Kaki kami berayun seolah menyambut tongkang yang melintas. Tangan kiriku dan tangan kanannya mencengkeram pipa besi pembatas jembatan, sedangkan sisa tangan kami saling berpegangan. Berteriak tak teratur, merasa sedang bersenandung ria dengan suara termerdu. Aku dan Larisa selalu melakukannya setiap Sabtu sore, tepat ketika tongkang kayu meluncur di bawah jembatan Lamper.
Kadang kami lupa waktu. Atau sengaja melupakan waktu untuk saling menatap dan melucuti tumpukan rindu. Maklum, aku dan Larisa hanya berjumpa sepekan sekali. Sebab hari-hari biasa waktunya sangat sempit, karena aku menjadi buruh di kota yang jaraknya lumayan jauh. Jadi, kami memilih melepas rindu di penghujung pekan.
Pernah sekali aku memintanya duduk lebih lama di jembatan. Hingga petang. Hingga tak ada lagi yang layak dipandang. Hanya garis tepi pepohonan yang nampak di kanan-kiri sungai karena bersentuhan dengan langit yang menyisakan mega merah.
“Apa yang akan kita pandang, Mas?” tanya Larisa senewen.
“Tak ada, La…” La: Lala, adalah panggilan gemasku pada Larisa. “…kecuali matamu, yang menyekap keindahan dan sinar yang menyibak gelap,” kataku mencoba menggodanya.
“Bagaimana caraku memandang mataku sendiri?”
“Cukup memejamkan mata, dan kamu akan merasakan keindahan itu.”
Larisa memejamkan mata perlahan. Ada sedikit keraguan, tapi rasa penasaran lebih kuat mendorongnya. Aku masih menggenggam tangannya, dan semakin mengencang setiap detiknya, begitupun dengan Larisa. Terpaan angin yang mengangsu aroma sungai dan hutan mengendus wajahku dan menggodaku untuk memejamkan mata. Sejurus kemudian, hawa hangat mendekapku, dan tiba-tiba saja aku dan Larisa saling mengulum lidah. Aku merasa tubuhku melayang, bukan karena kakiku menggantung di jembatan, melainkan nikmat yang meletup membuatku lupa akan daratan.
Bibir kami bertempiar ketika sekonyong-konyong derap sepatu kuda terdengar. Aku tersipu malu. Meski gelap menutupi durja wagu-ku, tapi tidak dengan wajah kikuk Larisa yang tetap memancar di mataku.
“La, ayo pulang,” ajakku untuk menutupi rasa malu. Aku cukup menyesal, karena sebenarnya masih ingin berlama-lama dengan Larisa.
“Ayo, Mas,” jawab Larisa melengkapi penyesalanku.
Hari itu selalu menjadi rujukan untuk setiap pertemuan selanjutnya. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, pertemuanku dengan Larisa selalu ditutup dengan bertukar ludah. Kami tak pernah membahasnya, semua berlangsung begitu saja seperti sudah kodratnya. Ketika tiba pertemuan berikutnya, aku—kadang Larisa—akan melupakan peristiwa itu dengan menunjuk satu tongkang kayu, lalu memberi tebakan:
“Di mana para pembalak liar mencuri kayu-kayu itu?”
Atau, “Di pabrik mana tongkang kayu itu menurunkan muatan?”
Aku tak pernah peduli benar-salahnya jawaban, karena bertemu Larisa adalah tujuan utamaku. Tapi tidak dengan Larisa, ia selalu bersikeras bahwa jawaban itu penting. Ia akan menghujaniku dengan cubitan manja atau mengacak-acak rambutku; ini bagian yang paling kunantikan. Dan aku akan terus bersikeras bahwa jawaban dari tebakan itu tak ada artinya. Sampai akhirnya Larisa lupa, bahwa sejak sepuluh menit lalu ia tak mengungkit perihal tebakan. Kepalanya bersandar di bahuku, sementara lenganku sudah melingkar di pinggulnya.
Ada satu hal yang mungkin menurut kebanyakan orang aneh: hari-jadi. Tanggal pastinya tak jelas. Kami tak pernah tahu kapan dan siapa yang pertama kali menyatakan perasaan, lalu menandai sebagai hari-jadi agar bisa dirayakan setiap tahunnya. Hanya hari lahir yang bisa dirayakan bersama, selain itu tak ada.
Seingatku, aku tak pernah secara eksplisit mengatakan, misalnya, maukah kau jadi kekasihku?; Atau Larisa yang menyatakannya lebih dulu, itu juga tidak pernah terjadi. Kami sepakat saja kalau dua tahun adalah waktu yang telah dilalui bersama. Kalau dipaksa harus menyebut hari-jadi, aku akan mengatakan cumbuan pertama adalah janji suci yang mengikatku dengan Larisa.
