Mula-mula guratan awan itu akan menepi, dan yang tersisa di hadapannya hanya hamparan haru biru tak kasat rasa. Menyadari hujan hanya menggugurkan tetes kenangan, bukan rintik kesunyian, maka dia tempatkan hujan di urutan kedua selazimnya panas kemarau yang juga perlu dinikmati, sebelum dibasahi.
Didih aroma khas kopi capuccino sudah menguapi seisi ruang. Menyesapi ubun-ubun. Bersamaan dengan nyaring bunyi ret-ret mengalun pada pepohonan hijau rindang di halaman depan. Lamat-lamat denyutnya mendendangkan isyarat, dan dia tahu waktu mencumbui kata telah tiba. Maka diamatinya rangkaian huruf yang tersungkur di atas meja—lalu terpejam.
Sampai titik waktu yang tak diketahui pasti, dia dapat duduk lama berdiskusi dengan sunyi. Setidaknya sampai Dewi Athaleya; Dewi Kata yang dia yakini dari singgasana imaji, datang menjemputnya.
Rumah itu tak terlalu luas. Berukuran tipe 36. Sesuai kesepakatan, setamat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, aku dan dia bermaksud hendak memiliki rumah singgah. Kami berdua bertemu di sebuah toko buku. Pertemuan yang kemudian mengantarkanku melewati perkenalan dan peristiwa tentangnya; wanita yang tampak selalu menyeringaikan pedih dalam tulisannya.
Dia telah mendakwakan hidupnya sebagai seorang penulis. Menemukan bakatnya dalam seni kata-kata dari seorang penulis kondang, yang kemudian menjadi orang tua angkatnya. Dia yatim piatu. Masa kecilnya direngsek kepada keseharian kehidupan liar dan kelam di jalanan. Pernah diculik sebagai budak untuk mengumpulkan uang kepada sang majikan. Sampai dijual sebagai budak seksual.
Mungkin pengalaman pedih itu yang telah membuatku kagum kepadanya. Kemampuannya menulis dalam menelanjangi tokoh utama ‘Shyana’ dalam buku novel ‘Gelap’ karya miliknya sebagai artikulasi fiksi akan sosok nya sendiri, seolah mampu membuat pembaca tenggelam merasakan langsung dalam alur perjalanan cerita sang tokoh yang dia buat.
Tak diragukan jika karya itu kemudian mendapat anugerah sebagai salah satu karya sastra terbaik. Tapi kepuasannya bukanlah pada pencapaian penghargaan itu. Dia pernah berkata, “Penderitaanku yang telah lalu sedang tak sepenuhnya lepas menyakitiku.” Maka dia menulis, bermaksud hendak melampiaskan kemalangan yang mengulir dalam darah usianya. Melenyapkannya, sebagai pilar kemenangan.
“Bukankah kita manusia separuhnya pongah dan mesti merasakan sakit?”
“Memang. Penderitaan yang baik adalah yang menghidupkan. Jika tidak begitu, tak ada daya tarik dalam kehidupan untuk dirasakan. Apalagi jika hari-hari berlalu hampir selalu monoton,” terangnya.
“Lalu?”
“Tapi masing-masing dari kita memiliki batasan.”
Apalah arti dari keberadaan seorang teman. Pastinya, aku menyadari untuk membantu melepaskan kesedihannya yang membelenggu itu. Namun apalah pula arti dari keberadaan seorang teman, jika tak turut mengerti maksud keinginannya yang tak ingin tirainya disingkap lebih jauh.
***
Dalam waktu dekat peluncuran buku karya terbarunya akan segera diadakan. Ada keinginan dariku untuk memberikannya kejutan, sebuah kado kecil. Mungkin sepulang kerja nanti aku akan menyempatkan diri untuk membelinya. Jon memintaku untuk membantu. Hari ini bar cukup ramai. Berulang kali sudah kukatakan untuk tidak membuka bar setiap hari, tapi si pemabuk tua itu selalu saja berkelit.
