slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Kirsip - Metafor.id
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sunday, 1 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Kirsip

Arianto Adipurwanto by Arianto Adipurwanto
10 March 2021
in Cerpen
0
Kirsip

https://unsplash.com/photos/LWDDtuCCEOE

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Seperti perjalanan cerita-cerita lisan, cerita tentang siapa yang pertama kali menyebutnya ‘Si Telinga Jalan’ pun tidak pernah ada yang tahu. Semua warga begitu saja memakai julukan ini, dan menjadi lebih sering digunakan ketimbang namanya. Bahkan mereka lebih suka menggunakan julukan tersebut apabila menceritakan tentangnya.

Julukan itu diberikan karena ia selalu tahu cerita-cerita yang para warga sama sekali tidak mengetahuinya. Dan setiap cerita yang ia dengar pasti ia sampaikan kepada para warga dengan begitu detail. Ia akan membuka pagi warga dengan cerita, mengiringi siang warga dengan cerita, dan menutup malam warga juga dengan cerita. Hebatnya, cerita-cerita yang ia sampaikan selalu adalah cerita-cerita baru.

Si Telinga Jalan selalu bercerita dengan penuh semangat. Ia merasa para warga sangat menyukai cerita-ceritanya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa para warga telah begitu bosan mendengar setiap kata-katanya. Setiap hari, keburukan-keburukannya kian bertambah di mata para warga. Pada akhirnya, para warga membuat kesimpulan yang langsung dipercaya, bahwa, tabiat seseorang sebenarnya ditentukan oleh bentuk wajahnya. Dan hanya perlu seorang Kirsip untuk menyimpulkan semua ini. Seolah-olah Kirsip telah mewakili seluruh umat manusia di dunia.

Kepalanya berbentuk aneh, nyaris segi empat. Dahinya lebar dan sedikit menjorok. Kedua matanya liar, seperti sepasang mata orang gila. Mulutnya lebar, dengan bibirnya tebal dan hitam. Giginya besar-besar dan gusinya hitam kemerahan. Selain itu, Kirsip juga memiliki kulit yang hitam secara tidak wajar, juga aroma tubuhnya selalu membuat orang tidak betah duduk lama di dekatnya. Jika ia berbicara, ia selalu teriak-teriak dan membuka mulutnya lebar-lebar sampai air liurnya berhamburan.

***

Pagi ini, untuk pertama kalinya, para warga merasakan ada yang aneh. Maq Kecuntil yang pertama kali menyadarinya. “Yok! dia ke mana Kirsip, tumben ndak muncul,” katanya  sambil mengeratkan balutan sarung di tubuhnya. Beginilah warga dusun ini, meski mereka sangat benci akan Kirsip, tapi mereka diam-diam merasa butuh pada cerita-ceritanya. Setelah menghilangnya Kirsip, mereka sadar, ternyata kebencian mereka hanya dirasakan ketika Kirsip berada di dekat mereka. Sedang saat Kirsip tiada, mereka merasa ada yang hilang dalam kehidupan mereka.

Salah seorang ibu yang sedang duduk berhadapan dengan suaminya menimpali, “Nanti kalau dia datang siap-siap telinga dah.” Lalu tetangga yang lain merasa harus turut serta dalam pembicaraan. “Katanya, dia sedang banyak uang sekarang. Ndak tau dari mana ia dapat.”

Dengan cara seperti inilah hari dimulai di Lelenggo. Dialog antar berugak menjadi cepat sekali menghangat.

Mendengar kabar tentang Kirsip yang sedang memiliki banyak uang, salah seorang nenek yang dua hari sebelumnya datang ke rumah Kirsip hendak meminjam uang dan selalu pulang dengan tangan hampa berkata, “Katanya dia ndak ada uang. Eee, tega sekali dia bohongi orang tua seperti saya.”

“Dari mana dia dapat uang, padahal suaminya ndak ada,” timpal warga yang letak rumahnya telah lumayan jauh dari rumah Maq Kecuntil. Dan Maq Kecuntil yang mengawali pembicaraan tidak tahu lagi sejauh apa pembicaraan tentang Kirsip. Suami Kirsip memang telah meninggal beberapa tahun silam. Ia jatuh dari pohon enau ketika sedang menyadap nira.  Kepalanya pecah.

