Mbak, kalau kamu dapat dentang chat yang sibuk mengajakmu munajat tengah malam. Aku bisiki dulu ‘ndak ada jaminan, kalau doi yang ngechat kamu yo salat malam juga’. Bisa jadi si abang yang mengirimimu pesan manis untuk cepat-cepat bangun dan wudlu di jam dua pagi, aslinya sedang asik ngerumpi di warung kopi. Memasang alarm, mengingatkan untuk membangunkan tahajud. Biar dikira calon imam perhatian dan idaman, padahal kenyataanya? halah-halah.
‘Tapi kak, tiap jam salat ia tak henti mengirim chat?’ ya baiklah. Mungkin ia sedang memasang identitas pria sholih yang tak lupa tiap azan berkumandang untuk mengingatkanmu menggantikan lantunan dari toa masjid seberang. Pernah kamu tanya balik tidak, ‘bang rajin amat, apa ndak jamaah?’
Kemudian jangan lupa, ia akan dengan sering mengirim skrinsyut eh screenshot quote motivasi islami yang menggurui pribadimu yang menurutnya belum sempurna. Dan kamu bahagia, menemukan jalan kembali kepada Tuhan darinya. ‘Sepertinya dia berbeda kak?’
Sejak awal aku tak mempermasalahkan cara abang perhatianmu mengirim chat untuk menagih perhatian. Toh semua orang punya cara untuk pendekatan, dan mungkin dengan dalil agama dan ajakan ritual kamu akan dengan senang membalas pesannya yang panjang. Tapi yang kadang membuatku risau sholihah, bahwa karena pesan surgawi yang dibawanya membuat silau dan kerap menjadikanmu membenarkan tindakan tidak benarnya.
Kamu jadi tidak masalah ketika ia diam-diam mengirimkan pesan yang sama rajinnya kepada perempuan, dengan alasan jalan kebaikan dan mengingatkan. Kamu jadi membiarkan ketika ia berteriak kasar atau malah memukulmu ke tepian. Bagimu, laki-laki di atas, dan tak pernah masalah perempuan jadi objek kekerasan.
Katamu dalil yang dilantangkan di telingamu membuatmu tak mampu mengelak, hilang suara karena khawatir durhaka pada agama yang kini kau peluk dengan yakin sejak hadirnya. Belakangan kamu jadi bertanya, kenapa mendekati Tuhan jadi sedemikian menyeramkan dan agama mengabaikan luka hatimu yang menganga atau lebam tubuhmu yang membiru?
Kamu jadi bertanya-tanya apakah agama yang kau anut adalah agama yang lantang bersuara soal damai, menularkan cinta dan kasih pada sesama bahkan pada yang tidak sama? Dan kamu jadi takut, menganggap bahwa pria dengan lagak saleh yang salah kau temui adalah sama semuanya. Kamu jadi bertanya, kenapa laki-laki yang paham agama tapi cenderung menyakiti dan tak setia di sisi?
Padahal sayang, jika ia sejatinya memahami agama dengan sebaik-baik pemahaman. Tak pernah ada luka yang harus kau terima, selain penghormatan bahwa agama mengajarkan memuliakan perempuan yang bahkan sebelum hadirnya tak dianggap manusia.
Sayang, sejak awal sudah kukatakan bukan? Kamu tak cukup mengukurnya hanya dari pesan malam yang kamu bahkan tak tau ia sedang apa. Ia tak mengisyaratkan kadar ketakwaan sejati yang bersemayan di hati. Karena memang dalamnya tak mampu diukur dari deret pesan-pesan itu.
‘Lantas, jika itu tak mampu jadi tolak ukur bagaimana aku harus mengukur?’ Bertanya pada hatimu. Ritual adalah perkara paling dasar yang harusnya telah selesai diurus personal, bukan dipamerkan kepadamu sebagai niatan agar terlihat gemilang. Kenali dirinya dari sikap paling marah yang tak terkendali atau perasaan paling bahagia saat menimpali.
Agama sebagai tolak ukur yang dipinta agama dapat kau tengok dari laku harian yang diperbuatnya. Di hadapanmu, atau di belakang yang kau tau dari cerita teman. Perlakuan ia kepada orang tua dan sekitar, hingga mungkin hal-hal sederhana yang menampakkan keberagamaannya dengan segala lakunya.
Sejujurnya, aku pun tak punya kriteria dan cara pasti untuk memastikan definisi terbaik yang harusnya kau patuhi. Pesanku, jangan lupa untuk bertanya kepada Tuhanmu sekali lagi. Ia kah yang terbaik yang dapat membawamu menyeberangi jalan kehidupan, sebelum kembali kepadaNya sebagai hamba dengan penuh kepatuhan?