• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Minggu, 17 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Puasa dalam Pandangan Budaya Pop dan Gejala Pseudo-Spiritualisme

Fauzan Anwar Z by Fauzan Anwar Z
6 April 2022
in Esai
0
Puasa dalam Pandangan Budaya Pop dan Gejala Pseudo-Spiritualisme

https://www.lenamacka.com/illustration/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Sudah menjadi rutinitas bulanan bagi umat Islam di seluruh dunia bahwa setiap bulan Ramadhan, mereka melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Puasa secara sederhana bisa diartikan menahan diri dari kebutuhan jasmaniah seperti makan dan minum, juga menahan kehendak nafsu yang bersifat banal. Seperti amarah, gairah seksual dan lain-lain, mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Ulil Abshar Abdalla seorang cendekiawan muslim Indonesia pernah mengungkapkan bahwa menurutnya bulan puasa ialah “bulan tazkiyat al-nufus”. Bulan pembersihan diri, latihan spiritual dan disiplin mental serta intelektual.

Bulan Ramadhan juga memiliki posisi yang spesial bagi umat Islam. Di dalam beberapa sumber primer Islam, serta khazanah turats atau naskah klasik para pemikir Islam, banyak sekali anjuran untuk memperbanyak ibadah serta melakukan kontemplasi secara universal di bulan ini, agar manusia senantiasa merefleksikan kehidupan yang telah dilakoninya selama ini.

Para cendekiawan yang bergiat dalam ranah kajian keislamaan tentu mempunyai berbagai macam pandangan yang luas dalam memaknai hakikat terdalam dari puasa. Namun bagaimanakah realitas puasa di era budaya populer hari ini? Sebelum masuk ke pembahasan tersebut alangkah lebih baik jika kita merefleksikan sejenak realitas yang biasa terjadi pada bulan Ramadhan, khususnya di Indonesia.

Hasil penelitian sebuah perusahan riset pasar global AC Nielsen menunjukkan, bahwa penjualan barang konsumen di Indonesia selalu mengalami kenaikan persentase pada bulan Ramadhan. Misal saja, hasil penelitian tahun 2010 melonjak sebesar 9,2% . Singkatnya, dari hasil temuan tersebut tingkat konsumerisme terus meningkat di Indonesia ketika bulan Ramadhan hadir. Seperti kita ketahui bersama, bahwa umat Islam Indonesia adalah mayoritas, bahkan Indonesia juga termasuk ke dalam negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia.

Seperti sudah disinggung diawal bahwa pengertian dasar dari puasa adalah menahan, tidak hanya makan dan minum, namun juga menahan keinginan-keinginan semu yang tidak substantif. Namun yang terjadi di lapangan adalah kebalikannya. Pedagang-pedagang emperan berjubel di pinggir jalan untuk berjualan, baik itu makanan hingga pakaian. Mall, supermarket, pasar, selalu penuh oleh pengunjung berdatangan. Belum lagi ditambah promo diskon besar–besaran untuk menarik para konsumen. Tambahkan juga pembelanjaan di platform-platform e-commerce dll. Sementara efek sampingnya, persoalan kemacetan serta sampah semakin menumpuk.

Saya tidak anti terhadap hal tersebut, karena di sisi lain fenomena itu juga mengakibatkan roda ekonomi yang lancar bagi kesejahteraan masyarakat. Saya pun termasuk orang yang menikmati fenomena kebudayaan itu, namun yang harus kita sadari bersama adalah bahwa “fenomena kebudayaan” ini tidak boleh mengkaburkan kita akan makna sejati dan goal dari puasa.

Bisa kita katakan bahwa hari ini pemaknaan puasa terus mengalami reduksi, sehinga esensinya menjadi samar. Kabur. Hal ini juga akan terus-menerus semakin tereduksi jika kita melihat dan mencermati bagaimana liar dan dahsyatnya arus gelombang media informasi. Di dalamnya selalu dipenuhi usaha mengumbar dan mengeksploitasi aspek psikologis alam bawah sadar manusia dengan berbagai macam jenis sensualitas permainan “tanda”.  Baik melalui Billboard, poster iklan di pinggir jalan, commercial break televisi, hingga iklan di media sosial hanya untuk menjual produk-produk yang kebanyakan semu. Hal itulah salah satu faktor sekaligus variabel yang mengakibatkan orang-orang menjadi overconsumerism.

Di era millennium ketiga ini, kita hidup di tatanan yang sangat kompleks. Bisa dikatakan hampir semua sendi-sendi kehidupan telah berubah. Terutama produksi informasi yang semakin melesat. Tidak terlepas dari hal yang telah dipaparkan di atas, Anthony Giddens dan filsuf–filsuf postmodernis seperti Jean Baudillard serta Roland Barthes pernah mengingatkan kita bahwa ketika produksi informasi menjadi sangat dominan, maka akan mengakibatkan sebuah situasi chaotic (baca: kacau bin semrawut). Fetisisme terhadap komoditas, bahkan juga akan mengakibatkan sebuah kegilaan-kegilaan serta ketidakwarasan baru.