Rumah-rumah di Lelenggo berjejer dari utara ke selatan, dan rumah Kirsip terletak di ujung selatan, dekat lembah, dekat dengan kebun bambu, dan di titik persinggungan dua jalan, tempat yang dipercaya oleh orang-orang sebagai tempat bertemunya para jin.

Rumah Kirsip sedikit terpisah dengan rumah warga yang lain, dipisahkan oleh jalan. Jalan ini juga yang membuat Kirsip tidak bisa terlibat dengan apa yang warga lain bicarakan. Tapi, dengan cara berkeliling di sebagian besar waktu yang ia miliki, ia menjadi lebih menguasai bahan pembicaraan ketimbang siapa pun.

Pagi berikutnya, masih seperti kemarin, Kirsip tidak juga muncul. Para warga bertanya-tanya, ke mana ia pergi. Rumahnya sepi.

“Senin itu saya lihat dia duduk di berugaknya.”

“Pagi?”

“Ndak. Siang.”

“Jam berapa? Senin itu juga saya ketemu dia di jalan, dia mau ke mana mungkin.”

Warga yang lain mengatakan hal yang berbeda-beda. Masing-masing mengaku telah melihat Kirsip, tetapi di banyak tempat.

“Aroo, paling nanti muncul dia. Mana dia betah pergi lama.”

Tetapi, berhari-hari kemudian, Kirsip benar-benar tidak muncul. Para warga yang sebelumnya yakin tidak ada apa-apa, kini takut dan mulai curiga. Mereka yakin ada sesuatu yang menimpa Kirsip.

Mereka bersama-sama mendatangi rumahnya. Mungkin saja ada petunjuk yang ditinggalkan. Dari tanda-tanda yang mereka temui: pintu rumah yang tidak dikunci, nasi basi di bakul, sepiring ikan tongkol yang telah dipenuhi ulat putih kecil, dan berbagai perlengkapan yang digeletakkan begitu saja di berugak, mereka menjadi benar-benar yakin Kirsip tidak sedang baik-baik saja.

***

Para warga yang telah tidak tahan kini tanpa melalui suatu kesepakatan berkumpul di rumah Kirsip. Awalnya satu orang, kemudian dua orang, terus sampai seluruh warga berdatangan. Masing-masing dengan wajah cemas, takut ada apa-apa dengan orang yang selama ini terlalu sering mereka bicarakan keburukan-keburukannya.

“Bagaimana ini, Manluh?” tanya Maq Kecuntil pada Maq Kepaq, orang yang selalu menjadi penentu ketika ada permasalahan.

“Sebaiknya kita hubungi keluarganya.”

“Sudah, kemarin Dersawi ke rumah kakaknya di Beriri, dia juga ke Leong, Puntian, Geronggong juga, semuanya tidak ada yang tahu dia di mana. Kirsip benar-benar telah hilang. Tidak mungkin dia pergi dengan sengaja meninggalkan rumahnya tidak terkunci begini. Tau kan dia gimana.”

Maq Kepaq  mengangguk-anggukkan kepala. Setelah memeras otak, satu solusi muncul di kepalanya, “Kita panggil Puq Bireng, mungkin saja Kirsip dibawa jin,” usulnya.

Tanpa berpikir panjang, Maq Kecuntil meminta Dersawi pergi memanggil Puq Bireng. Ibu-ibu yang tidak sabar mendengar hasil bacaan Puq Bireng, mondar-mandir di halaman rumah Kirsip, dan beberapa masuk rumah, mencari tanda-tanda lain. Tetapi, tidak ada apa pun yang berhasil mereka temukan.

“Heran saya, tumben sekali orang itu pergi lama. Dia tidak kunci pintu rumah lagi. Pasti ada apa-apa ini, yakin saya,” cerocos seorang warga.

Tidak ada yang menanggapi kata-kata warga tersebut. Perhatian para warga teralihkan oleh kedatangan Puq Bireng. Perempuan tua itu terbungkuk-bungkuk dan mata tuanya menatap penuh keheranan para warga yang berkerumun di rumah orang yang selama ini sangat sering mengatakan yang tidak-tidak padanya. Sebenarnya ia tidak ingin memenuhi panggilan Dersawi, tetapi Dersawi meyakinkan ia sampai ia tidak ada pilihan lain lagi.

