Seperti perjalanan cerita-cerita lisan, cerita tentang siapa yang pertama kali menyebutnya ‘Si Telinga Jalan’ pun tidak pernah ada yang tahu. Semua warga begitu saja memakai julukan ini, dan menjadi lebih sering digunakan ketimbang namanya. Bahkan mereka lebih suka menggunakan julukan tersebut apabila menceritakan tentangnya.
Julukan itu diberikan karena ia selalu tahu cerita-cerita yang para warga sama sekali tidak mengetahuinya. Dan setiap cerita yang ia dengar pasti ia sampaikan kepada para warga dengan begitu detail. Ia akan membuka pagi warga dengan cerita, mengiringi siang warga dengan cerita, dan menutup malam warga juga dengan cerita. Hebatnya, cerita-cerita yang ia sampaikan selalu adalah cerita-cerita baru.
Si Telinga Jalan selalu bercerita dengan penuh semangat. Ia merasa para warga sangat menyukai cerita-ceritanya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa para warga telah begitu bosan mendengar setiap kata-katanya. Setiap hari, keburukan-keburukannya kian bertambah di mata para warga. Pada akhirnya, para warga membuat kesimpulan yang langsung dipercaya, bahwa, tabiat seseorang sebenarnya ditentukan oleh bentuk wajahnya. Dan hanya perlu seorang Kirsip untuk menyimpulkan semua ini. Seolah-olah Kirsip telah mewakili seluruh umat manusia di dunia.
Kepalanya berbentuk aneh, nyaris segi empat. Dahinya lebar dan sedikit menjorok. Kedua matanya liar, seperti sepasang mata orang gila. Mulutnya lebar, dengan bibirnya tebal dan hitam. Giginya besar-besar dan gusinya hitam kemerahan. Selain itu, Kirsip juga memiliki kulit yang hitam secara tidak wajar, juga aroma tubuhnya selalu membuat orang tidak betah duduk lama di dekatnya. Jika ia berbicara, ia selalu teriak-teriak dan membuka mulutnya lebar-lebar sampai air liurnya berhamburan.
***
Pagi ini, untuk pertama kalinya, para warga merasakan ada yang aneh. Maq Kecuntil yang pertama kali menyadarinya. “Yok! dia ke mana Kirsip, tumben ndak muncul,” katanya sambil mengeratkan balutan sarung di tubuhnya. Beginilah warga dusun ini, meski mereka sangat benci akan Kirsip, tapi mereka diam-diam merasa butuh pada cerita-ceritanya. Setelah menghilangnya Kirsip, mereka sadar, ternyata kebencian mereka hanya dirasakan ketika Kirsip berada di dekat mereka. Sedang saat Kirsip tiada, mereka merasa ada yang hilang dalam kehidupan mereka.
Salah seorang ibu yang sedang duduk berhadapan dengan suaminya menimpali, “Nanti kalau dia datang siap-siap telinga dah.” Lalu tetangga yang lain merasa harus turut serta dalam pembicaraan. “Katanya, dia sedang banyak uang sekarang. Ndak tau dari mana ia dapat.”
Dengan cara seperti inilah hari dimulai di Lelenggo. Dialog antar berugak menjadi cepat sekali menghangat.
Mendengar kabar tentang Kirsip yang sedang memiliki banyak uang, salah seorang nenek yang dua hari sebelumnya datang ke rumah Kirsip hendak meminjam uang dan selalu pulang dengan tangan hampa berkata, “Katanya dia ndak ada uang. Eee, tega sekali dia bohongi orang tua seperti saya.”
“Dari mana dia dapat uang, padahal suaminya ndak ada,” timpal warga yang letak rumahnya telah lumayan jauh dari rumah Maq Kecuntil. Dan Maq Kecuntil yang mengawali pembicaraan tidak tahu lagi sejauh apa pembicaraan tentang Kirsip. Suami Kirsip memang telah meninggal beberapa tahun silam. Ia jatuh dari pohon enau ketika sedang menyadap nira. Kepalanya pecah.
Rumah-rumah di Lelenggo berjejer dari utara ke selatan, dan rumah Kirsip terletak di ujung selatan, dekat lembah, dekat dengan kebun bambu, dan di titik persinggungan dua jalan, tempat yang dipercaya oleh orang-orang sebagai tempat bertemunya para jin.
Rumah Kirsip sedikit terpisah dengan rumah warga yang lain, dipisahkan oleh jalan. Jalan ini juga yang membuat Kirsip tidak bisa terlibat dengan apa yang warga lain bicarakan. Tapi, dengan cara berkeliling di sebagian besar waktu yang ia miliki, ia menjadi lebih menguasai bahan pembicaraan ketimbang siapa pun.
Pagi berikutnya, masih seperti kemarin, Kirsip tidak juga muncul. Para warga bertanya-tanya, ke mana ia pergi. Rumahnya sepi.
“Senin itu saya lihat dia duduk di berugaknya.”
“Pagi?”
“Ndak. Siang.”
