Peta perilaku penghuni abad mutakhir ini, di samping ada wabah korona, ternyata juga ada gejala baru, yakni wabah narsisisme. Dalam khazanah psikologi, narsisisme sejatinya bukan hal baru. Berangkat dari mitologi Yunani figur Narkissos (Narcissus) yang terlalu mengagumi pantulan wajahnya sendiri di telaga, nama tersebut diadopsi menjadi gangguan psikologis akan kecenderungan egophilia dan grandiose self-admiration (mengagumi diri secara berlebihan). Kalau meminjam terminologi Islam, kita kenal sebagai penyakit ‘ujub.
Belakangan kata narsisisme masuk ke DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) dengan mengalami spesifikasi menjadi Narcissistic Personality Disorder (NPD).[1] Ciri-ciri NPD setidaknya terangkum dalam 9 poin besar: [1] mengutamakan kepentingan dirinya di atas segala hal (a grandiose sense of self-importance); [2] angan-angan sukses tak terbatas dan cinta yang ideal; [3] rasa superior, special, unik dan haus akan pengakuan orang lain; [4] selalu ingin dipuji dan dikagumi; [5] mengharap perlakuan istimewa; [6] berperilaku sombong dan arogan; [7] kurang berempati; [8] iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain banyak yang iri kepadanya; [9] cenderung bertindak mengeksploitasi orang lain (interpersonally exploitative behavior).
Secara garis besar, narsisisme dapat diartikan sebagai gejala awal dari gangguan kepribadian atau kondisi mental individu yang merasa lebih hebat (superior) dari orang lain sehingga lebih mementingkan dirinya sendiri (selfish) dan kurang berempati ke pihak selain dirinya (lack of empathy).[2] Erich Fromm sendiri mengartikulasikan narsisisme sebagai kemunduran kepribadian (personality regression). Ironisnya, di masa kehadiran media baru dan mesin-mesin teknologi informasi semakin menggurita, kini narsisisme justru menemukan wadah untuk merebak—sehingga oleh Jean M. Twenge dan Keith Campbell disebut sebagai ‘wabah narsisisme’.[3]
Bahkan, dalam pandangan psikologi sosial dari Agnieszka Golec de Zavala[4], narsisisme yang pada mulanya dinilai sebagai gejala individual, pada nyatanya dapat membengkak, memuai, dan merembet secara kelompok—disebut narsisisme kolektif. Contohnya dapat diambil pada sejarah Perang Dunia II, ideologi Nazisme ala Hitler yang merasa superior sehingga menegasikan, sampai bahkan menggenosida kelompok liyan yang dipandangnya rendah.[5]
Persoalan narsisisme dalam konteks ini, dengan demikian, tidaklah sesempit yang diperbincangkan dalam jagat medsos seperti keranjingan berswafoto ria, memamerkan kecantikan atau ketampanan, dan juga prestasi. Semua fenomena kontemporer itu hanyalah sebagian kecil dari multi-indikator yang terkandung dalam bulatan narsisisme. Ia memiliki ruang definisi yang lebih kompleks dan bahkan bisa merambah ke persoalan sikap dan ekspresi keagamaan.
Kaum Muda Perlu Waspada
Hadirnya media sosial yang berperan tidak kalah penting dari koran dan televisi, menjadikan unsur “trendisitas” seolah capaian berharga terutama bagi generasi milenial (Y) dan generasi Z. Idiom viral dan trending topic semakin menunjukkan legitimasi tersendiri dan bahkan diburu-buru netizen. Sementara jika menengok kajian generasi dalam uraian Chaider S. Bamualim[6] dan Yasraf Amir Piliang, watak sosio-antropologis dari generasi muda masa kini cenderung hybrid (campuran), relatif menyukai budaya instan, multi-tasking, mengejar kebahagiaan walaupun sesaat, dan terakhir: narsis.[7] Meski demikian, perangai generasi tetaplah majemuk (multifaset), dan tidak tunggal. Don Tapscott menilai secara lebih apresiatif terhadap generasi kini dengan mengaitkan sejumlah norma semisal bermental creator, inovator, dan kolaboratif serta tidak feodal.[8]
Hanya saja, dengan adanya sokongan media daring, watak generasi, dan kondisi yang semakin tidak menentu begini, tentu gejala narsisisme akan potensial meningkat pada dinding-dinding dunia maya. Ihwal tersebut, mau tidak mau, akan turut mewarnai pusparagam ekspresi, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bersosial—dan termasuk dalam ranah keagamaan.