“Lebih mudah bagiku memahami surga Tuhan ketika membuka pintu bar untuk seorang duda yang rindu peluk-hangat seorang wanita, tanpa aku harus datang ke gereja,” kata Jon suatu ketika. “Menghadirkan kepadanya sebotol wiski. Bercerita banyak hal. Lalu kalimat ‘harimu akan jauh lebih menyenangkan’ menutup segala isi hari itu dengan penuh kelegaan. Beratkah untukmu membuka kesenangan kecil semacam itu untuk orang lain?”
Begitulah Jon, aku mengenalnya cukup lama. Dia pria baik. Dari ketika dia menerimaku bekerja di Roxanne Central Bar sebagai pelayan paruh waktu kala kuliah dulu, sampai usianya sekarang yang tak lagi muda, lelaki bertubuh pendek itu tetap saja baik.
Bar ini dulunya dibangun oleh Nyonya Smith, mendiang istrinya, seorang imigran gelap, yang sama baiknya seperti Jon. Mereka suka membagikan sebotol bir dan sepotong roti sandwich pada hari Jumat dan akhir pekan kepada para gelandangan. Selalu ada ruang kosong dengan kasur dan selimut di belakang bar bagi mereka yang ingin sekedar bermalam.
Seakan bar ini adalah sebaik-baiknya rumah bagi siapa saja. Jon, lebih merasa senang membuka bar setiap harinya. Menukar kesedihan yang setiap saat datang dengan kebahagiaan.
“Aku tidak bisa membantumu sampai malam. Ada banyak hal yang juga harus dilakukan seorang wanita. Ke mana Norris?”
“Kuberi beberapa dolar dan menyuruhnya pergi berkencan,” jawab Jon, lalu menenggak gelas minumannya yang kesekian.
“Dan kau mengikatku di sini?”
“Wanita itu terlalu bekerja keras. Sama sepertimu. Tapi dia bersedia menerima nasihatku.”
“Jon…” Aku tahu maksud dari pembicaraannya. Aku dan Jon terus membicarakan tentangnya belakangan ini. Jon sudah pasti tahu keadaan yang sebenarnya terjadi.
“Dengar. Menurutmu bagaimana pemabuk tua sepertiku mampu bertahan menerima kesedihan yang datang silih berganti?”
Dia kembali menenggak minumannya. Lagi dan lagi. Leher kecilnya yang mulai berkerut itu seolah tampak akan terbakar menopang minuman keras yang mengalir dalam kerongkongannya. “Akh…” raung Jon, melepas raut wajah keras. “Tidak ada yang lebih baik dari sebotol wiski,” racaunya.
Aku diam tak menggubris.
“Kadang, ada saat kau tak mampu membendungnya dan merasa perlu melepaskannya, tapi kau tetap berusaha sadar tengah terluka.”
“Tak ada alasan bagiku untuk tidak bertahan, Jon. Kau tahu itu.” Kucoba mengalihkan diri darinya, lalu melap gelas-gelas di lemari.
“Jika kau peduli pada perasaan karyawanmu, kusarankan lebih baik kau mulai mencari pelayan lagi untuk membantu. Atau orang-orang itu akan membawamu ke panti dan mulai menyuruhmu minum susu setiap paginya.”
“Dan begitulah kemalangan menimpamu,” timpalnya mengabaikan, mulai bertingkah tak karuan. “Dan segera ingin membunuhnya, bukan?!” Tangannya mengunjuk-unjuk tak jelas. Dia terlihat sangat mabuk.
Jon meraih gelasnya. “Kau…” katanya, limbung, sambil sejurus kemudian tampak berusaha bangkit dari kursi, “tak boleh membiarkannya…” lalu menenggak habis minuman berwarna bening kecokelatan itu untuk terakhir kali. Wajahnya tampak memerah. Matanya luyu. “Tidak, nona,” ucap Jon, sebelum akhirnya si tua itu rebah di atas meja bar dan tak sadarkan diri.
