Selalu ada kebisingan menggerayangi telinga. Bebatuan bertasbih menolak kesedihan dengan membisu. Tembok, candi, arca berbicara. Kata-kata tanpa aksara beterbangan menjelajah, tepat di lorong-lorong mataku.
Gelas kopi, yang termangu di tempat lututku bersila, menagih terima kasih. Sedang bunyi sunyi itu beredar serupa gelombang angin yang menari-nari keasyikan menebas cakrawala, tenang tetapi tajam, dan telingaku digasaknya, hingga rompal. Tak karuan. Acak-acakan. Urakan, namun menyenangkan!
Aku berindikasi untuk dituduh sebagai pengidap skizofrenia. Tapi biarlah para manusia bayi—yang belum pernah mencecap kopi pahit itu, yang baru belajar memerah susu Ibu dan cuma menangis manja saat ingin sesuatu—mengira aku orang sakit. Bukanlah suatu perkara yang layak menuai murka. Cukup kupertegas, “Sebab aku mendengar apa yang tak kau dengar dan melihat apa yang tak kau lihat!”
Sepersekian detik yang nyaris sama, bisikan pertama menyeruak, sewaktu aku memberondongi diriku sendiri dengan apologi-apologi yang klise dan cenderung eskapistik. Ia berdengung: “Ada perkara yang lebih bijaksana untuk ditinggalkan. Tak usah diperbenturkan. Itu buang-buang usia dan hanyalah kesibukan orang-orang yang putus asa—dan memang berniat mengemis binasa.”
Dunia bekerja tak selinier dan tak sesederhana ke-ngacengan-mu pada lawan jenis yang kau nafsui lenggok sintal tubuhnya dan mulus kenyal payudaranya.
Buktinya, bilik-bilik bambu yang ditinggali nenek temanku nun di sana, misalnya, menguarkan bau-bau salju dan desis-desis rapalan bahasa yang tak kumengerti sama sekali. Suara-suara yang kau tuduh sunyi-sepi itu padahal sedang bertengger di pundak-pundak para warga Trowulan. Tapi suara-suara bertubuh seperti kupu-kupu itu tak sanggup memasuki telinga-telinga makhluk yang bebal, cengkal, buntu dan gumede.
Adakalanya mereka, suara-suara bertubuh kupu-kupu itu, meregang putus asa dan berpaling dari wajah-wajah yang mengabaikan mereka dengan kejengahan keparatnya. Seolah tanpa dosa.
Kemudian mereka, suara-suara bertubuh kupu-kupu itu, merengek mendatangiku, mengemis pembacaan puisi-puisi yang paling sunyi—yang sengaja kusembunyikan dari kata-kata.[1] Mereka sontak riang sekali, menari mengitari ubun-ubunku, sebelum pada akhirnya lebur, lenyap ditelan kebahagiaan yang berlebihan.
Namun mereka bukan mati. Mereka, suara-suara bertubuh kupu-kupu itu, tak menghilang. Mereka hanya kembali suwung. Moksa dengan kehendaknya sendiri.
Terkadang mereka juga menjelma ngengat-ngengat yang berisiknya biadab minta ampun. Sesekali seperti seekor lalat besar cerewet di hutan-hutan, yang di lereng gunung Welirang ia disebut gareng.
Saat menjelma wujud demikian, suara-suara yang semula bertubuh kupu-kupu itu, lebih suka memilih untuk mengunjungi sosok Tua berjanggut panjang dengan tubuh tegap melambung—yang konon ada bisikan percik air kendi di makam Troloyo yang membocorkan kepadaku, “Itu Qarin dari Mbah Jumadil Kubro,”.
“Aku gak takon, Cuk!” Bentakku, atau tepatnya denial-ku, pada bisingnya kesunyian yang meripuhkan. Tentu dengan suara yang nyaris sama sunyinya.
Kudengar suara sejenis decakan lidah, lalu nyerocos, “Orang yang berani memungkiri anugerah, yang juga sering kali menjadi musibah bagi sang penerima, hanyalah seonggok pengecut! Pecundang kelas tengu!”
Aku tersindir. Merasa dihina telak. Nyaris saja makian yang paling anjing lolos dari bibir fisikku. Aku berhasil menahannya, paling tidak pada hari itu.
