Sore yang syahdu di kedai kopi tempat saya bekerja. Semilir angin menyapu dedaunan kering yang memang sudah ditakdirkan untuk gugur. Panggilan untuk shalat Ashar baru saja dikumandangkan. Saya dan kawan-kawan lain sedang duduk-duduk saja. Ngudud, ngopi, dan berkelakar santai. Bukan sekadar santai, kalau saja ada orang yang mencari sosok pelita bagi hidupnya di sini.
Kebetulan kedai kopi tempat saya menyeduh ini juga bagian dari Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib atau Rumah Maiyah, di Kadipiro, Yogyakarta. Hanya saja kedai saya ada di bagian depan rumah, sehingga bagi siapapun yang ingin sowan ke Mbah Nun — yang dirasa banyak orang menjadi pelita bagi hidupnya, pastinya melewati kedai dulu. Maka tugas saya bukan cuma ngudek kopi, tapi “nyatpam” juga.
Nyatpam bukan berarti saya menjadi satpam betulan, yang badannya kekar dan siap pasang badan kalau ada maling. Wong saya ini kurus, kok. Satpam di sini bertugas sesekali menjembatani antara orang-orang yang ingin sowan ke Mbah Nun — yang kelak saya sebut Para Pengungsi Peradaban — dengan Mbah Nun sendiri. Eh, bukan meneruskan ke Mbah Nun. Tapi ke pihak manajemen beliau. Kok sangar tenan saya bisa ngobrol segampang itu dengan beliau. Canda.
Belum lama saya nyatpam, baru sekitar sepuluh bulan, tapi tipe orang-orang yang ingin sowan ke Mbah Nun ini variatif sekali. Bukan cuma karakter orangnya, tapi juga modusnya. “Mas, ini rumahnya Mbah Nun, ya?” merupakan pertanyaan yang paling sering saya terima. Banyak pula pertanyaan senada, namun susunan kalimat dan mimik muka pengucapnya berbeda-beda.
Ada yang bersepeda motor dari Lampung ke Kadipiro, sekitar tiga hari tiga malam perjalanan, katanya, dan bilang ingin bertemu Mbah Nun. Maka saya tanya apa tujuan ketemunya dengan Simbah, dijawabnya, “Ada pesan yang harus saya sampaikan, Mas. Pesan dari Bapak Ibu saya di rumah.” Lalu sebagaimana pesan Manajemen Simbah, saya berikan opsi: mau saya beri nomor telepon manajemen, atau menuliskan keperluannya di secarik kertas dan akan saya sampaikan ke manejemen. Dia memilih opsi kedua.
Oke, dengan dipilihnya opsi kedua, maka saya ambilkan secarik kertas dan dia tuliskan keperluannya. Karena sepertinya saya tidak diperbolehkan tahu apa keperluannya, maka saya tidak membaca surat yang dititipkan ke saya, dan tidak menanyakan lebih lanjut apa keperluannya. Dengan saya minta untuk meninggalkan identitas serta kontak yang bisa dihubungi dalam suratnya, tak lama dia pamit pergi.
Keesokan harinya, saya mendapat kabar bahwa orang semalam itu selain nekat bersepeda motor dari Lampung, nekat pula niatnya untuk melamar Mbak Haya, putri Mbah Nun. Entah konfirmasi lanjutnya seperti apa, yang jelas lamarannya ditolak. Sabar, ya, Mas.
***
Ada pula Ibu-ibu berusia sekitar lima puluhan, datang dengan anak remajanya. Beliau datang dengan raut wajah bersedih, dan bicara dengan sesenggukan,
“Mas, apa benar ini rumahnya Pak Emha Ainun Nadjib? Saya ingin ketemu bapaknya, Mas. Minta tolong. Saya ini jauh-jauh dari Jawa Timur mencari pekerjaan sepanjang perjalanan. Tapi ndak ada yang mau menerima saya dan anak saya ini,” ucapnya.
“Kalau di sini cuma kantornya Pak Emha, Buk. Pak Emha ndak setiap waktu ada di sini. Ibuk ke sini atas saran siapa, Buk?”
“Saya tadi keliling Malioboro, Mas, cari kerjaan tapi ndak kunjung dapat. Tolong saya, Mas. Beri saya pekerjaan di sini, Mas. Atau pertemukan saya dengan Pak Emha siapa itu,” beliau agak-agak lupa nama Mbah Nun, yang langsung saya sambung nama lengkap beliau. “Nah iya itu, Pak Emha Ainun Nadjib. Saya ke sini diantar sama tukang becak di Malioboro sana, Mas. Kata orang-orang di sana, kalau ada masalah apa-apa, datang saja ke Kadipiro, datang saja ke tempatnya Pak Emha Ainun Nadjib.”
Wah, kok jadinya malah saya yang dimintai pekerjaan. Lantas saya beritahu ini-itu agar minimal bisa bertemu manajemen. Saya tawarkan Ibu itu untuk kembali besok pagi-pagi. Sebab kalau sore sudah tidak ada orang di kantor.
Itu tadi baru dua contoh yang bagi saya cukup memorable. Belum lagi ada yang dari Banjar, Jawa Barat, yang datang dengan membawa luka. Sebab ternyata dua minggu yang akan datang sejak saat itu, (mantan) kekasihnya hendak menikah. Padahal antara Mas-nya itu dengan kekasihnya sudah sepakat untuk segera menikah. Namun sayang, terhalang restu orang tua.
“Untung saja, Mas, sampean mau mendengarkan apa yang saya derita. Meski saya tidak cerita lengkap, setidaknya saya sudah ayem karena masih ada yang menemani saya. Betul-betul ndak tahu harus bagaimana saya ini, Mas,” ucapnya kepada saya. Sekitar tiga malam saya berbagi tempat untuk menginap di kamar saya. Beruntung, sungguh beruntung, akhirnya dia bertemu dengan Mbah Nun. Dia pulang dengan muka dan tingkah yang teramat ayem. Plong….