Kehidupan manusia begitu ramai diwarnai dan dihiasi oleh beragam harapan dan tujuan. Salah satu harapan atau tujuan tersebut yaitu kebahagiaan. Kebahagian, yap, bila kita mendengar kata tersebut, satu hal yang terbayang dalam benak: sebuah kesenangan yang begitu diidamkan dan dicita-citakan oleh manusia.
Kata itu memiliki makna universal bagi mindset dari setiap individu. Jika kita mengasumsikan bahwa suatu kebahagian ialah berupa tujuan tertinggi manusia, maka asumsi tersebut perlu diklarifikasi kembali. Mengapa demikian? Karena ia berkaitan dengan berbagai perspektif manusia tentang kebahagiaan itu sendiri.
Ada yang mengatakan bahwa kekayaan itu ialah suatu kebahagiaan. Ada juga yang mengatakan bahwa kesehatan itulah kebahagiaan. Atau bahkan suatu kebahagiaan adalah ketika kita dihormati dan dihargai oleh sesama.
Meskipun, persoalan kebahagiaan sejak jaman dulu telah menjadi tema utama dalam pembahasan para filsuf dan para ilmuwan terkemuka selama berabad-abad, istilah bahagia atau kebahagiaan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan oleh semua manusia. Mungkin karena ia disikapi sebagai tujuan dari hidupnya. Karenanya, kebahagiaan ini menjadi topik yang seakan tidak akan pernah habis diperbincangkan, sebab ada begitu banyak pandangan dan pendapat mengenai hal ini.
***
Apa sebenarnya hakikat kebahagiaan ini? Kita akan meninjau perkara kebahagiaan ini sebagaimana yang dirumuskan oleh Aristoteles, seorang filsuf yang lahir pada tahun 384 SM di kota Stageria di daerah Tharakia Yunani Utara dan meninggal pada tahun 322 SM.
Dia merupakan seorang filsuf sekaligus ilmuwan Yunani yang menjadi salah satu tokoh intelektual terbesar dalam sejarah filsafat Barat. Ia terbilang menguasai sebagian besar ilmu pengetahuan dan seni, termasuk biologi, botani, kimia, etika, sejarah, logika, metafisika, retorika, filsafat pikiran, filsafat sains, fisika, puisi, teori politik, psikologi dan zoologi. Tak heran jika Arsitoteles masuk ke dalam peringkat ke-14 dalam buku The 100 A Rangking of The Most Influential Persons in History, karya Michael H. Hart.
Dalam bahasa Yunani, kebahagiaan dikenal dengan istilah eudaimonia yang berarti kebahagiaan. Kata ini terdiri dari dua suku kata: “eu” (“baik”, “bagus”) dan “daimon” (“roh, dewa, kekuatan batin”). Secara harafiah eudaimonia berarti “memiliki roh penjaga yang baik”. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi, eudaimonia berarti “mempunyai daimon yang baik” dan yang dimaksudkan dengan daimon adalah jiwa.
Berpijak dari situ, kebahagiaan merupakan salah satu keinginan yang ada dalam diri manusia dan sudah menjadi fitrahnya. Menjadi wajar jika setiap manusia berupaya untuk memperoleh dan merasakan kebahagiaan itu dalam hidupnya. Akan tetapi, acapkali yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimana dan apakah kebahagiaan itu yang sesungguhnya? Serta bagaimana pula cara untuk meraih kebahagiaan yang hakiki dalam hidup dan kehidupan ini?
Berbicara tentang kebahagiaan, tidak luput kaitannya dengan persoalan etika. Etika Nikomachea merupakan salah satu karya Aristoteles yang ditulisnya ketika dia berada di Lykeon. Di dalam karya tersebut, Arsitoteles memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku bajik dan mengembangkan watak yang bijak pula.
Tentu hal tersebut menjadi dasar pemikirannya yang berawal dari konsep tentang “tujuan” (telos). Dan dari konsep itulah ia mengeksplorasi secara mendalam terhadap etika, dengan mengindentifikasikan dan menguraikan secara kritis, reflektif, dan argumentatif. Oleh sebab itu, etikanya disebut eudaemonisme.
Kemudian dia menjadikan eudaemonisme sebagai puncak tujuan sebagaimana terdapat dalam karyanya The Nichomachean Ethics. Dalam karya itu, tidak diragukan lagi begitu matangnya pemikiran Arsitoteles mengenai etika. Meskipun begitu, etika menurut Aristoteles sering kali dikatakan “etika egois”. Dalam artian bahwa yang menentukan adalah akibat dari perbuatannya si pelaku. Oleh karenanya, menurut Aristoteles hendaknya tindakan setiap orang mengarah kepada kebahagiaan.
Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan ialah tujuan hidup, dan usaha dapat mencapai kebahagiaan—jika dipahami secata tepat—akan menghasilkan perilaku yang baik. Dalam segala perbuatannya, manusia mengejar suatu tujuan. Ia mencari sesuatu yang baik baginya tetapi ada bannyak macam aktivitas manusia yang mengacu pada macam-macam tujuan tersebut. Dan menurut Aristoteles, tujuan yang tertinggi ialah kebahagiaan atau eudaimonia.
***
Berdasarkan penelitian dalam buku “Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles’’ karya Franz Magnis-suseno, dijelaskan bahwa setiap manusia memiliki tujuan hidup, dan tujuan sejati manusia adalah menjadi bahagia dan bermakna. Untuk mencapai kebahagiaan, hendaknya manusia itu memfokuskan diri pada nilai-nilai keutamaan dalam hidup, sehingga dengan begitu kebahagiaan akan datang dengan sendirinya.
Pemikiran etika eudaemonisme menurut Aristoteles sejatinya mengantarkan manusia kepada kebahagiaan yang hakiki. Meliputi semua aspek kehidupan yang membawa hal-hal baik yang terasa bermakna, positif, dan bermutu. Dengan menjalankan fungsinya secara sempurna, yakni dengan memberikan alasan, pertimbangan (reasoning), dan berpikir (thinking), manusia mampu memproduksi hal-hal baik dan benar. Kemudian ini direalisasikan melalui potensi-potensi yang ada dalam diri manusia itu sendiri, demi melancarkan proses manusia mencapai suatu kebahagiaan yang hakiki.[]