Kulumatkan seluruh detak detik waktu selanjutnya, di malam itu, dengan bermain game Mobile Legend. Aku ingin sejenak lepas dari penat. Pengin ikut mendekap kenormalan manusia jaman sekarang yang sakau bin autis pada game yang serupa—hingga bisa lupa di mana letak kepala.
“Aku tak habis fikir! Orang-orang bisa begitu hanyut dengan permainan semacam ini sampai pernah berani memaki Ibunya sendiri yang mengimbaunya untuk ikut bantu menjemur padi. Tetapi kenapa aku yang berusaha sepenuh jiwa, setulus mata, seikhlas rasa, malah tak bisa?”
“Apa aku masih kurang gila untuk takaran orang yang sudah dianggap gila?”
“Apakah ada kegilaan di atas kegilaan yang belum pernah kukecapi rasanya?”
“Bagaimana kegilaan ini menjadi suatu nestapa jika di sekitarmu masih saja menampakkan kegilaan yang bahkan lebih gila—hanya saja dalam wujud dan perangai yang berbeda?”
“Kau sok bijaksana, Cuk!” Anak muda beringasan mendepak pinggulku. Tapi teman di sampingku heran kenapa aku melenggak loncat sendiri.
“Sudahlah… tiada faedahnya kau misuh di hadapan manusia. Mereka bagai sebuah kaca. Toh, di mana pun kamu menghadap, kamu akan berjumpa wajah kaca-kaca berjalan dengan kaki dua!” Kakek-kakek dengan dahi berkerut ombak samudera, menepuk pundakku. Tapi teman di sebelah kananku terganggu kenapa aku menoleh ke belakang di tengah perjalanan kami ke Penanggungan.
“Kau hanya akan misuhi, melukai, dan meludahi wajahmu sendiri…” Bisik sayup-sayup itu bergerundel, mengepak-kepakkan sayapnya sekencang mungkin di hulu telingaku.
“Semakin bingung hatimu, semakin kuat godaanku.” Tiba-tiba ada sosok bening, transparan, setinggi Punden Trenggulun, yang bertubuh seperti awan tipis sebesar Balai Desaku menunduk menatapku dengan tanpa mata.
“Kau ini Iblis atau Malaikat?” Tanyaku curiga.
“Manusialah yang diberi sepercik jatah untuk menentukan Malaikat-kah atau Iblis-kah yang sedang mewujud di hadapannya.”
“Bicaramu macam sufi yang baru magang saja! Juga seperti paus yang baru dilantik saja! Kau ini siapa?” Aku menyergah memburu kepastian.
“Aku adalah engkau yang lain.” Desis suara itu mengerikan. Pelan, halus, lembut, tetapi dingin. Mencekam. Seakan instingku mencium bau ancaman dari seorang gadis nan ayu jelita tetapi pemeras harta—bahkan juga pengisap nyawa.
Temanku memanggil-manggilku. Ya, sebab aku berlari. Pura-pura tak mendengarnya—suatu sandiwara yang sama sekali tak handal aku perankan. Ia tahu aku sedang ketakutan, kebingungan. Runyam, dililit keberisikan, dibelenggu neraka-dingin dunia yang sering kali orang-orang yang belum pernah merasakannya justru ingin mendapatkannya.
Maka, untuk kedua kalinya, aku berlari menerjang ke tempat yang sama sekali tidak ingin lagi untuk di sana kupinjakkan kaki.
***
Terik siang semusim yang lalu, wajahku dipenuhi jelaga hitam—dengan setelan baju yang compang-camping. Tak beraturan sama sekali postur dan corak wajahku pada momen tersebut.
Saat itu, hal yang memalukan bagi diriku sendiri adalah ketika melihat temanku berlari terbirit-birit setelah mengetahui kesirnaanku di kaki hutan Penanggungan, yang merupakan pendakian pertama kami berdua secara bersama. Aku disangkanya hilang. Maka ia melapor ke pihak keamanan, polisi Tahura dan warga sekitarnya.
Padahal aku bisa melihatnya sejelas melihat telapak tanganku sendiri yang mengucurkan darah dan bau segar yang marah. Padahal aku berteriak sekencang corong langgar di kampung kami berdua yang lima kali sehari menahan serak suara. Padahal aku juga sambil berlari terseok-seok menerjang ke arahnya. Tetapi ia, matanya tuna pada ragaku. Telinganya budeg dan bebal akan jeritku. Tubuhnya, oleh tanganku, yang berdarah semerah buah saga, tak tersentuh walau seujung kuku.
