Tidak lengkap rasanya, jika kamu berkunjung ke Kota Kupang NTT, namun tidak mengunjungi Pulau Semau. Pulau kecil yang terletak di sebelah barat Pulau Timor ini, sangat sayang untuk disia-siakan keindahan alamnya. Kamu hanya perlu waktu 20 menit untuk menyebrang ke Pulau Semau, dari Pelabuhan Tenau, Kupang. Jika kamu berangkat dari pusat Kota Kupang (Bundaran PU), kamu hanya butuh waktu sekitar 30 menit, untuk menuju Pelabuhan Tenau.
Sesampainya di Pelabuhan Tenau, kamu bisa menyebrang ke Pulau Semau dengan kapal feri atau perahu motor. Kapal feri hanya ada 1 kali pemberangkatan, yakni pukul 07.00 WITA. Tarif tiket kapal feri per orang 10.000 rupiah, untuk kendaraan bermotor roda dua, 15.000 rupiah. Sedangkan jika anda naik perahu motor, tarif per orangnya 20.000 rupiah, dan untuk kendaraan bermotor roda dua 50.000 rupiah. Untuk perahu motor, tidak ada jadwal khusus, jadi kamu bisa berangkat pukul berapapun.
Tujuan saya dan tim ke Pulau Semau, selain mengeksplor keindahan wisatanya, kami juga berniat bersilaturrahmi ke salah satu kenalan anggota tim saya saat menjalankan tugas di program Nusantara Sehat. Tempat pertama yang kami tuju adalah satu-satunya kampung muslim di Pulau Semau. Oh iya, di musim kemarau, menurut warga sekitar, teriknya matahari di Pulau Semau melebihi pulau-pulau lainnya di NTT. Tidak heran, Pulau Semau disebut intinya matahari. Wew…
Sesampainya di Pelabuhan Hansisi, Pulau Semau, kami langsung menuju kampung muslim dengan menggunakan motor. Jalanan di Pulau Semau sebagian besar masih belum beraspal. Hanya sekitar 1 km jalan setelah keluar dari pelabuhan yang sudah diaspal. Kami hanya berbekal maps dan bertanya ke warga sekitar untuk menuju lokasi tujuan. Dan ternyata, jaringan internet di pulau ini tidak bisa diandalkan. Kami pun harus beberapa kali putar balik karena salah jalan.
Sebenarnya, sejak keluar pelabuhan, kami sudah berjalanan beriringan dengan oto (mobil pick up) milik orang yang akan kami kunjungi rumahnya. Hanya saja, oto ini juga sedang mengangkut penumpang dari Kupang yang akan pulang ke Pulau Semau. Sehingga masih mengantar ke beberapa desa lain sebelum sampai ke rumahnya. Sejak berpisah dengan oto yang memandu perjalanan kami, dan jaringan internet mulai tidak bisa diandalkan, kami pun kebingungan. Heheu…
Berbekal slogan “malu bertanya sesat di jalan”, sedikit demi sedikit, kami bertanya ke warga sekitar. Uniknya, selama perjalanan di Pulau Semau yang masih sedikit populasi penduduknya, jika kamu bertemu Patung Yesus di pinggir jalan, itu pertanda kamu memasuki desa/perkampungan warga. Setiap perkampungan di pulau ini ditandai dengan Patung Yesus beberapa meter sebelum memasuki perkampungan tersebut.
Setelah kurang lebih 2 jam perjalanan, melewati jalanan tak beraspal di bawah teriknya matahari kami sampai di kampung muslim. Pakaian kami terutama yang berwarna hitam berubah warna menjadi abu-abu, karena tumpukan debu jalanan tak beraspal yang kami lewati. Kami dipersilahkan untuk makan siang dan sholat di masjid. Dan tentunya, masjid ini satu-satunya masjid di Pulau Semau.
Setelah makan siang dan sholat, kami istirahat dan beramah tamah dengan warga kampung muslim. Setelah sholat ashar, kami diajak ke Pantai Liman. Menurut warga kampung muslim, Pantai Liman cocok untuk sunset hunter. Bersyukurlah kami, karena perjalanan ke Pantai Liman ini kami menaiki oto.
Sesampainya di Pantai Liman, kami disuguhkan hamparan pasir yang menggunung. Warga sekitar juga menyebutnya Bukit Liman. Dari tempat parkir kami berjalan sekitar 15 menit menuju puncak Bukit Liman. Lelah kami sungguh terbayarkan saat sampai di puncak bukit. Pemandangan Laut Sawu dan hamparan savana serta pepohonan di bawah bukit langsung mencolok mata kami.
Kami sampai Pantai Liman di waktu yang tepat, sekitar pukul 16.30 WITA. Sembari menunggu sunset, kami berswafoto dengan serta berjalan-jalan menuruni bukit menuju pasir pantai yang juga tak kalah indahnya. Memang wisata pantai di NTT kebanyakan masih jarang terjamah, oleh karena itu, keasriannya masih terjaga.
Momen yang ditunggu pun tiba, sunset menghadap Laut Sawu tidak boleh disia-siakan. Pemandagan sunset di pantai dari atas bukit jarang sekali didapatkan terutama di pantai-pantai Pulau Jawa. Lokasi Pantai Liman menghadap Laut Sawu, karena di sebelah barat Pulau Semau, masih ada Pulau Sawu (Sabu Raijua). Selain itu, ada pulau kecil tak berpenghuni yang ada di seberang Pantai Liman ini.
Setelah puas berswafoto saat sunset, dan langit pun sudah menelan mentari, kamipun kembali menuju oto untuk pulang ke kampung muslim.
Keesokan harinya, setelah sarapan, kami diajak mengunjungi rumah sang “pembabat alas” Pulau Semau. Seorang tokoh masyarakat yang dihormati seluruh warga Pulau Semau. Di sana kami diceritakan tentang awal mula kehidupan masyarakat di Pulau Semau. Hal unik yang saya temui di rumah sang “pembabat alas” Pulau Semau adalah, beliau memiliki berbunga merah muda, yang akan terus berbunga lebat meskipun musim kemarau melanda.
Kami melanjutkan perjalanan untuk pulang ke Kota Kupang. Beruntungnya, searah perjalanan pulang, kami masih disuguhkan dua pantai yang tak kalah eksotis. Kami pun mampir untuk berswafoto. Pantai Uinian dan Pantai Otan yang juga masih jarang terjamah wisatawan pun membuat perjalanan kami yang diserang teriknya matahari sedikit terbayarkan lelahnya.
Setelah menikmati pantai-pantai selama perjalanan pulang, kami sampai di Pelabuhan Hansisi sekitar pukul 11.00 WITA. Kami langsung mencari perahu motor untuk kembali ke Kota Kupang. Kami naik perahu motor karena jadwal kapal feri dari Pulau Semau ke Kupang baru tersedia pukul 15.00 WITA. Sensasi menaiki perahu motor di laut NTT ini sungguh menggugah adrenalin. Ombak yang cukup besar, membuat perahu motor yang kami naiki terombang-ambing. Beruntung tim kami tidak ada yang gampang mabuk perjalanan. Huhuu..
Sekian perjalanan kami di Pulau Semau. Jika kamu berkunjung ke Kota Kupang NTT, jangan lupa sempatkan mengeksplor Pulau Semau. So, see you next trip!