“Manungsa kuwi gampang lali, Le. Mula kowe kudu sregep nyatheti. Nyatheti opo wae kanggo pangeling-eling. Mbesuk yen simbah lan ibumu wis ora ana, cathetanmu kuwi bisa dadi gantine wong tuwa. Bisa dadi buku. Bisa ngandhani lan ngelingake sing lali…”
~Jejak Tapak, halaman 52~
/0/
Petuah sang kakek di halaman 52 adalah jantung dari denyut narasi buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung. Sebuah pitutur yang menuntun seluruh fragmen dalam karya ini. Iman Budhi Santosa (IBS) tak mencatat demi mengingat. Ia mencatat karena mencintai. Mengerti bahwa suara-suara kecil akan menguap dan lenyap, tak sempat jadi sejarah.
Buku ini terbagi dalam tiga bentang waktu. Ia dibuka dengan kenangan masa kecil di Magetan, kaki Gunung Lawu—tanah lahir, tanah mula, tempat tubuh pertama-tama mengenal makna. Lalu bergerak ke Medini, lereng Prau dan Ungaran, saat IBS mulai bekerja, mulai membaca dunia sebagai sistem nilai yang menuntut keterlibatan. Dan akhirnya Boyolali, di bawah bayang Merbabu, tempat proyek Teh Rakyat menggambarkan pergeseran dari kesadaran personal menuju praksis sosial—dimensi yang menubuh dalam kerja, relasi, dan pengabdian.
Tulisan ini hendak membaca Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung sebagai sebuah arsip kultural: dokumen hidup dari pengalaman yang tertanam dalam bahasa dan laku. Memoar ini, dalam kerendahannya yang jujur dan puitis, menawarkan narasi tandingan—terhadap sejarah resmi, pembangunan yang melupakan akar, serta modernitas yang terlalu tergesa.
Lewat fragmen-fragmen tentang wong cilik, tumbuhan, binatang, pengalaman ajaib, dan tindakan sehari-hari, IBS hendak menunjukkan bahwa hidup merupakan hubungan yang berakar pada bahasa ibu, tanah, dan kebijaksanaan lokal.
/1/
IBS menyusun kenangan sebagaimana ingatan bekerja, dengan lompatan-lompatan liar yang jujur, melintasi peristiwa melalui simpul emosi. Pengalaman menjadi lanskap rasa. Dan lanskap itulah yang ia gambar ulang—dengan bahasa yang cermat dan akrab.
Ketika IBS mengingat larangan sang kakek untuk tak bersampan di Telaga Sarangan, yang ia sebut hanya sekilas: bahwa larangan itu berakar dari kematian kakak ibunya di telaga yang sama. Tak ada narasi tragik, tak ada dramatik. Yang ada adalah rasa yang diwariskan, menjadi semacam etika diam-diam dalam hidup anak kecil: bahwa takut pun bisa diwariskan.
“Jika selama ini saya agak takut naik sampan atau rakit, mungkin alasannya sederhana, karena sejak kecil tidak pernah naik sampan atau rakit. Sewaktu ke Telaga Pasir, Sarangan, selalu dilarang kakek bersampan karena kakak ibu ada yang meninggal di telaga tersebut.” (hlm. 11)
Ingatan itu, yang bisa saja dianggap remeh oleh pembaca yang terburu-buru, sebenarnya bentuk paling murni dari tradisi. Sebab dari hal-hal kecil—yang tak pernah dicatat dalam buku pelajaran—kita belajar bahwa pengetahuan tak selalu berbentuk teori, dan kebijaksanaan tak selalu perlu nama.
Begitu pula ketika IBS menyinggung tentang ulat matahari, bagaimana rasa gatal dan panas yang ditimbulkan bulunya bisa diobati hanya dengan menyentuhkan bagian tubuh yang terkena ke rambut nenek yang berminyak. Bukanlah sekadar anekdot masa kecil. Ia sejenis pengetahuan yang tak diajarkan, melainkan diwariskan. Ia tidak datang dari seminar atau buku teks, tetapi dari keakraban tubuh dengan tubuh, sebentuk embodied knowledge (pengetahuan pergaulan tubuh dalam tradisi lisan). Ia lahir dari kedekatan anak dengan orang tua, dari praktik hidup yang nyaris tak pernah dianggap penting—padahal dari sanalah hidup dilanjutkan.
“Sebab dari hal-hal kecil—yang tak pernah dicatat dalam buku pelajaran—kita belajar bahwa pengetahuan tak selalu berbentuk teori, dan kebijaksanaan tak selalu perlu nama.“
Nyatanya, kenangan sanggup menjadi cermin nilai, panduan diam yang membimbing—bagaimana hidup, dalam seluruh kerumitannya, sesungguhnya bisa dijalani dengan cara yang bersahaja.
/2/
Dalam Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung, bahasa adalah realitas itu sendiri. Esai-memoar ini memperlihatkan dunia yang hanya mungkin hadir ketika ia dinyatakan dalam bahasa yang tepat. Dan dalam buku ini, bahasa yang tepat itu adalah bahasa ibu—bahasa Jawa yang tak dipaksa menjadi fasih secara universal, tapi dipelihara sebagai pengalaman itu sendiri.
Kita takkan menemukan terjemahan. IBS menghadirkan bahasa Jawa sebagai bentuk penghormatan kepada kenyataan yang tak pernah lahir dalam bahasa Indonesia. Suatu sikap guna menjadikan bahasa sebagai tempat berlangsungnya kehidupan.