“Jam berapa? Senin itu juga saya ketemu dia di jalan, dia mau ke mana mungkin.”
Warga yang lain mengatakan hal yang berbeda-beda. Masing-masing mengaku telah melihat Kirsip, tetapi di banyak tempat.
“Aroo, paling nanti muncul dia. Mana dia betah pergi lama.”
Tetapi, berhari-hari kemudian, Kirsip benar-benar tidak muncul. Para warga yang sebelumnya yakin tidak ada apa-apa, kini takut dan mulai curiga. Mereka yakin ada sesuatu yang menimpa Kirsip.
Mereka bersama-sama mendatangi rumahnya. Mungkin saja ada petunjuk yang ditinggalkan. Dari tanda-tanda yang mereka temui: pintu rumah yang tidak dikunci, nasi basi di bakul, sepiring ikan tongkol yang telah dipenuhi ulat putih kecil, dan berbagai perlengkapan yang digeletakkan begitu saja di berugak, mereka menjadi benar-benar yakin Kirsip tidak sedang baik-baik saja.
***
Para warga yang telah tidak tahan kini tanpa melalui suatu kesepakatan berkumpul di rumah Kirsip. Awalnya satu orang, kemudian dua orang, terus sampai seluruh warga berdatangan. Masing-masing dengan wajah cemas, takut ada apa-apa dengan orang yang selama ini terlalu sering mereka bicarakan keburukan-keburukannya.
“Bagaimana ini, Manluh?” tanya Maq Kecuntil pada Maq Kepaq, orang yang selalu menjadi penentu ketika ada permasalahan.
“Sebaiknya kita hubungi keluarganya.”
“Sudah, kemarin Dersawi ke rumah kakaknya di Beriri, dia juga ke Leong, Puntian, Geronggong juga, semuanya tidak ada yang tahu dia di mana. Kirsip benar-benar telah hilang. Tidak mungkin dia pergi dengan sengaja meninggalkan rumahnya tidak terkunci begini. Tau kan dia gimana.”
Maq Kepaq mengangguk-anggukkan kepala. Setelah memeras otak, satu solusi muncul di kepalanya, “Kita panggil Puq Bireng, mungkin saja Kirsip dibawa jin,” usulnya.
Tanpa berpikir panjang, Maq Kecuntil meminta Dersawi pergi memanggil Puq Bireng. Ibu-ibu yang tidak sabar mendengar hasil bacaan Puq Bireng, mondar-mandir di halaman rumah Kirsip, dan beberapa masuk rumah, mencari tanda-tanda lain. Tetapi, tidak ada apa pun yang berhasil mereka temukan.
“Heran saya, tumben sekali orang itu pergi lama. Dia tidak kunci pintu rumah lagi. Pasti ada apa-apa ini, yakin saya,” cerocos seorang warga.
Tidak ada yang menanggapi kata-kata warga tersebut. Perhatian para warga teralihkan oleh kedatangan Puq Bireng. Perempuan tua itu terbungkuk-bungkuk dan mata tuanya menatap penuh keheranan para warga yang berkerumun di rumah orang yang selama ini sangat sering mengatakan yang tidak-tidak padanya. Sebenarnya ia tidak ingin memenuhi panggilan Dersawi, tetapi Dersawi meyakinkan ia sampai ia tidak ada pilihan lain lagi.
“Katanya manusia yang besar mulut itu hilang ya? Rasakan itu, makanya jangan suka hina orang tua,” kata Puq Bireng sambil menyemburkan air mamahan sirihnya ke tanah, yang dengan segera meresap.
“Puq, bantu kita cari dia. Kira-kira dia ke mana?” Maq Kepaq mencoba memperbaiki suasana sebelum para warga terbawa arus pembicaraan Puq Bireng.
“Air segelas!” minta Puq Bireng.
Salah seorang warga cepat memenuhi permintaan Puq Bireng. Ketika segelas air telah berada di tangannya, tak seorang pun berani bersuara. Mereka sangat penasaran pada nasib yang menimpa Kirsip.
Puq Bireng menggoyang-goyangkan gelas di tangannya, sambil kedua matanya terpejam. Dan tanpa membuka mata, ia berkata, “Dia di jalan. Ya, dia sedang di jalan.”
“Jalan mana, Puq?” tanya seorang warga penasaran.
“Jalan mana-mana. Ia sedang mengumpulkan cerita-cerita yang bisa ia ceritakan kepada orang lain.”
Seluruh warga terperangah mendengar apa yang diucapkan oleh Puq Bireng. Para warga tiba-tiba merasa seperti telah dirasuki oleh roh jahat. Mereka merinding, merasa Kirsip ada di dekat mereka; sangat dekat dengan mereka. Suasana menjadi begitu hening, tidak ada yang berani berbicara. Mereka takut Kirsip mendengar apa yang mereka bicarakan dan menyampaikan semua yang mereka katakan kepada orang lain.**
Catatan Kaki:
Puq : Nenek
Manluh : Panggilan kepada laki-laki yang telah berkeluarga dan memiliki anak pertama perempuan