“Katanya manusia yang besar mulut itu hilang ya? Rasakan itu, makanya jangan suka hina orang tua,” kata Puq Bireng sambil menyemburkan air mamahan sirihnya ke tanah,  yang dengan segera meresap.

“Puq, bantu kita cari dia. Kira-kira dia ke mana?” Maq Kepaq mencoba memperbaiki suasana sebelum para warga terbawa arus pembicaraan Puq Bireng.

“Air segelas!” minta Puq Bireng.

Salah seorang warga cepat memenuhi permintaan Puq Bireng. Ketika segelas air telah berada di tangannya, tak seorang pun berani bersuara. Mereka sangat penasaran pada nasib yang menimpa Kirsip.

Puq Bireng menggoyang-goyangkan gelas di tangannya, sambil kedua matanya terpejam. Dan tanpa membuka mata, ia berkata, “Dia di jalan. Ya, dia sedang di jalan.”

“Jalan mana, Puq?” tanya seorang warga penasaran.

“Jalan mana-mana. Ia sedang mengumpulkan cerita-cerita yang bisa ia ceritakan kepada orang lain.”

Seluruh warga terperangah mendengar apa yang diucapkan oleh Puq Bireng. Para warga tiba-tiba merasa seperti telah dirasuki oleh roh jahat. Mereka merinding, merasa Kirsip ada di dekat mereka; sangat dekat dengan mereka. Suasana menjadi begitu hening, tidak ada yang berani berbicara. Mereka takut Kirsip mendengar apa yang mereka bicarakan dan menyampaikan semua yang mereka katakan kepada orang lain.**

 

Catatan Kaki:

Puq                  : Nenek

Manluh             : Panggilan kepada laki-laki yang telah berkeluarga dan memiliki anak pertama perempuan

Tags: cerpenkehilangankirsiptukang cerita
ShareTweetSendShare
Previous Post

Rindu Bersaung di Senaru

Next Post

Warung Kopi dan Playlist Musiknya

Arianto Adipurwanto

Arianto Adipurwanto

Lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB. Media sosial: Arianto Adipurwanto.

Artikel Terkait

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
Cerpen

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

20 May 2024

“Ini sudah masuk bulan Agustus, Maemuna,” ucap Dae la One sembari membongkar perlengkapan sunat miliknya. “Aku ingat dua minggu lagi...

Cerpen

Calon Kepala Desa

5 March 2024

Rampung sepuluh tahun jadi pegawai desa, kini tugasnya selesai. Bukan ia tidak mau berjuang lagi. Tapi ini sudah di luar...

Perihal Wajah Asing di Kereta
Cerpen

Perihal Wajah Asing di Kereta

8 December 2023

Langit Jakarta sedang melayu sore itu, awannya yang mendung tak karuan diembus angin entah ke mana. Kadang ke timur, kadang...

Warna
Cerpen

Warna

11 May 2023

Aku seperti berjalan tanpa jiwa di taman kota. Ketika matahari sore di Cirebon sedang terik dan mencekik, tubuh kopong ini...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Calon Kepala Desa

5 March 2024
Kopi yang Tumpah Sebelum Diangkat

Kopi yang Tumpah Sebelum Diangkat

3 March 2021
Mudik dan Sambatan Rohani Tahun Ini

Mudik dan Sambatan Rohani Tahun Ini

25 May 2021
Tempat: Kenangan dan Seisinya

Tempat: Kenangan dan Seisinya

28 January 2021

Angklung: Warisan Budaya Sunda

6 December 2021
Selamat Bertugas Selamanya!

Selamat Bertugas Selamanya!

27 April 2021
Gambar Artikel Kasihan Manusia

Kasihan Manusia

4 November 2020
Surat Terbuka untuk Sunyi

Surat Terbuka untuk Sunyi

15 February 2021
Makanan dan Orang Jawa

Makanan dan Orang Jawa

4 February 2021
Gambart Artikel : Analisis Puisi Goenawan Muhammad Saya Cemaskan Sepotong Lumpur

Analisis Puisi Goenawan Mohamad “Saya Cemaskan Sepotong Lumpur”

23 April 2021

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
  • Aku Merangkum Desember

Kategori

  • Event (10)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (8)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In