“Mungkin sebuah perjalanan adalah hari-hari penuh penuh perjuangan, yang cukup melelahkan dan menguras sisa-sisa umur, dan setiap manusia harus siap untuk memulai dan melangkah”
Empat bulan setengah lamanya Almi telah bekerja setelah lulus dari SMA. Hari-harinya yang bersijingkat meloncat-loncat cepat berganti, kini penuh realita bahwa di sela-sela hidupnya tak semudah di waktu ia masih sekolah. Kehidupan setelah lulus benar-benar menyudutkan dirinya untuk menjadi pribadi yang mandiri, pribadi yang tidak gampangan keluar masuk rumah meminta uang untuk beli ini itu dan segala sesuatu yang diinginkannya.
Kehidupan yang dijalaninya harus tetap berjalan meski sulit dan penuh rintangan. Di hari yang baik dan restu yang manis dari sang ibu tentang keinginannya untuk membeli motor sudah terwujud mulus sebagai teman hidupnya di hari-hari kerja.
Kini ia mulai tertarik pada kehidupan yang telah membawanya pada rasa ketidakpunyaan menjadi punya. Ketidakmampuan menjadi mampu. Meski tak seberapa yang ia peroleh, kepunyaannya telah membawa pada satu ruang belajar untuk terus bersyukur. Tak ada duka yang menumpuk sama, dan tak ada bahagia yang silih berganti sama. Semuanya bergilir dari yang tidak ada menjadi ada, dari yang ada menjadi tidak ada.
“Bu, saya sudah menjadi masyarakat, sudah menjadi seperti orang-orang pada umumnya, ya bekerja, ya bertambah umur,” ujar Almi di sisi ibunya yang sedang menonton TV. “Emang kehidupan yang sebenar-benarnya itu apa sih, Bu?” Dengan nada lirih dan wajah serius Almi memandang ibunya yang belum memperhatikan perkataannya.
“Hhh” jawab ibunya tanpa melirik ke wajahnya.
“Bu, untuk sekarang aku merasakan takut pada banyak hal.”
“Nduuuk, nduuuk.” Ibunya mulai menatap wajah Almi dan membenarkan posisi duduknya untuk saling berhadapan. “Kamu jalani saja, toh. Takut juga hal wajar karena kamu punya impian,” lanjutnya sembari mengelus tangan kirinya.
“Tapi kan bu…”
Wajahnya menunduk dan merebahkan badannya untuk bersandar hanya tertinggal sepatah dua patah kata. Senyum di bibir ibunya tak sempat ia nikmati, kedua tangannya melemah, badannya kembali lusuh dikoyak ketakutan-ketakutan dalam pikiran.
“Emang yang ditakuti apa?” Nada ibu lirih lalu menyandarkan punggungnya.
Kini mereka sama-sama menatap atap rumah.
“Tentang keberadaan saya pada kehidupan, aku takut tidak bisa jadi apa-apa, hanya lahir terus orang lain mengakui saya hidup terus sudah meninggal.” Keluh lirih Almi menjawab setelah beberapa detik saling diam.
“Maksud kamu opo toh nduk?” Ibunya membalas dengan nada lebih tegas dan memandangi wajahnya untuk mencoba memahami segala perkataan dan isi pikirannya.
“Gini, loh, Bu…” Almi membalas tatapan ibunya, “entah apa yang saya pikirkan tapi restu ibu harus saya utamakan. Setelah saya pikir-pikir apakah hidup hanya sebatas lahir, setelah dewasa, kerja, lalu nikah, terus meninggal, gitu-gitu saja.”
Almi meneruskan, “Memang, setelah lahir saya ditimang, dirawat, diasuh penuh kasih dan sayang oleh ibu. Setelah beranjak umur 6 tahun saya disekolahkan dari SD, SMP, sampai SMA. Saya masih ingat momen-momen di mana ibu menyuruhku untuk terus belajar mengerjakan PR-PR, menanyakan tentang apa yang saya dapatkan dari sekolahan, saya masih ingat betul, Bu…”
“Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, Bu, 12 tahun rasanya masih kurang untuk saya belajar. Masih ada banyak hal yang belum saya ketahui, Bu. Terutama soal kehidupan. Di sekolah gak pernah diajarin cara menahan lapar sedangkan pasokan beras habis, uang pun tak punya. Di sekolah gak diajarin cara ngilangin stress kebanyakan hutang karena cuma buat makan dan kebutuhan hidup sehari-hari. Kayaknya masih benar-benar kurang saya sekolah 12 tahun untuk memahami kehidupan, Bu.
Almi masih terus memburu, “Dan setelah saya bekerja seperti ini, puji syukur Tuhan meski tidak seberapa yang saya hasilkan, sedikit bisa membantu ibu dan adik jajan. Tapi, Bu, apakah kehidupan hanya sebatas kerja untuk mengumpulkan uang meski memang kita juga butuh uang? Saya berasa hidup sangat egois, Bu. Waktu-waktu yang saya jalani hanya sebatas keinginan-keinginan sendiri saja. Sudah sedari kecil ibu mengajari kebaikan-kebaikan manusia dan menyuruh saya untuk selalu berbuat baik di manapun, dan dengan siapa saja. Rasanya kehidupan bagi saya adalah tanda tanya besar yang harus saya pelajari dan praktikkan, Bu.”