***
Dua tahun berlalu, hubunganku dengan Larisa terasa baik-baik saja. Kalau pun ada kesumat, itu hanya seperti blandong yang menghadapi Sonokeling: mudah diselesaikan. Tapi satu bulan terakhir ini, tampak ada yang berubah darinya. Cukup drastis. Ia mulai jarang menatapku ketika bicara; aku juga lupa kapan terakhir kali melihat gigi miji mentimun-nya, hanya senyum tipis yang tak sampai memberi gelombang berarti pada kulit sekitar bibir.
“Coba tebak, Mas! Apa manfaat dari kayu-kayu di tongkang itu?” Mata dan telunjuk Larisa menuding tongkang yang baru selesai muat.
“Untuk memperkaya pemilik pabrik beratap biru di sebelah sana,” Aku memutar badan ke sisi lain jembatan dan menuding sebuah bangunan dengan telunjukku.
“Salah!” Larisa menyergap cepat tanpa melihat ke arah yang kutunjuk. “Kayu-kayu suku Fabaceae itu bernilai ekonomi tinggi,” lanjutnya dengan kedua alis hampir menyatu.
Aku hanya tercenung, cubitan yang kunanti tak kunjung tiba; jangankan mengacak-acak rambutku, tangannya saja tak bergerak sedikit pun. Kucoba mengarahkan tanganku ke pinggul Larisa, namun ia menggeser pantatnya meski tak signifikan. Matanya menatap jauh ke muara sungai; tak menyipit walau angin cukup kencang menerpa—lebih mirip mata malas. Semakin jelas malasnya dengan kaki yang berayun di bibir jembatan.
Kabar yang datang kepadaku belakangan ini semakin menemui induk semangnya. Sartu, kawanku, juga bertetangga denga Larisa, memberitahuku bahwa ia sering melihat Larisa di jembatan Lamper bersama lelaki. Sepekan bisa sampai dua-tiga kali di hari apapun, kecuali akhir pekan, katanya.
“Kau tak salah lihat, Sar?” Tanyaku nyanyang pada Sartu.
“Deki… Deki… kau sudah meragukan mata elang temanmu ini?” Sartu terkikih, bermaksud meyakinkanku.
Aku tak bisa berhenti membuktikan kalau perangai Larisa tidak seperti yang disangka Sartu. Semakin kuselidiki, semakin aku dekat dengan sangkaan Sartu. Ketakutanku pun kian membiak: kehilangan Larisa—Lala.
“Cobalah datang di hari Rabu menjelang petang. Sebulan terakhir, Larisa selalu di jembatan Lamper di hari Rabu, tapi dua hari yang lain selalu berubah,” desak Sartu yang katanya mendapati Larisa bersama lelaki asing minggu lalu.
Aku tak menimbang dua kali desakan tersebut. Kusempatkan pulang sejenak, meskipun Rabu adalah jadwal kerja terpadatku. Hanya demi membuktikan dengan mata kepalaku sendiri.
Hari Rabu menjelang petang, sesuai saran Sartu, aku menuju jembatan Lamper. Mengendap-endap di antara semak belukar. Berhenti di ujung jembatan, di balik watu nganten yang kokoh menjulang. Petang hampir dilibas senja buta, tapi tak sedikitpun nampak batang hidung Larisa, apalagi lelaki yang dimaksud Sartu.
Sudah tiga kali hari Rabu aku sempatkan menyelidik jembatan Lamper, tapi hasilnya selalu sama: omongan Sartu tak terbukti.
“Apa kau lihat mereka di hari lain?” Selidikku pada Sartu dan berharap dia tak menemukannya—maksudku semoga sangkaan Sartu selama ini hanya salah paham.
“Tidak sekalipun. Aku juga tidak mendapati mereka di tempat-tempat yang kulewati.”
Aku menghela napas lega. Aku yakin, Larisa tidak akan menghianatiku.
***
Di perjumpaan-perjumpaan selanjutnya, selalu aku yang mengajukan tebakan. Aku yakin, dia tak pernah tahu apa yang kuselidiki diam-diam.
“Lala, coba tebak! Di pabrik siapa kayu curian di tongkang itu diturunkan?”
Larisa hanya sedikit mengangkat bahu.
“Di pabrik beratap biru milik Mat Kawur,” kujawab sendiri tebakanku.
“Salah! Tak mungkin…” Larisa menatapku tajam, lalu kembali menjatuhkan mata pada kakinya yang berayun canggung di bibir jembatan. “Mat Kawur sedang berusaha memperbaiki perekonomian kampung ini,” lanjutnya dingin.
Sikap Larisa semakin beku, benar-benar dingin. Dan aku tak berani menanyakan—tepatnya tak punya nyali mendengar jawaban yang aku khawatirkan. Aku memilih mengubur dalam-dalam pertanyaanku yang berjibun, asalkan air muka Larisa bisa kuteguk sepanjang waktu.[]
Demak, 27 Oktober 2020