Ia merasa akan menjadi beban anak-anaknya jika tinggal bersama mereka. Sekalipun anak kandungnya sendiri.
Saya membayangkan bagaimana beratnya berada di posisi dia. Seorang perempuan tua, seorang diri, di tengah-tengah bencana yang terus mendera. Bukan hanya gempa atau corona, ia juga memelihara persoalan-persoalan sepele yang kerap sangat mengganggunya.
Ketika orang-orang meninggalkan tungku dan menggunakan cara yang lebih instan, ia tetap setia dengan cara lamanya. Ia menolak kompor gas karena ia sangat yakin tangannya akan membuat kompor gas meledak dan rumahnya habis terbakar. Setelah gempa terjadi, ia masih tetap teguh pada pendiriannya meskipun tidak punya rumah lagi yang bisa dilahap api. Ketika musim hujan tiba, urusan memasak dengan kayu bakar menjadi masalah juga. Ia menjadi lebih sering mengutuk langit lantaran kayu bakar yang ia simpan di dekat huniannya basah kuyup.
“Lebih baik saya yang basah,” katanya.
Hebatnya, meskipun mengalami begitu banyak cobaan, ia pada akhirnya selalu bisa melihat sisi baik dari setiap bencana yang menimpa. Ketika kayu bakarnya basah, ia berkata: beruntung si A kasih terpal buat tutup, bisa selamat satu dua. Dan tampak wajahnya yang tadi tertekan sedikit cerah.
Ketika gempa keras merobohkan rumah-rumah warga dalam sekejap, ia hampir saja mati. Karena semakin banyak manusia, rumahnya yang dulu berada di tempat lengang pelan-pelan terdesak, terjepit dari segala arah. Jelas ia kesusahan untuk menyelamatkan diri apalagi di tempat yang tidak menempatkan pengetahuan akan bencana sebagai hal utama. Apalagi manusia setua dirinya. “Beruntung saya sedang keluar beli telur!” Katanya.
Sesungguhnya bukan hanya dia. Sebagian besar kita juga selalu berhasil melihat sisi baik dari setiap bencana yang menimpa. Ketika kecelakaan terjadi, keberuntungan masih bisa dirasakan karena masih ada anggota keluarga yang selamat dan sebagainya. Atau, ketika banjir melanda, tidak sedikit yang merasa beruntung karena air baru sampai betis. Pun, jika banjir telah mencapai atap rumah, selalu bisa ditemukan hal menguntungkan lainnya.
Cara pandang seperti ini tanpa disadari memberi sedikit kelegaan dalam kehidupan keras yang semakin mencekik. Itu sesungguhnya pertanda dari masih adanya harapan. Seperti nenekku, ketika ia merasa benar-benar dunia akan kiamat, ia beruntung masih bisa menonton televisi. Meskipun yang ia tonton memaksanya harus pintar-pintar mencari sisi baik lain dari kepungan bencana yang tampak tidak mungkin untuk dihindari.[]