Belakang ini isu perundungan bagai bom waktu. Setiap hari bisa meledak di mana-mana, baik di sekolah hingga pesantren elite sekalipun. Kedua lembaga itu, dengan biaya mahal, gedung megah, fasilitas lengkap, nyatanya belum cukup menjamin ekosistem yang aman dan nyaman.
Data dari SIMFONI KEMENPPA 12 Maret 2024 menunjukkan angka yang miris. Ada sebanyak 228 kasus dan 287 korban perundungan yang ada di sekolah. Kemudian Pusat Penguatan Karakter (PUSPEKA), Kemendikbudristek, menemukan data (2021) bahwa sebanyak 24% anak didik mengalami perundungan di sekolah.
Perasaan Orang Tua
Melihat fenomena ini, kira-kira apa yang menjadi akar permasalahannya dan bagaimana solusinya? Data tadi hanyalah secuil ‘rekaman’ yang muncul ke permukaan. Sementara tindak kekerasan di masyarakat kita bagaikan gunung es. Ingatan kita masih hangat pada kasus yang menimpa Bintang. Ia berakhir meninggal dunia karena dianiaya oleh senior dengan alasan korban dirasa malas untuk melaksanakan salat.
Terbayang menjadi orang tua korban, rasanya pasti hancur berkeping-keping ketika melihat anaknya pulang sudah menjadi mayat. Mereka berharap anaknya mendapatkan ilmu pengetahuan dengan aman, tetapi yang didapat justru jasad penuh luka dan lebam.
Kejadian di pesantren Kediri itu apakah bisa dibenarkan? Tepatkah sebuah ajakan untuk meminta seseorang melaksanakan ibadahnya kepada Tuhan justru dengan mengilangkan nyawanya? Padahal kita sama tahu, hal yang baik harus disampaikan dengan cara yang baik pula.
Belum lagi kita mendengar kasus baru: terdapat 12 santriwati yang diduga dicabuli oleh dua pengasuhnya di Trenggalek, Jatim. Dan itu hanya dua kasus dari sekian banyak yang tidak muncul ke layar warganet.
Apa pun bentuknya, tidak ada satu pun perundungan yang boleh diremehkan. Lebih repot lagi, dampaknya bisa mengorbankan nyawa seseorang. Tentu hal ini menjadi kasus yang cukup serius sehingga perlu ditangani.
Tidak Kenal Usia
Kasus perundungan yang terjadi tidak mengenal usia dan jenjang pendidikan tertentu. Bahkan mulai anak yang masih duduk di PAUD, sampai jenjang SMA, semua bisa kena. Otomatis permasalahan ini cukup serius dan butuh segera ditindaklanjuti.
Bahayanya, perundungan juga akan berdampak pada kualitas generasi masa depan. Dua kasus di atas merupakan isyarat tentang buruknya ekosistem lingkungan pendidikan serta krisis keteladanan. Untuk itulah perlu adanya kerja sama yang baik antara orang tua dan pengajar/guru dalam memberikan penguatan karakter pada anak.
Ditambah lagi, mindset orang tua yang memberikan kepercayaan penuh kepada guru/ustadz/ustadzahnya. Percaya sepenuhnya tanpa mau melihat kebenarannya, bahkan seringkali orang tua menyalahkan anak yang menjadi korban kekerasan dan terkesan mengabaikannya. Tulisan ini hadir mencoba menggali akar persoalan dari sisi yang berbeda. Sisi yang jarang dipertimbangkan, kendati fundamental, yang menyebabkan maraknya perundungan, yakni: rendahnya budaya literasi kita.
Kekurangan Tuntunan
Anak-anak adalah peniru ulung terbaik. Mereka bersikap sebagaimana orang dewasa terdekatnya bersikap. Saya sangat percaya kalau tidak ada anak yang nakal. Yang ada hanyalah anak yang belum menemukan orang dewasa yang tepat untuk menjadi panutan mereka.
Maka, banyaknya anak yang menjadi pelaku perundungan, hal itu tidak boleh hanya dilihat pada hari ini. Melampaui itu, kita musti menengok perjalanan panjang 10 tahun silam terkait bagaimana pola pengasuhan yang didapatnya. Bagaimana lingkungan memperlakukannya, dan seterusnya. Tentu ini menjadi sangat kompleks dan serius.