Dari situ aku terhenyak, sebelum pada akhirnya menyadari kenyataan musykil yang irasional dan tertolak akal: aku terperosok, terpelanting ke dimensi lain yang jauh berbeda tetapi dekat bersandingan dari duniaku yang sebelumnya.
***
“Ibu, maafkan aku…” Suaraku sengau, menahan rasa malu dan takut pada seseorang yang melahirkanku, lengkap dengan seluruh anggota tubuh—termasuk telingaku.
Tatapan ibuku menganga. Aku masih tertunduk muka. Lutut menggesek tanah. Sedang di sisi kanan-kiri kepalaku, sudah tiada lagi daging satu ons yang menggantung sebagai penghias kepala.
“Aku sudah tidak punya telinga, Ibu.” Sekali lagi mataku menghunjamkan sorotnya dalam-dalam ke bawah. Menerabas lapisan bumi, meringsek masuk mengamati jalur cacing-cacing sedang memakan bangkai binatang lain. Meraba jalan air di kebawahan sana, minyak mengalir sekental aspal mendidih, semakin dalam menuju minyak bumi, semakin dalam lagi sebelum mataku nyaris terbakar oleh mesin pemasak besi dan berlian di inti planet ini.
Ibuku kaget. Telinga yang dulu diadzani oleh suaminya—yang telah berkhianat padanya—kini telah lenyap. Ada sesak sekaligus puas pada saat yang sama. Ada rasa lega bercampur iba di detik yang satu ketukan nada.
Sangat menyesal aku telah terjerumus ke dimensi lain kala itu. Sungguh tragedi bajingan yang membuatku bisa mendengarkan hampir segala sesuatu.
Hampir. Iya, masih hampir meskipun aku sudah bisa mendengar dari sepuluh penjuru; delapan arah mata angin, ditambah dari atas dan dari bawah.
Telingaku, awal-mula kebisingan ini, terjadi dikala punggung temanku tak tampak lagi dan setelah nyaris habis suaraku dibuatnya. Mendadak ngiiiing yang nyaring sekali. Memekakkan telingaku. Setelahnya, aku pun pingsan.
Mendapati diri terbangun di belukar alas gunung, sudut mataku tetiba menajam. Mendekat lalu menjauh. Membesar nanti mengecil. Pohon di kejauhan sana persis seperti menyambar menerjangku dengan tubuh yang makin membesar. Berlari menyongsong wajahku.
Namun sesudahnya justru ia kembali mundur, menjauh dan mengecil kembali hingga tak terlihat sama sekali. Semuanya seperti itu. Sama sekali menyusahkan pandanganku.
Kemudian setelah pandanganku, telingaku kambuh sekali lagi. Masih dengan ngiiing yang sama, namun kali ini aku sudah bisa menahannya. Aneh, batinku. Tetapi tetap saja hal demikian menggangguku. Aku tersiksa. Menahan teriak sekeras tenaga, meski tiada seorang pun manusia di ujung sana yang bakal tahu, bahwa ada suara yang sedang memeram penyiksaan.
Tiba-tiba ada bisikan keras yang kurasa bersumber dari kejauhan nun di sana. Samar-samar meski pasti tertangkap saja oleh telingaku yang menembusi ruang-ruang cakrawala.
“Tolong jangan nodai tubuhku dengan bibir pendusta najismu itu. Aku sudah cukup tersiksa selama ini untuk menemani para penggunjing dan pencaci maki.” Tebakanku itu adalah suara melas cangkir kopi yang bertengger di warung tanpa wifi.
Seakan tahu betul aku pada detil-detil dari suara-suara, yang waktu itu belum kukenali bagaimana tubuhnya. Mataku seakan melihatnya, tapi aku sadar bahwa aku sedang menutup mata sambil menjerit menahan siksa.
Maka kuputuskan, aku meraih dedahanan di sekelilingku, mematahkan ranting-ranting seraya terseok-seok berjalan gontai menutup telinga. Kudapatkan sebatang ranting kayu. Entah jenis apa. Aku tak peduli. Lalu, kulepaskan tangan kiriku dari telinga, berganti membantu tangan kanan ikut memegang ranting tersebut. Aku berjuang sekuat-kuatnya menahan derasnya suara-suara yang bertubi-tubi menghajari pendengaranku.