Nadanya yang pelan, jelas dan lembut mengalir di telinga ibunya. Pada setiap kata-katanya, ia mengelus halus kedua matanya, seakan-akan keyakinan dalam pikirannya sedang dihidangkan lezat di hadapannya.
Matanya yang tajam merekam panjang kata-katanya, “Nanti juga kamu tahu tentang kehidupan,” jawab lirih ibunya. “Emang apa yang kamu tanyakan pada kehidupan?” Sang ibu penasaran.
“Banyak hal, Bu.” Dengan tegas Almi menjawab.
“Yang kamu mau lakukan apa?”
“Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk belajar, lalu mempraktikkan, berbincang dengan banyak orang untuk mengambil ilmunya.”
“Hmm…” ibunya hanya tersenyum melihat keyakinan anaknya untuk menjalani hidup.
“Besok aku mau ke lembah lereng gunung untuk beberapa hari, saya minta restu dan izinnya, Bu.”
Ibunya hanya mengangguk dan sedikit tersenyum merestui keinginan anaknya. Lalu ia mematikan TV dan beranjak meninggalkan Almi. Hanya tertinggal seutas senyuman dan nada-nadanya yang lirih untuk anaknya sebagai bekal perjalanan. Mungkin di sela-sela senyum dan restu ibunya tersimpan beberapa cemas dan khawatir tapi Almi juga berhak menjalani kehidupannya sendiri.
Esoknya, Almi bersiap-siap untuk melakukan perjalanan dengan membawa bekal seadanya karena yang diharapkan dalam dirinya adalah bagaimana caranya hidup jauh dari rumah. Jam demi jam ia lewati di atas motor dengan penuh semangat untuk keinginannya belajar dan mencari informasi. Panas dan hujan telah ia akrabi. Jalanan naik dan turun ia kuasai dengan luwes dan penuh kehati-hatian. Tanpa kalender ia melewati hari-hari melintasi keluar masuk jalan hutan. Sesaat untuk singgah, ia temui beberapa orang dan disusul sejumlah pertanyaan.
Dalam perjalanan, ia tak henti-hentinya melafalkan maksud dan tujuan dalam hatinya, “Banyak hal, banyak hal, banyak hal yang belum saya ketahui.”
Sesampainya di suatu desa di lereng gunung yang hanya sepetak, hatinya merasa tenang namun rindu akan rumah masih melekat. Beberapa orang ia tanyai untuk mencari orang penting atau kepala dusun yang akan ia singgahi. Dengan wajah polos berbalut lusuh dan sikap ramah tamah ia meminta izin untuk beberapa waktu tinggal di dusun itu dengan menyampaikan beberapa tujuan untuk datang kemari: untuk belajar, memahami keadaan sosial di sekitarnya.
“Saya ingat betul, di waktu kecil ibu mengajari dan menemani saya tentang menanam, memanjat pohon, dan memasak hasil panen sayuran di belakang rumah.” Gumamnya dalam hati.
Hari-harinya ia lewati dengan penuh pengetahuan. Dari cara merawat alam sampai memanfaatkan alam tanpa merusaknya. Sepanjang yang ia lakukan sehari-hari penuh dengan kegiatan yang berbeda-beda, yang membawanya pada pengetahuan dan pengajaran dalam dirinya.
Sampai tiba waktu sudah cukup jauh dari rumah, Almi memutuskan untuk pulang dan meminta izin kepada kepala dusun yang telah memberinya kesempatan singgah untuk beberapa waktu. Baginya, masa jauh dari rumah sudah lumayan cukup untuk mendapatkan beberapa pengetahuan dan informasi, meski sebenarnya banyak hal yang belum ia ketahui. Tapi setidaknya dengan kepulangannya ke rumah, ia telah membawa cerita yang penuh kehidupan untuk dirinya.
Setelah sampai di kota kelahirannya, Almi diguyur hujan. Ia hanya berkeinginan untuk cepat-cepat sampai rumah untuk membersihkan badan dan berisitirahat.
“Tok…tok…tok!” Tangannya yang pucat dan badannya yang kedinginan mengetuk pintu belakang rumah.
“Bu..Buu…” suaranya menahan gigil kedinginan.
Setelah terbuka pintu, ia hanya mencium tangan ibunya lantas pergi untuk bersih-bersih tubuh sambil menghangatkan badan.
“Apa yang sudah kamu dapatkan?” Tanya ibunya seperti waktu-waktu ketika Almi pulang sekolah.
Almi sedikit menghela napas dan hanya tersenyum menatap wajah ibunya dalam kedinginan.[]
Brebes, 27 Februari 2020