Manusia hari ini terus berjalan bahkan sudah berlari menuju gaya hidup masyarakat overconsumer. Dan jika manusia sudah mengidap overconsumerism, maka ekosistem alam pun akan terganggu. Proses overconsumerism tersebut terus diperkuat dengan adanya kalangan yang Guy Debord sebut sebagai society of the spectacle (masyarakat tontonan, bisa artis ataupun public figure lainnya) yang terus menerus dijadikan sumber utama rujukan serta referensi masyarakat.

Inilah yang pada akhirnya selalu mereka gunakan sebagai model citraan yang didayagunakan oleh para produsen untuk mereduksi nilai-nilai ekonomis, psikologis, dan spiritualisme masyarakat secara umum. Kondisi yang demikian itu pada akhirnya menjadikan dunia yang dihadapi oleh kita saat ini menjadi tak jelas.

Sebagai konsumen kita terus diekspolitasi, diinfiltrasi secara psikologis melalui penataran serta penjejalan simbol-simbol juga tanda-tanda pada alam bawah sadar. Pada akhirnya kita semua didorong untuk menjadi maniak konsumtif terhadap produk–produk semu belaka yang ditopang oleh sebuah simbol dan kuasa tanda.

Dengan berserakannya sampah informasi seperti sekarang ini, pada gilirannya nanti berimplikasi ke berbagai jenis pemaknaan ritual keagamaan. Tidak terlepas bulan puasa Ramadhan sekarang ini. Pengaruh media digital dan non-digital sangatlah besar. Apalagi pengaruh media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, Line, WhatsApp, dan platform e-commerce lainnya.

Hal ini jika dibiarkan begitu saja tanpa adanya filterisasi dalam diri kita sendiri tentu akan sangat berbahaya. Dampaknya, kita menjadi masyarakat yang overkonsumeris dan pada akhirnya–saya tekankan lagi–akan merusak sistem ekologi. Juga dampak secara psikis akan dikenyam. Dan ketika manusia terus dieksploitasi hasratnya, mereka akan kehilangan esensi diri.

Ketika dalam alam bawah sadar manusia telah dipenuhi dengan “konsumsi tanda” pasar, maka hal tersebut bisa melahirkan sifat fetisisme komoditi atau mengangap adanya kekuatan yang agung dalam sebuah produk. Peristiwa demikian,  singkatnya, bisa dikatakan bahwa kita telah membuat dan menyembah berhala-berhala baru.

Puasa yang secara bahasa berarti “menahan” kini terkesan berarti “mengumbar”. Spiritualisme yang sejatinya bersifat pribadi nan intim kini beralih menjadi pseudo-spiritualisme. Sehingga lahirlah neospiritualisme global berdasarkan sisi religiusitas semu. Hal tersebut kemudian didorong dengan gebrakan pseudo-spiritualisme seperti acara-acara keagamaan di televisi, khususnya di bulan Ramadhan yang semarak.

Karenanya, makna sejati dari puasa Ramadhan akan potensial menjadi semakin bias dan tak jelas. Maka dari itu, puasa ramadhan kali ini mari kita berdayakan sebagai ‘sebuah rem’ atas hasrat irasional yang selama ini sering kita lampiaskan.

Sebagai akhir tulisan ini, saya akan mengutip kaidah ushul fiqh: “mâ lâ yudraku kulluhu, lâ yutraku kulluhu.” Apa yang tidak dapat diraih/dikerjakan semuanya, maka jangan ditinggalkan semuanya.[Ed. MnW]

Tags: budaya poppseudo spiritualismepuasaramadhansainsspiritual
ShareTweetSendShare
Previous Post

Seorang Indigo dan Suara-Suara Bertubuh Kupu-Kupu

Next Post

Penulis Muda yang Pernah Putus Asa

Fauzan Anwar Z

Fauzan Anwar Z

Asal Bandung dan bergerak di komunitas Sastra Angin. Bisa disapa via Instagram @fauzananwarz

Artikel Terkait

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
Esai

Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna

5 Agustus 2025

Malam itu, saya belum ingin tidur cepat. Hingga lewat tengah malam dan hari berganti (Rabu, 23 Juli 2025) saya duduk...

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
Esai

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 Juli 2025

Jika bulan Juni sudah kepunyaan Sapardi, Juli adalah milik Hemingway. Pasalnya, suara tangis bayi-Hemingway pecah di bulan yang sama (21...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29 Maret 2024, teks cerpen Agus Noor dihidupkan di ampiteater Ladaya. Sejumlah kursi kayu...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Perihal Kelahiran

Perihal Kelahiran

26 November 2021
Gambar Artikel Romantisme Kopi Sachet Angkringan

Romantisme Kopi Sachet Angkringan

11 November 2020
Sebelum Lelap

Sebelum Lelap

29 Oktober 2021

Temu Buku dan Sesi Bincang Editor di Yogyakarta

10 Maret 2024
Gambar Artikel Kehutanan yang Maha Hijau

Kehutanan yang Maha Hijau

20 November 2020
Surat Terbuka untuk Sunyi

Surat Terbuka untuk Sunyi

15 Februari 2021
Gambar Artikel Belajar Mencintai Allah Secara Merdeka

Belajar Mencintai Allah Secara Merdeka

19 Desember 2020
Fafifu John Mayer

Fafifu John Mayer

16 Maret 2021
Nanda dan Kisah Pilunya

Nanda dan Kisah Pilunya

19 Juli 2021
Stanza di Stasiun Juanda

Stanza di Stasiun Juanda

18 April 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.