semilir menerpa iba tengkukku
sebab rinduku bersaung di Senaru
gugusan tangga menggamit ingatan
kebyarkebyar serupa kembang api
meletupletup bayang kudus air terjun
akankah kujumpai tempiasnya,
pada daun kembang kertas di halaman
atau barangkali dedurinya adalah kerikil tajam
yang menancap di tumitku
namun pagi tak selembut rinduku
yang dirajut dengan sayap kupukupu
bersilangsilangan serupa jala, melintang
sepanjang cakrawala
lalu berguguran di bawah jendela
Seutas Darah dari Ibu
seutas darah dari Ibu
kutemukan di tanah itu
tanah yang berbau silam
dan kampungkampung yang tenggelam
wanitawanita burung hutan
berlompatan seperti bekantan,
pada tanah yang basah
ketika matahari belum sampai
wangi nira dan kemitir,
mengalir bergilir
siapakah yang melinting embun
jadi kabut hijau
dan koyak dilintasi bocahbocah
yang senantiasa menawar dongeng
pada tanah yang diwakafkan
Lantaran Aku Mengenangmu
lantaran aku mengenangmu
lampulampu jadi bisu
gelas kaca dan empedu
beradu dalam mata dadu
celingus kucing membawa isyarat
kegelian waktu, menoreh kisah batu
tercentang dalam peradaban yang dingin-kaku
tahuntahun yang berguguran
tahuntahun yang terbingkai krisan
tak jua bergegas dari lingkaran
tanah yang merah padam
sehabis terbakar awan
lantaran aku mengenangmu
doadoa tak berkepala
mengkristalkan sisa asap pembakaran
lalu moksa dari ketakabadian
Doa Seekor Sepat
doa seekor sepat, merembes di bebatuan
menadah hujan mirah dari langit
tak bermuka, digilas lelaki pengumpat
dan doanya menjadi kecut
sekecut sumur tua
dimana anak labalaba bersuka
hatinya kerap dihunus
di persimpangan kota
matanya
yang buta
mengapungapung telanjang
sembari bermimpi basah
menikahi putri tanah