Seperti seorang yang sedang merapal mantra, kupegangi ranting dengan kedua tangan menggenggamnya bersama. Kutusukkan potongan ranting itu dalam-dalam ke telingaku sebelah kanan. Cresss! Maka jeritanku lepas meraung-raung ke sudut-sudut hutan, menembus celah-celah udara, menggantung di ujung jagat galaksi raya. Aku terjatuh! Masih dengan sekepal kesadaran. Tak lagi pingsan seperti sebelumnya.
Beberapa menit aku terkulai di tanah, lalu memaksa tubuhku yang tak lagi nurut ini untuk segera berdiri. Aku melanjutkan ritual kedua, menusuk yang sisanya. Aku tak tahu bagaimana menceritakannya.
***
Ibuku tak mempersoalkan perkara telingaku. Aku hanya tepekur diam membayangkan betapa gobloknya pikiranku saat masih belum puas dengan tusukanku atas kedua telinga sendiri.
“Jika dengan menusukmu, kau tak bisa membisu. Maka aku akan memotongmu.” Wajahku menjadi kalap segila-gilanya. Berlagak seperti orang yang kesurupan, aku meraih lading di dapur.
Aku tak mau menodai lantai tempat Ibuku memasakkan hidangan untukku. Keluarlah aku dengan menyembunyikan lading di pinggang belakang. Memasuki tegal di belakang rumah gedheg milik tetangga. Aku berjongkok di sisi sekeluarga pohon-pohon Pisang yang cukup strategis untuk melakukan niat tersembunyi.
Di situlah aku memotong daging se-ons yang sering dihujat sebagai gantungan kunci jika pemiliknya tidak menggunakannya sesuai fungsi. Waktu itu aku tak menjerit sama sekali. Mulutku sudah disumpal, ditimbun oleh suara-suara bising nan menjengkelkan. Namun rasanya tetap menyakitkan! Aku menjerit tapi dalam diam.
Bahkan ternyata, aku memaki keras sekali, bahwa suara-suara itu tak kunjung mati. Baru kusadari, bahwa melukai telinga fisik, tak melulu berarti pula merusak pendengaranku. Dengan bisikan lain, kau boleh mendobrak dan mengoyak jantungku, tapi kau jangan berharap itu dapat membunuh perasaanku yang menggebu.
“Kau bodoh sekali, Kisanak! Hahaha. Baru kujumpai manusia segoblok dirimu di bumi yang sudah bloon ini.” Ada yang menyela percakapan di pikiranku.
“Hahaha… manusia yang dulunya mengemis diberi kelebihan tampaknya kini tak sudi memeliharanya saat sudah tau bagaimana rasanya saat menerimanya.”
“Husshh! Kau jangan menghina orang yang tengah terluka. Apalagi jika yang melukainya adalah dirinya sendiri.”
Aku menoleh, mengangkat muka. Bajingan! Suara-suara itu muncul dalam banyak wajah dan tubuh—yang tak jelas lagi bagi mataku yang awas. Gumpalan-gumpalan kabut berwarna ungu, kuning, hitam, merah, tosca, perak, dan bening, berpusar di sekelilingku. Tiada putih. Tiada lagi. Tiada warna dari mereka yang membuatku sumringah. Darahku terlanjur mengucur. Mendadak tubuhku lemas berangsur-angsur.
Tapi tunggu, tunggu sejenak dulu. Aku melihatnya. Aku melihat sesuatu yang masih menerbitkan setitik sumringah bagi jiwaku. Darahku, yang merembes ke tanah itu, memang merah. Namun perlahan-lahan kuamati gerak yang kukenali. Ia mengudara, menjelma butir-butir api beterbangan seenaknya. Ia, darahku, yang menjadi butir-butir api itu, merapal tubuh. Menjelma kupu-kupu seperti yang lalu-lalu.
Sejenak, aku mendapat kebahagiaan dalam melihat kupu-kupu, di tengah kengerian mengucurnya darahku. Wajahku menyungging senyum tanpa perintahku. Tiba-tiba aku rindu: aku ingin pulang menjadi awal-mula diriku yang dulu!
_______________
[1] Penggalan puisi Emha Ainun Nadjib yang berjudul “Jalan Sunyi”.