Anak-anak generasi Z dan generasi setelahnya (Gen Alpha) tidak kekurangan tontonan. Mereka kekurangan tuntunan. Bahkan Gen Z dan seterusnya, sejak kecil, sebelum umur 1 tahun mainannya bukan lagi boneka, mobil mobilan, atau benda benda mati sejenis. Mainan mereka kontan langsung teknologi, khususnya gawai cerdas.
Anak-anak sudah didekatkan pada tontonan di Youtube, benda mati yang bergerak. Tentu mereka akan banyak kelihangan sentuhan tulus manusia, seperti kedua orang tuanya. Apalagi jika orang tuanya tidak punya waktu untuk sekedar ngobrol santai dan mengajaknya bermain. Hanya sibuk bekerja. Di sini, orang tua, para orang dewasa terdekatnya, hanyalah mesin ATM bagi mereka: memberikannya uang tanpa kasih sayang, apalagi tuntunan.
Selain itu, generasi saat ini banyak sekali yang tidak mengetahui nama-nama presiden Indonesia, lho. Apalagi pahlawan bangsa, jangan terlalu berharap. Mereka lebih gampang mengenal super hero ketimbang nama-nama pahlawan. Fenomena inilah yang terjadi di kalangan generasi penerus tanah air kita. Tantangannya, bagaimana ruang imajinasi anak diisi oleh narasi-narasi pahlawan yang ada di dekatnya, seperti ibu-ayah, guru, pemikir bangsa, dan lainnya.
Pentingnya Pembudayaan Literasi
Akan hal itu, literasi menjadi unsur penting. Tingginya tingkat literasi seseorang, semakin tinggi pula tingkat toleransinya. Sama dengan semakin tinggi budaya literasi masyarakat, itu akan mengurangi tindak kekerasan pada sesamanya. Untuk itulah, penting memperkenalkan buku cerita sejak dini kepada anak-anak.
Semakin dini memperkenalkan, semakin baik. Faktanya, buku cerita belum tentu ada di setiap rumah keluarga Indonesia. Hal ini menyingkapkan bahwa buku cerita merupakan barang mahal dan belum menjadi prioritas kebutuhan masyarakat. Melihat itu saja, kita jangan berharap akan ada peningkatan skor PISA. Wong buku cerita saja masih belum menjadi kebutuhan.
Terkait itu, saya teringat film populer “Freedom Writers”. Isinya mengangkat kisah nyata tentang keberhasilan seorang guru dalam mengelola kelas dengan murid yang super bandel, bahkan dapat dikatakan criminal. Namun, luar biasa seorang guru tersebut mampu mengubah kelas sangar tadi menjadi penuh toleransi, solidaritas, dan prestasi. Untuk menaklukkan kelas tersebut, sang guru melakukan pendekatan persuasi, lewat buku dan budaya literasi.
Mari berkaca sejenak. Kita sama mafhum soal tumbuh kembang anak. Untuk anak usia 0-6 tahun, panutannya adalah kedua orang tuanya. Dari mereka kita akan sering mendengar, “kata mamaku seperti ini.” Sedangkan untuk anak 7-12 tahun, mereka akan mudah percaya kepada sosok gurunya dibandingkan orang tuanya. Yang sering terdengar, “kata Bu Guru seperti ini, Bu.” Karena itulah, orang tua dan guru adalah panutan terbaik bagi anak-anak, termasuk dalam hal membaca.
Itu sebabnya, sebagai orang dewasa kita juga perlu terus belajar. Hal ini sebagaimana hadis yang menyatakan, “Carilah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.” Jauh sebelum itu juga, Socrates pernah berujar, “Jangan paksakan anak-anakmu mengikuti jejakmu, mereka diciptakan untuk kehidupan di zaman mereka, bukan zamanmu.” Untuk itulah, literasi untuk orang tua agar terus belajar juga dibutuhkan.
Perpustakaan Ramah Anak, Sarana Pencegah Perundungan
Pengenalan buku cerita sejak dini adalah cara yang yang efektif untuk membentuk karakter anak. Dengan minimnya akses buku bacaan di rumah, maka pemerintah musti ikut andil memberikan fasilitas untuk memudahkannya. Salah satunya, misal, dengan menghadirkan perpustakaan di sekolah ataupun di desa.
