Usai dengan puisi milik Mas Febrian Kisworo yaitu Lewat Tulisan Aku BerTuhan-nya, maka tak ada salahnya juga ikut nimbrung mengutarakan buah pikiran, menuangkannya dalam barisan kata tentang peleburanku bersama Tuhan lewat sebuah tarian.
Entah akan ada banyak kepala yang heran bukan kepalang melihat manusia-manusia ini lagaknya menggampangkan dirinya dalam berTuhan. Namun, jika kendati demikian yang kalian pikirkan, maka lebih baiklah apabila kalian tadaburi buku milik Buya M. N. Kamba, Mencintai Tuhan secara Merdeka—yang resensi nya juga ditulis di Metafor oleh Mbak Atssania Zahroh. Sehingga tidaklah terhanyut pikiran kalian oleh besi-besi penjara yang telah kalian buat sendiri.
“Menurutmu, menari itu apa?” Pertanyaan sederhana dari seorang teman yang berhasil membuatku kebingungan menjawab. Kalau saat itu derita malas datang menghampiri pikiran dan jari ini, maka tentu akan kujawab dengan sederhana pula: bahwa menari itu membawakan sebuah tarian. Namun, malu rasanya jika bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia tari dan hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan sepetak kalimat yang tak membawa kepuasaan jawaban sama sekali.
Untuk itu, kujawab pertanyaan tersebut dengan mengingat 3 unsur dalam tarian, yaitu “wiragamarasa”. Wiraga, wirama, dan wirasa. Tidak boleh ada unsur yang terbalik, sebab seperti itulah pakem-nya.
Gampangnya, menari adalah menyampaikan rasa ketika kata tidak lagi mampu untuk diucapkan pun didengarkan. Sedangkan penjabaran berdasarkan ketiga unsur di dalamnya dan pemahamanku yang seada-adanya, menari adalah ketika raga bergerak bersama dengan alunan irama dan keduanya disatukan melalui rasa (hati). Dengan begitu, menari juga dapat diartikan sebagai wujud olah diri dalam menyampaikan sebuah pesan melalui gerakan yang berasal dari dalam hati.
Lalu, apa hubungannya antara berTuhan dengan tarian?
Menari itu matoyo. Yang mana jika ditelisik susunan katanya, terdapat kata Toyo (bahasa Jawa) yang berarti Tuhan. Sehingga menari sama artinya dengan menTuhan. Melebur-kan diri dengan / bersama Tuhan.
Namun, tentu tidak semua dapat diartikan demikian. Sebab dalam menari untuk maToyo harus ada keselarasan antara ketiga unsur tadi, yaitu: raga, irama, dan rasa. Sedikit saja kecacatan dalam unsur tersebut, maka menari yang kita lakukan hanya sebatas rentetan gerak tubuh saja. Bahkan antara musik dengan penari pun akan terlihat saling berdiri sendiri.
Dari keberagaman jenis tarian, tari tradisional khususnya tari klasik-lah yang membuatku mampu merasakan peleburan / melebur bersama Tuhan ini. Alunan musiknya pelan. Bahkan menurut beberapa orang sangat pelan, relatif sekali. Gerak demi gerak penuh penghayatan. Bahkan titik atau gong musiknya hanya akan terasa ketika kita telah mampu meleburkan raga dengan irama. Sebab, kebanyakan musik yang digunakan relatif sama nadanya, ajeg.
Sedikit saja fokus kita teralih pada hafalan, jarik, sanggul, kemben yang mau melorot, dan sebagainya, maka akan membuyarkan tarian kita. Yang bisa dilakukan hanya pasrah, mengalun, mengalir, hingga melebur bersama kekosongan batin. Maka segera akan kita temui ketenangan sesungguhnya, ketenangan yang kita cari-cari yaitu saat bersama Tuhan.
Adapun gerakannya juga tidak hanya sekadar gerak, gendingnya tidak hanya sekadar gending biasa, keseluruhannya mengadung doa dan pengharapan pada Tuhan. Ini semua tak akan kita rasa ketika yang kita tonton hanya liuk tubuh penarinya saja atau musiknya saja. Sebab untuk menTuhan perlu menyatu.
Tidak masalah dengan ikut memeriahkan tarian modern di era seperti ini. Namun, akan menjadi salah ketika tidak ada rasa ingin melestarikan tari tradisi yang kita miliki. Betapa banyak nilai kehidupan hingga religiusitas yang kita dapat ketika kita mau menyelaminya. Sayang sekali, jika hanya tutur kata berucap melestarikan namun abai. Berucap melestarikan, tapi ogah-ogahan menarikan dan mempelajarinya.
Jika negara luar mengklaim tarian kita sebagai tariannya, barulah melakukan protes tidak terima dan berujar pencurian. Padahal kita sendiri yang terlalu terperdaya oleh siasat mereka agar fokus kita terpecah pada budaya mereka. Jadi, siapa yang salah? Atau biar tidak menghakimi, pertanyaannya diubah, “Jadi, apa yang salah?” Fokus kita, niat kita, atau tindakan kita?
Sembari merenungi pertanyaan di atas, pahami pula sejatinya mencari Tuhan banyak ragamnya. Ibadah terletak pada niat. Dan segala sesuatu di jagat besar ini adalah bentuk ibadah jika meniatinya untuk ibadah. Termasuk tarian. Sehingga ibadah tidak mandek hanya sebatas ibadah yang kita tahu saja.
Merdekalah dalam menTuhan. Dan cara yang paling ampuh untuk meleburkan diri dengan-Nya, ya dengan meleburkan diri pada dirimu sendiri. Siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia akan mengenal Tuhan-Nya, bukan? Man ‘Arofa Nafsahu faqod ‘Arofa Rabbahu.[]