Barangkali memang menggiriskan jika sejumlah pakar psikologi sosial, Kevin S. Carlson, mengatakan narsisisme ini lebih sering menjangkiti kaum muda. Senada dengan itu, Profesor Josh Grubbs dari Bowling Green State University merincikan bahwa generasi muda dalam rentang usia 18-25 tahun lebih condong ke beberapa prediktor narsisisme. Dan ini tidak saja secara individual, melainkan dapat berkembang menjadi kolektif. Jika demikian, tidak aneh saat kita memformulasikan frasa gabungan, yakni “narsisisme religius kolektif”. Suatu fenomena zaman yang merepresentasikan kecenderungan ‘komunitas’ keagamaan yang merasa superior, paling baik, paling unik, paling benar, dan berhak diperlakukan istimewa oleh kelompok lain.
Pada ranah keagamaan sudah sering kita jumpai segerombolan individu, dengan label kelompok keislaman tertentu misalnya, yang bersikap over-fanatik dan sebegitu merasa paling gagah dengan logika kelompoknya (in-group). Perangai yang seperti ini dapat mengarahkan seseorang atau komunitas untuk melegitimasi perlakuan tindak kekerasan atasnama kebenaran kelompok.
Apabila menukil ulasan Syekh M. Nursamad Kamba (allahu yarhamuh), kritik beliau cukup mengena atas fenomena narsisme: “orang-orang yang mengklaim beragama makin gaduh mempersoalkan siapa-siapa yang berhak masuk surga dan siapa saja penghuni neraka. Ironisnya, asas penilaian berhak-tidaknya seseorang masuk surga bukan dari kualitas-kualitas kemanusiaan, melainkan berdasarkan logika kelompok”.[9] Logika in-group yang parsial-eksklusif itulah yang menjadi corak determinan pada fenomena narsisisme religius kolektif yang negatif dan destruktif—berdaya rusak.
Mundur ke beberapa waktu silam, kita sering menjumpai kelompok takfiri yang mengklaim kebenaran kelompok mereka sebagai yang paling benar. Juga dapat kita ingat kembali propaganda ISIS, yang dengan keyakinan superior narsisisme, mereka bahkan sampai membunuh orang lain di luar kelompoknya. Dan masih banyak yang sejenis. Atas dasar itulah, hal yang perlu dicatat dalam tulisan ini adalah semua kelompok keagamaan, terutama buat kalangan yang masih muda, sangat potensial dan rentan terjangkit narsisisme religius kolektif—baik NU, Muhammadiyah, ataupun siapa saja. Mari ingat dan waspada![]
Catatan:
[1] American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (Fifth Edition), 5th ed. (Arlington (USA): New School Library, 2013).
[2] Siyin Chen, Rebecca Friesdorf, and Christian H. Jordan, “State and Trait Narcissism Predict Everyday Helping,” Self and Identity (March 2019).
[3] Jean M. Twenge and W. Keith Campbell, The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement (New York, London, Toronto, Sydney: Free Press, 2009).
[4] Agnieszka Golec de Zavala et al., “Collective Narcissism and Its Social Consequences,” Journal of Personality and Social Psychology 97, no. 6 (2009): 1074–1096.
[5] M. Naufal Waliyuddin, “Religious Expression of Millenial Muslims within Collective Narcissism Discourse in Digital Era,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 4, no. 2 (2019): 176–190.
[6] Chaider S. Bamualim, Hilman Latief, and Irfan Abubakar, eds., Kaum Muda Muslim Milenial: Konservatisme, Hibridasi Identitas, Dan Tantangan Radikalisme (Tangerang Selatan: Center for The Study of Religion and Culture (CSRC), 2018).
[7] Yasraf Amir Piliang, “Merayakan Narsisisme: Dunia Me Generation,” in Dunia Yang Berlari (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2017), 133–143.
[8] Don Tapscott, Grown Up Digital: How the Net Generation Is Changing Your World (Chicago: McGraw-Hill, 2009).
[9] M. Nursamad Kamba, Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam (Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN, 2018), 286–297.