Nashrudin Hoja adalah seorang tokoh sufi jenaka yang hampir sama tenarnya seperti Abu Nawas. Ia terkenal dengan kecerdasan, celetukan-celetukan dengan spontanitas yang brillian, dan cerita-cerita humor lainnya yang sarat perenungan tentang nilai-nilai kebijaksanaan hidup.
Sosok yang disebut sebagai orang bijak sekaligus sufi ini bukanlah tokoh fiktif. Ia benar-benar ada. Sufi satirikal ini diperkirakan hidup dan meninggal pada abad ke-13 di daerah Akshehir, dekat Konya, semasa Dinasti Seljuk dan bahkan pernah dekat dengan Timur Lenk—pemimpin kejam yang sempat menyerbu dan menduduki Turki pada masa itu.
Bukti keberadaannya dapat dilihat dari makam dan patung monumen Nashrudin yang ada di Akshehir, Konya. Selain itu, telah ada perayaan secara internasional bernama Nasreddin Hodja Festival yang diselenggarakan setiap tahun antara tanggal 5-10 Juli di kota tempat tinggalnya.
Dalam rentang waktu hingga kini, ia muncul dalam ribuan cerita yang beredar dibawa udara, hingga melintasi batas-batas ruang, waktu, rezim dan kekuasaan. Terkadang ia tampil selaku orang bijak dan pandai yang memberikan anekdot-anekdot cerdas, namun tak jarang pula Nashrudin bersikap ‘bodoh’ atau menjadi bahan lelucon masyarakat dalam kisahnya.
Sementara salah satu kisahnya yang perlu diperdengarkan ke generasi sekarang—karena muatan refleksi yang dikandungnya masih relevan dan penting—ialah cerita “Nashrudin, Anak dan Keledainya”.
***
Di suatu waktu, Nashrudin bersama puteranya hendak melakukan perjalanan jauh nan panjang. Mereka berdua membawa seekor keledai dan lantas berangkat pergi. Tiba di desa pertama yang mereka lalui, orang-orang setempat ternyata menaruh perhatian kepada mereka.
Ada yang melempar komentar sembari menahan tawanya, “Bsst.. haha! Hei, lihat mereka, kedua orang itu bodoh. Mereka punya keledai tapi tak menungganginya. Dasar dungu.”
Putera Nashrudin ternyata mendengar bisik-bisik warga tersebut. Sebelum sempat mengadukan ke ayahnya, segera Nashrudin langsung menyuruh anaknya itu agar naik ke keledai dan melanjutkan perjalanan bersama lagi.
Tiba di desa kedua, para penduduknya juga menusukkan pandangan mereka ke tiga musafir yang melintasi desa mereka. Beberapa ada yang mencibir, “Woo, dasar anak tak tau diuntung! Tega betul situ enak-enakan pakai keledai, bapaknya sendiri dibiarkan jalan kaki menuntunnya.”
Sang anak tak enak hati mendengar ucapan yang menusuk itu. Ia lekas turun dari keledai, dan mempersilakan ayahnya naik ke punggung kendaraan hidup tersebut. Nashrudin menurut saja tanpa berkata-kata sama sekali. Kini anaknya yang menuntun keledai dan ayahnya.
Lanjutlah mereka pergi ke desa ketiga. Orang-orang dengan pakaian yang berbeda memenuhi pemandangan. Suku yang beda dengan sebelumnya. Namun sikap mereka nyatanya sama. Terlontar salah satu teriakan dari seorang warga sambil menangkupkan tangan di depan mulutnya seperti corong, “Hooyy, Pak…. Jangan egois jadi orangtua! Kasian tuh, anakmu kepanasan dan capek menuntun. Dasar egois!”
Mereka bertiga geleng-geleng. Lalu memutuskan keduanya naik ke atas punggung keledai yang tubuhnya kecil itu. Meneruskan perjalanan yang melelahkan.
Sesampainya di desa keempat, mereka melalui pasar. Ramai orang-orang berseliweran dan saling mengocehkan suara-suara. Tawar-menawar. Tapi di sela-sela berisiknya pasar, banyak orang yang mengacungkan telunjuknya kepada mereka sambil berceloteh, “Hei, kalian, tega-teganya menaiki satu keledai ringkih itu dengan beban dua orang. Tak punya kasihan!”
Makin lama dirasa, makin frustrasi saja Nashrudin. Akhirnya, ia seketika turun dari punggung keledai, mengajak anaknya ikut turun, dan langsung memberikan isyarat ke anaknya, “Nak, sini, bantu aku!”
Maka, di tengah-tengah pusat perjual-belian di desa tersebut, akhirnya Nashrudin dan anaknya langsung menggendong keledai—yang beraut ragu dan tampak kebingungan. Mereka berdua memikul keledai bersama, sambil tertatih dan berat. Orang-orang sekitar langsung memegangi perut mereka, menyipitkan mata menahan bahak tawa, lalu terpingkal-pingkal.
“Bhahaha… awas hei, ada dua orang idiot lewat! Punya keledai, malah digendong. Dungu! Tak Berakal!” serempak riuh pasar itu oleh pemandangan sepasang ayah-anak yang menggendong seekor keledai—yang sekali lagi masih kebingungan wajahnya.
Tak berselang lama, Nashrudin dan anaknya—tentu dengan masih terengah-engah menggendong keledai—akhirnya sampai di tujuan. Setelah menurunkan keledai, sambil terbungkuk ‘ngos-ngosan’, Nashrudin memegang bahu anaknya, “Nak, kau lihat. Di mata manusia mana pun, kita akan tetap punya celah dan kesalahan, meskipun kita pun masih punya kebaikan dan kebenaran.” Masih dengan tergeragap kecapean, ia menambahi, “Maka, kelak, tak usah kau pusingkan anggapan orang liyan. Hanya bertindaklah sesuai dengan apa yang kau yakini benar dan baik. Sudah.”
“Adegan ini mohon untuk tidak ditiru di rumah.
Hanya dilakukan oleh yang professional saja.”
#Lol
***
Pelajaran yang dapat kita ambil dari situ, sudah jelas. Bahwa keputusan, pertimbangan, kegiatan, dan apa saja yang kita perbuat dalam keseharian, akan sangat mungkin memunculkan tanggapan negatif dari orang lain. Baik itu yang muncul secara lisan, visual, ataupun tulisan berupa komentar di sosmed.
Wong, sekelas Nabi aja lho, banyak yang membenci; Nabi Nuh dihina sebagai tukang ngibul, pembohong, dan orang gila yang mempersiapkan kapal di atas gunung. Nabi Muhammad dilempari kotoran dan batu saat hijrah pertama kali. (dan silakan diurutkan sendiri).
Jadi, saat anda melakukan sesuatu, lantas menuai kritikan pedas, atau bahkan cibiran dan makian dari orang lain, maka tidak perlu diambil pusing. Cukup lakukan seperti musik ndangdhut tuh, “nek ra kuat, ditinggal ngopi”. Kalau nggak kuat ya ditinggal ngopi. Gitu aja kok freeport. Eh.[]