Pukul 12:00 siang ia baru bangun dari kasur kardus tipis hasil mulung kemarin sore. Biasanya ia selalu bangun pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, sebelum sekawanan ayam keluar kandang mencari makan, dan sebelum embun hilang di dedaunan. Namun kali ini ia benar-benar kesiangan dan orang-orang di sekitar pun hanya abai tak membangunkan karena dari segi pakaian dan wajahnya sudah lusuh–mungkin orang di luar dirinya mengira ia adalah gelandangan yang tak mempunyai tujuan hidup. Selepas bangun ia segera membereskan kardus lalu pergi, tanpa pamit.
“Sialan, orang-orang pasti sudah mengira aku adalah gelandangan. Gara-gara semalam kejebak hujan.” Gumamnya dalam hati sambil berlari kecil.
Sembari berjalan di bawah matahari dan menenteng kardus ia tak henti-hentinya mengibaskan tangan ke pakainnya dari ujung kerah sampe celana pendek yang robek. Ia berusaha menyeimbangi bayangan yang di sampingnya, melewati ruko-ruko yang penuh bicara, melintasi pedagang-pedagang yang penuh suara. Wajahnya sedikit tersenyum miring membelah keramaian. Sedangkan pasar harus ia lewati dan tinggalkan dini hari untuk menyambung hidup dari waktu ke waktu.
Ia mencoba berjalan lebih pelan lagi untuk pulang dan mengingat-ingat malam serta hujan deras yang mengguyur di waktu itu. Satu langkah dua langkah bercumbu dengan panas, memeluk debu-debu jalanan, bersenggama dengan suara kendaraan yang berlalu-lalang, matanya menatap tajam merekam jalanan, kaki-kakinya yang telanjang berteman akrab dengan aspal-aspal kota.
Langkahnya terkulai lemah membaca jalan yang biasa ia lalui di pagi atau sore sepulang memulung. Ia memikirkan anaknya. Terbayang wajah anaknya yang semalam ditinggal lapar dan hujan, beberapa kecemasan memenuhi relung pikiran tapi untuk berlari agar cepat-cepat sampai rumah masih bingung dan penuh keraguan. Ia tak berhasil membawa cita-cita anaknya untuk makan kenyang nan enak. Ia gagal membawa surga untuk masuk ke rumahnya. Berkali-kali ia menggerutu pada langkah kakinya yang terus-menerus berjalan mengimbangi permainan Tuhan, bahwa hari ini sarapan pagi harus digabung dengan makan siang. Rasa syukur atas hidup harus ia bagi dengan anak semata wayangnya.
Jalan menuju rumah liarnya sangatlah tidak layak untuk mimpi-mimpi orang kaya: penuh lubang dan genangan comberan berhari-hari. Tidak layak untuk dilewati oleh sepatu-sepatu pantofel yang mengkilap dan berdecit saat digosok. Jalan itu hanya berteman ramah dengan kaki-kaki yang senasib dengan mas Onto, yang berangkat pagi menggendong harapan dan pulang sore membawa kenyataan hanya untuk makan.
Sejak saat itu, jalanan menjadi asing dari segala keriuhan kota. Hanya angin dan panas yang berlalu-lalang ketika siang hari. Jika malam tiba, hanya sekumpulan gelap yang bertengger dan lampu redup di ujung gang serta beberapa tikus, kecoa, dan kucing liar yang saling mondar-mandir menyibak malam. Dan memang alangkah baiknya jika malam tak sering hujan, sehingga malamnya tak sibuk menambal lubang-lubang kecil bekas atap yang bocor. Atau mentadahinya dengan ember. Dan jika panas menerpa, seluruh isi rumah hanya bisa memanggil-manggil angin dari banyak arah atau secarik kardus saja untuk dikibaskan di bagian badan.
Mas Onto terus berjalan menebas panas, membelah laju angin, mencipta bayang-bayang sempurna di depannya. Keringat perlahan mengelus halus wajahnya lalu turun menyapu bagian lehernya yang kemudian berulang kali diusap oleh legam kulitnya.
“Dari mana saja, Mas?”
Sebelum menuju rumahnya yang liar, ada sebuah bangunan rumah yang sedikit terbawa modernisasi. Dihuni oleh buruh pabrik dengan istri dan satu anak. Kebetulan saja hari itu sedang libur bagi buruh. Biasanya rumah itu sangatlah sepi di jam-jam menuju terik matahari menyengat panas. Dengan kaki telanjang dan pakaian lusuh, ia berhenti lalu mendongakkan kepalanya.