***
Tampak di balik gedung-gedung yang meredup, seorang gelandangan tengah pulas tertidur dalam mimpi beralaskan aspal yang dingin. Seekor anjing melompat turun ke bahu jalan dari entah. Terbirit menuju lorong gang yang gelap. Sebentar, sayup bunyi sirine mobil polisi berpatroli terdengar melintang dari kejauhan, lalu hilang sama sekali.
Kuputuskan beristirahat sejenak di bangku jalan. Hembus angin malam ini cukup mampu menusukmu untuk duduk sebentar menikmati segelas kopi hangat. Norris baru saja kembali. Kutinggalkan Bar lebih awal, dan menyuruhnya berjaga sementara Jon belum terbangun.
Kurogoh sebatang rokok yang tersisa dari dalam tas, dan membakarnya. Aku suka merokok ketika sedang berada di luar. Lebih tepatnya, ketika tidak sedang bersama dengannya. Wanita itu akan sangat benci jika sampai melihatku. Aku tidak mengerti. Maksudku, apa yang salah? Rokok tidak mengenal identitas ataupun moral antara seorang yang bejat dan saleh. Sesekali, aku pikir dia mesti mencoba. Ada ketenangan janggal yang nikmat dalam setiap hisapan yang sulit untuk dijelaskan.
Fifth Avenue Street terlihat anggun malam ini. Tak banyak kendaraan yang lalu-lalang. Beberapa orang tampak berkeliaran mengenakan mantel dan syal. Sebagian toko-toko juga telah tutup. Bintang-bintang di langit terlihat cukup jelas dan membuatmu tenang.
Geliat alunan lagu The Thrill is Gone dari BB. King terdengar menggema syahdu pada sebidang kecil taman di seberang. Seorang pria dengan gitarnya memandu orang-orang yang mengerumuninya untuk menari. Beberapa tampak menikmatinya dengan riuh, dan juga sebotol bir. Tak jauh, sepasang manula mesra duduk berdua, bercengkerama, berpayungkan pohon elm yang rindang. Serasa malam adalah mereka; larut, namun semakin hangat.
***
Wajahnya terlihat pasi ketika aku bangun menemuinya. Toko buku yang ingin kukunjungi untuk membeli hadiah ternyata tutup. Dan karena terlalu menikmati suasana semalam, aku pulang di atas pukul dua belas, lalu lepas tertidur dengan pulas begitu saja tanpa menyadari aktivitas apapun sebelumnya di rumah.
“Ingin keluar berjalan-jalan sebentar?” Tanyaku, menawarinya. Lingkar matanya tampak hitam karena kurang tidur. Rambutnya yang pirang kehitaman terurai berantakan. Kulihat lembar-lembar tulisan yang sudah dicetak dari mesin print tampak berhamburan di setiap sudut kamarnya. Dan sebuah paragraf entah halaman yang kesekian di layar monitor laptopnya terlihat belum tuntas terketik menemui titik.
“Lebih baik kau berisitirahat, tak baik memaksakan diri. Jika terus seperti ini, bukankah sama saja bunuh diri perlahan dan menyerah?” Dia hanya bergeming. Tertunduk lesu menyandar di kaki dipan.
“Kau ingin segelas kopi?” Tanyaku berusaha mengalihkannya dari diam, “Kau suka kopi capuccino, kan? Aku akan membuatkannya untukmu, spesial,” kataku tersenyum, tanpa peduli dia akan menanggapi.
Dia terpicing, seolah sedang berusaha menahan genangan yang kian penuh di balik matanya yang kecil. Kurapatkan tubuhku dan berpegang pada bahunya, lantas aku memeluknya erat.
Tak pernah ada firasat apapun padaku itu akan menjadi pelukan terakhir.[]
November, 2020