Kehadiran dialog dalam bahasa Jawa adalah upaya mengaktifkan kembali struktur budaya yang bekerja di bawah sadar kolektif. Bahasa, dalam hal ini, tak melayani kebutuhan pembaca luar. Ia mengundang pembaca untuk masuk. Sebentuk kedaulatan yang menegakkan batas: hanya mereka yang bersedia mendengar yang akan mampu memahami.
Menampilkan dialog dalam bentuk asli adalah cara IBS mempertahankan keberlakuan pengetahuan itu sendiri. Mengingatkan bahwa kebijaksanaan masih berlaku—asal dijalankan.
Esai-esai IBS tak sekadar hadir dengan dwibahasa secara teknis, melainkan dwiwacana secara struktural. Bahasa Indonesia menampung refleksi, sedang bahasa Jawa memuat akar. Yang satu menjadi ruang berpikir, yang lain menjadi fondasi eksistensial.
Dengan demikian, kita diajak menyimak dan berkontemplasi tentang bagaimana dan dari mana sesuatu dikatakan. Bahasa menjadi cermin yang memantulkan kembali siapa kita, dari mana kita berpikir, dan mengapa makna tak bisa dipisah dari tubuh sosial tempat bahasa itu tumbuh.
/3/
Wong cilik yang hadir dalam teks IBS tak dikisahkan untuk mengilustrasikan kelas sosial. Wong cilik adalah cermin dari laku. Dalam kerja-kerja seperti menggergaji pohon, juru kunci makam, memetik teh, pemandu gunung. Di rahim kerja-kerja itu tersimpan bentuk spiritualitas yang mendasar: kehadiran total pada yang kecil, kesetiaan, juga pengabdian. Mereka tak naik pangkat, tak memenangkan apa pun, tetapi justru itulah bentuk pendakian paling sunyi.
Dengan menuliskan mereka, IBS barangkali tengah menempatkan. Menempatkan spiritualitas dalam tubuh sehari-hari, menempatkan keheningan di tengah hiruk pikuk pembangunan, dan menempatkan hidup bukan sebagai proyek, melainkan sebagai jalan setapak yang harus dijalani—dengan sadar, dan tanpa pamrih.
/4/
Alam dalam memoar IBS dihadirkan sebagai cara berpikir. Ditautkan dan dirasakan sebagai struktur makna itu sendiri.
Ketika IBS menuliskan tentang pohon manggis yang tumbuh lambat, ia tak sedang memberi perumpamaan. Pohon itu sendirilah makna. Pertumbuhan yang lambat adalah pengetahuan. Dan alam telah sanggup mengajarkan perenungan akan waktu!
“Wong cilik adalah cermin dari laku. Dalam kerja-kerja seperti menggergaji pohon, juru kunci makam, memetik teh, pemandu gunung. Di rahim kerja-kerja itu tersimpan bentuk spiritualitas yang mendasar: kehadiran total pada yang kecil, kesetiaan, juga pengabdian.“
Demikian pula pada fragmen tentang nyamuk dan lalat yang mati. Di tangan penulis lain, barangkali hanya jadi anekdot ekologis. Namun, di tangan IBS, kematian serangga adalah peristiwa etik. Bahkan lebih jauh: peristiwa ontologis. Serangga yang mati masih diberi tempat dalam keberadaan. Bangkainya menjadi remah bagi semut, dan dalam rantai itu, kita diajak kembali berkontemplasi.
Alam sebagai subjek menyampaikan sesuatu melalui keterlibatan. Melalui tubuh dan kehadiran yang sabar. Dalam hal ini, memoar IBS tak hanya menantang posisi narasi sejarah arus utama, tetapi juga menantang sistem pengetahuan itu sendiri. Ia membisikkan bahwa pengetahuan tak harus dikristalkan dalam konsep. Ia bisa merembes dari batang pohon muja-muju, dari kematian seekor burung, atau dari menyaksikan bledheg celeng (petir celeng).
Di sinilah memoar ini menjadi arsip kultural—mengandung cara hidup. Ia menawarkan struktur kesadaran lain—kesadaran yang tak kategoris, tak hegemonik. Kesadaran yang tahu bahwa mendengar lebih penting daripada menerangkan. Mengamati lebih esensial daripada menghakimi.
/5/
Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung, sebagai metodologi mengingat, telah menjadi lanskap; tempat kenangan dicatat dan dirawat sebagai pengetahuan. Dalam dwibahasanya—IBS mengizinkan kenyataan bicara dengan caranya sendiri. Makna yang terletak pada kesadaran kultural yang melingkupinya. Maka bahasa dalam hal ini telah menjaga ketakterjemahan sebagai hakikat hidup bersama.
Esai-esai IBS menawarkan kemungkinan bagi kita untuk merasakan kembali dunia yang ditinggal oleh nalar modern. Dan buku ini adalah latihan membaca kenyataan secara lebih lambat, lebih jujur.
Dalam mengingat, IBS sedang mencintai—dunia, bahasa, dan mereka yang berjalan sunyi-perlahan dalam kehidupan. Maka, kekuatan memoar ini terletak pada cara menghidupkan kesadaran pembaca untuk ikut mengingat. Dan dalam mengingat itu, kita belajar tentang diri kita sendiri—sosok yang barangkali selama ini hidup dalam ketergesaan.[]
Ngawi-Yogya, Maret 2025