Lagi-lagi begini lagi, Dul. Quotes, maqolah, atau kata-kata mutiara itu akhirnya ya cuma jadi pajangan di beranda media sosial. Entah di instastory, cuitan Twitter, atau jadi status WhatsApp. Mau berisi tips-tips sukses atau 1001 cara melupakan seseorang, ya ndak bakal terwujud kalau ending-nya tetap jadi pajangan saja. Progress-nya kosong blong. Ya ndakpapa. Namanya juga hidup—kadang seperti tai, kadang juga lebih tai.
Lelah, marah, atau kecewa cuma sebagian kecil dari acaknya hidup. Bumbu-bumbu hidup ini ndak paten resepnya. Kadang cuma satu-dua, kadang lebih tiga-empat, kadang juga belasan, puluhan, ratusan. Atau cukup satu saja; ketidakjelasan. Bukankah ketidakjelasan itu mencakup semua bumbu-bumbu hidup kita ini, Dul?
Orang-orang yang kita kenal itu tetap saja asing, Dul. Kita ndak bakal tahu siapa mereka. Pun dengan diri kita sendiri. Wong kita ini cuma orang gila yang acapkali mikir ini-itu dengan tidak jelasnya. Jangankan terhadap orang lain, kita saja kerap membohongi diri kita sendiri. Mesakké, bukan, diri kita sendiri ini?
Untung saja, di tengah-tengah ketidakjelasanku ini, Dul, aku masih nemu sependar titik kejelasan. John Mayer yang ngasih tahu. Meskipun aku ini orangnya pesimisan, setelah dengar pesan Mas Mayer aku jadi optimis. Optimis akan ketiadaan. Optimis akan pesimisme-ku sendiri. Harapan itu fana, Dul, cuma bikin kamu sesak dijebak kecewa kalau saja tiada tercapai.
“Should’ve been open
Should’ve done more
Should’ve learned a lesson from the year before
Should’ve been honest
Should’ve just cried
Should’ve told me there was nothing left inside”
Memang kita ini harusnya terbuka, berbuat lebih banyak, mau belajar, jujur, dan ceplas-ceplos saja. Tapi ya apa daya, dari awal kita ini sudah bohong sama diri sendiri. Bilangnya oke-oke saja, padahal batinnya remuk. Bilangnya baik-baik saja, padahal otaknya pecah overthinking. Kepercayaan diri cuma dipunyai mereka yang berani ngomong tai, sementara kita disibukkan dengan tai-tai yang lain.
“Now the road keeps rolling on forever
And the years keep pulling us apart
We lost something, I still wonder what it was
It shouldn’t matter
Shouldn’t matter, but it does”
Pamungkas hendak rilis album baru, Dul. Berarti waktu masih saja berjalan panjang. Kemarin The Beatles dengan musiknya yang oke, sekarang Fiersa Besari dengan lagunya yang alay-alay itu. Ya memang tidak pantas untuk dibandingkan, Dul. Tapi, seiring tahun bertambah, seiring berkurang lah daya kreasi kita.
Kehilangan memang rumit, Dul. Mungkin butuh waktu sampai kamu bisa menerima kehilangannya. Tapi tetap saja, kemana arah hilangnya masih jadi pertanyaan di kepalamu. Kelihatannya tidak masalah, tapi kita berlebihan meringankan kehilangannya. Menyesal saja, Dul, itu lebih lakik. Terima kenyataanmu.
“You should’ve just broken
You should’ve come clean
You should’ve been sad instead of being so fucking mean
It shouldn’t be easy
But it shouldn’t be hard
You shouldn’t be a stranger in your own backyard”
Self-love itu cuma bahasan komat-kamit yang seringkali mondar-mandir di beranda medsos, Dul. Tidak lebih dari omong kosong. Pengaplikasian self-love itu dengan membela diri kita sendiri. Kalau dirasa jadi pelaku sebuah kejadian, bela saja dirimu sendiri seolah-olah kamu sendiri korbannya. Jangan pasang raut muka bangga atau sumringah, bikin saja sedih, kecewa, atau apa saja yang bisa membuat orang lain melihatmu sebagai korban. Jangan lupa bumbui dengan cerita-cerita yang mendukung self-love itu sendiri.
Semua yang berjalan ini ndak seharusnya susah, pun ndak seharusnya mudah. Intinya, di halaman rumahmu sendiri, di dalam dirimu sendiri, jadilah bajingan kalau kamu memang bajingan. Tidak perlu berlagak sopan.
“I shouldn’t be angry
I shouldn’t hold on
I shouldn’t leave you messages in every little song
It could’ve been always
It could’ve been me
We could’ve been busy, naming baby number three”
Sementara kamu berlagak jadi korban—yang walaupun jelas-jelas kamu sendiri pelakunya, sudutkan saja aku, Dul. Bikinlah semua orang percaya kalau sebenarnya diriku inilah yang menjadi pelaku semua ketidakjelasan ini. Bikinlah aku marah, bikinlah aku tidak mengenal diriku sendiri. Bikinlah aku menyesal dan depresi dengan permainanmu yang main-main saja itu. Biar saja waktu kita terbuang dengan self-love tai anjing, sementara kita bisa saja sibuk mencari nama buat anak kita masing-masing.
Shouldn’t Matter but It Does milik John Mayer itu memang cengeng nada dan musiknya, Dul. Tapi liriknya lakik. Diatas semua ketidakjelasanmu itu, kuncinya cuma satu; menerima. Kita ini ndak butuh solusi muluk-muluk, quotes alay, atau semangat dari orang lain. Selagi kita ndak menerima apa-apa yang terjadi, ya buat apa? Mbok diterima dan tetaplah jalan.
Orang sekarang terlalu banyak berharap tapi takut kecewa, Dul. Alias, mereka ndak siap menerima apa saja yang bisa terjadi diluar kehendaknya. Maka aku salut dengan orang yang sukar kecewa, entah karena memang sudah siap dengan apa saja yang terjadi atau karena tidak punya harapan tapi tetap berani ambil jalan.
Masih saja, Dul. Hidup masih saja ruwet walaupun mestinya gampang-gampang saja. Isi kepalaku sibuk melulu. Lebih sibuk dari orang-orang yang berusaha menjadi korban walaupun mereka sendiri pelakunya.
Gabusan, 24 Januari 2022