“Dari pasar, Mas.” Dengan kerutan senyum dan wajah yang dipaksa ramah.
“Sini, Mas, mampir dulu,” ajaknya sambil membersihkan kursi depan yang sedikit berdebu.
Karena tak enak hati, ia sedikit membagi waktu untuk tetangganya yang lumayan jauh dari keadaan rumah sambil memikirkan, apa yang harus ia lakukan setelah pulang nanti.
“Maklumlah, buruh pabrik jadi kursinya banyak debu. Berangkat pagi pulang petang seperti itu-itu saja. Jadi gak sempet bersihin kursi, apalagi di depan rumah kaya gini.” Tuturnya sambil menyulut rokok.
“Ya gak papa, Mas,” tanpa menoleh, ia hanya sibuk melihat rumahnya yang kecil dari kejauhan.
“Semalam waktu gerimis kaya ada anak kecil berjalan di depan bolak-balik. Pas saya tengok dari jendela, gak ada.” Sambungnya mencari bahan obrolan, “dari pasar jualan atau apa, Mas?”
“Saya gelandangan, Mas… intinya apa saja saya kerjain asalkan itu benar dan gak mengganggu orang lain.” Lalu diam dan menunduk memikirkan anak kecil yang diceritakan, jelas itu adalah anak semata wayangnya yang menunggu sosok bapaknya pulang.
“Berarti bukan gelandangan, dong, Pak.”
“Tapi orang-orang seperti menganggap saya gelandangan.” Sambil mengangkat kepala dan menatap tajam wajahnya, ia lanjut membahas, “Acap kali mereka memandang dengan tatapan sinis ke saya. Tak tahu apa yang sedang dipikirkan orang-orang tentang keadaan saya. Atau mungkin wajah dekil dan kaos lusuhnya, yah….” Jawabnya lugas sembari senyum.
Sekarang keadaan pikiran dan hatinya benar-benar belingsatan memikirkan anaknya. Posisi duduknya mulai gelisah. Rasanya ingin pamit dan langsung berlari menuju rumah.
“Ya sudah, Mas, saya pamit dulu.” Dengan muka sedikit kalut dan terburu-buru, ia bangkit dari duduknya lalu berjalan agak pelan meninggalkan tetangganya.
“Ya sudah,” jawabnya sedikit heran.
Rasa gelisah dan khawatir mengiringi jalannya yang tinggal beberapa meter lagi sampai. Badannya yang penuh keringat ketakutan dan dadanya yang sedikit sesak mengkhawatirkan. Ia terus melangkah satu per satu seolah kakinya sedang mengeja jalanan yang panas.
Bayangan anaknya terselinap dalam lumbung benaknya. Berenang riang menyelami harapan. Terakhir kali ia dengar ketawanya yang ringan saat dirinya bercerita almarhum ibunya yang suka berbicara pada tetumbuhan. Bayangan itu benar-benar lekat mengarungi pikirannya, membangkitkan kekuatan untuk berjalan lebih cepat. Kini ia tak lapar lagi, pikirannya yang ramai dengan bayangan anaknya adalah sarapan yang mengenyangkan.
“Ilma,” sambil mengetuk pintu triplek yang sedikit bercelah dan keropos.
Tak ada jawaban dari dalam. Wajahnya kembali bingung dan khawatir kembali datang.
Tok tok tok!
“Ilma…”
Ia dorong pintunya dengan sisa-sisa tenaga ternyata pintunya tak terkunci.
Melihat Ilma tergeletak di bawah keranjang, ia langsung berlari merebahkan tubuhnya merangkul anak semata wayangnya lalu dibopong dibawa ke atas ranjang. Wajah anaknya sedikit memucat dan terkulai lemah. Deru nafasnya letih menyapu halus telinga. Sambil memandangi wajah anaknya ia kembali menyelami bayangan anaknya sewaktu riang bercerita tentang cita-citanya.
“Bila nanti besar, aku ingin jadi ibunya orang-orang pemulung seperti halnya Kartini bagi martabat perempuan-perempuan Indonesia,” ucapnya sambil senyum polos kepada bapaknya.
Air matanya tak kuasa ditahan saat memandangi wajah anaknya. Bulir air matanya jatuh dan menetes lembut di pipi sang anak yang lekas membuatnya sadar.
“Pak…” ilma pun terbangun dan suaranya terdengar letih.
Esok hari dan seterusnya, seorang bapak dan anak semata wayangnya akan bertarung lagi dengan kehidupan. Mengeja panas aspal jalanan, dan sekali waktu tersenyum bersama-sama seolah meledek kemiskinan yang mendera mereka.[]