Kemarin
Apa itu kemarin?
Dan tahukah kamu, apa itu kemarin?
“Kemarin” hanyalah masa yang pernah kita lalui. Dia adalah sesuatu di belakang kita. Sedangkan bila di depan, dia menjadi “besok”. Bila membersamai kita, dia menjadi “sekarang”.
Kemarin itu unik. Entah bagaimana, dia bisa menjadi sebuah objek untuk dirindukan. Sedangkan besok, masih kita nanti-nantikan. Dengan visi-misi atau rencana kita yang sedemikian rupa, kenyataannya akan ditentukan oleh “si Besok”. Sementara merencanakan, turut pula “si Sekarang” yang menemani kita untuk merealisasikan wacana-wacana bagi “si Besok”.
Salah satu maestro Rock tahun 60-an, pernah meromantisasi “si Kemarin”. The Beatles namanya. Band dengan empat anggota—Paul McCartney, John Lennon, George Harrison, dan Ringo Starr—itu, menggarap lagu yang diberi judul “Yesterday“, salah satu nomor dari album “Help!” yang dirilis pada tahun 1965.
Di kala Paul McCartney tidur, dia mendengarkan melodi-melodi yang terus menghantui pikirannya. Sekejap setelah terbangun, duduklah dia menghadap ke piano miliknya, dan menyusun melodi-melodi tadi untuk diharmonisasi (baca: menyusun tatanan chord). Syahdan, McCartney bersama rekannya, John Lennon, menuliskan syair untuk mengisi melodi-melodi tersebut.
“Yesterday, all my troubles seemed so far away
Now it looks as though they’re here to stay”
Kemarin kurasa tenang-tenang saja. Bercanda-tawa dengan kawan-kawan, menghabiskan waktu sepanjang hari untuk bermain, pulang ke rumah saat sola-sola (sholawat pujian menjelang azan Maghrib). Masalah terasa sangat jauh. Atau malah mungkin kita tak merasa akan terjadinya sebuah masalah. Sekarang, malah kita yang mendatangkan apa-apa untuk kita jadikan masalah. Mereka, masalah-masalah, seolah-olah betah dengan kita yang sekarang.
“Suddenly, i’m not half the man i used to be
There’s a shadow hanging over me”
Bagaimana kabarmu dengan dirimu sendiri, Bung? Sudahkah kalian saling mengenal? Atau jangan-jangan kamu tak kenal sama sekali?
Sialnya, aku merasa bahwa aku yang sekarang ini bukanlah aku yang seharusnya. Dalam satu sisi, aku ingin menjadi aku yang dulu, yang ceria dalam hari-harinya, tanpa menjadikan apapun sebagai beban. Sekarang, seolah ada bayangan yang menggantung di atasku, yang memaksaku untuk harus ini-itu tanpa perlu mengenal siapa sebenarnya diriku.
Harusnya aku lebih mengenal diriku sendiri. Sering sowan pada diriku sendiri. Agar kemudian aku tak hanya menjadi separuh dari siapa sebenarnya aku. Harusnya.
“Yesterday, love was such an easy game to play
Now I need a place to hide away”
Bagaimana kisah cintamu sekarang, Bung? Syukurlah kalau manis. Pun kalau pahit, ya sabar saja. Semua punya masanya.
Kemarin, cinta itu sebagaimana permainan yang mudah untuk dimainkan. Cari pacar, pacaran, putus, cari lagi. Atau kalau beruntung, balikan. Sudah balikan pun, putus lagi. Pacaran cuma sebulan, itu pacaran atau kuota internet bulanan?
Semudah itu, lho, cinta di waktu lampau. Itu kalau cinta yang dipahami cuma berhenti di istilah “pacaran”. Sekarang, kita lebih tahu apa itu cinta. Meski tak mungkin jelas meski ribuan kata diucap, kita tetap bisa merasakannya. Sebab cinta itu dirasa, bukan sekadar di “kata”.
Pun sekarang, banyak orang “vakum” dari dunia percintaan. Sembunyi dari cinta yang dielu-elukan banyak orang. Bukan berarti mereka tak punya cinta, lho. Bisa saja mereka mempersiapkan dirinya dahulu, untuk lantas mengeksploitasikan cintanya kepada siapa pun yang ingin diberinya cinta.
“Why she had to go I don’t know, she wouldn’t say
I said something wrong, now I long for yesterday”
Sobat Ambyar tentu pernah merasa ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Tanpa kata-kata, tanpa senyum di muka, hilang begitu saja bagai demonstran yang diculik ketika menyuarakan pendapatnya.
Sampai Sobat Ambyar merenung-renung, apa salahnya hingga ia ditinggalkan. Dengan kerendah-hatiannya, dia tak menyalahkan yang meninggalkannya. Dia merasa mungkin pernah mengucapkan sesuatu yang menyakiti, atau apapun itu, entah. Yang jelas dia ditinggalkan.
Perjalanan kita dengan waktu memang begitu kompleks. Dengan “si Kemarin”, dengan “si Sekarang”, atau nanti dengan “si Besok”. Semua akan membentuk kenangannya masing-masing.
Oh ya, tiada salahnya untuk merindukan kemarin, kan? Apa sebuah aib kalau aku merindukan kemarin, sebagaimana aku merindukanmu sekarang, Dik?
“Oh, I believe in Yesterday
Now I long for Yesterday”
Comments 1