Jenjang sekolah dasar adalah pondasi. Lebih-lebih, masanya paling lama di antara semua jenjang sekolah. Aktivitas membaca juga pilar penting bagi seseorang dalam mengenali dunia. Tanpa bisa membaca, seseorang akan buta pikiran. Gagal membaca di sekolah dasar, akan gagal pula untuk lanjut ke jenjang pendidikan berikutnya.
Jika itu terjadi, justru anak tersebut akan menjadi korban perundungan dan terpinggirkan oleh teman sejawat. Dampaknya, anak yang kurang memiliki pengetahuan akan memiliki perilaku agresif atau melakukan kekerasan dalam merepsons tantangan.
Hasil pengamatan saya, sebagai fasilitator literasi sekolah sekaligus peneliti isu kekerasan pada anak, kehadiran perpustakaan di sekolah dasar yang ramah anak menjadi penting. Perpustakaan tidak sekadar menjadi ruang berhantu atau gudang buku. Perpustakan adalah gudang ilmu, tempat di mana anak-anak bisa mengakses banyak buku cerita yang disukainya. Karena sekali lagi, sekolah dasar adalah pondasi dan kunci.
Keberadaan perpustakaan tidak sebatas ruangan fisik. Aspek lainnya juga perlu diperhatikan agar menjadi ruang aman dan nyaman bagi anak untuk membaca. Perpus bukan sekedar ruang yang diam. Ia adalah ruang yang hidup. Di dalamnya ada interaksi aktif antara anak dan guru. Di sini mereka bisa bertumbuh-kembang lebih optimal.
Ada beberapa taktik untuk menghidupkan perpustakaan. Pertama, kegiatan membaca nyaring. Ini bisa dilakukan oleh guru kepada setiap didiknya. Otomatis, kehadiran penuh seorang guru di sini sangatlah penting. Maksudnya, penerimaan dan perlakuan guru kepada setiap anak harus adil dan bijak, tanpa adanya perundungan.
Kedua, penerimaan guru dalam mengapresiasi segala bentuk usaha anak, sekecil apa pun bentuknya. Secara tak langsung, perlahan namun pasti, unsur ini ikut menopang pendidikan karakter kepada anak. Seiring berjalannya waktu, jika penerimaan guru begitu lapang, otomatis anak semakin mencintai buku. Kelanjutannya mereka akan semakin kritis dan berani mengungkapkan apa yang dirasakannya.
Faktor Anak Pelaku Perundungan
Kenapa selama ini banyak anak yang menjadi pelaku? Itu karena minimnya ruang penerimaan terhadap seorang anak. Lantas mengapa sedikit sekali anak yang menjadi korban dan berani melapor? Tentu hal ini juga soal yang sama, tentang ruang penerimaan dan daya kritis, serta rasa khawatir jika dia melapor, dia justru tidak dipercayai, disalahkan, dan diremehkan. Wujudnya bisa dengan ungkapan, misalnya: “Masak begitu saja kamu tidak berani melawannya?” dan ungkapan bernada mirip.
Di sinilah, kerja sama antara orang tua dan guru sangatlah penting. Jika ruang penerimaan ini tidak mereka dapatkan, mereka akan mencari ruang penerimaan yang lain. Bisa ke temannya, meski lingkungan pertemanan yang kurang baik.
Parahnya lagi, jika semua menurut anak tidak memberikan ruang nyaman, dia pun akan lari kepada gawainya. Jangan berharap kepada buku. Karena buku tidak pernah dikenalkan kepadanya sebagai temannya sedari kecil. Dengan aneka tontonan tanpa tuntunan itulah yang, tanpa dikontrol, kemudian menjadi alasan terjadinya segala bentuk kenakalan remaja.
Dengan begitu, literasi tidak sekedar tentang kecerdasan, melainkan tentang pemahamannya. Apa yang dipikirkan akan terealisasi menjadi tindakan. Tindakan berulang akan menjadi karakternya. Inilah yang penting. Jika sekedar pintar, tanpa adanya karakter yang baik, tentu ini bisa berbahaya.
Untuk itulah, perpustakaan sejatinya berposisi sebagai lokus gerakan literasi. Peran perpustakaan adalah sebagai “jantung sekolah”. Keberadaannya sebagai organ terpenting. Tanpa berfungsinya perpustakaan, tergoyahlah tujuan sekolah tersebut.
Perpustakaan dapat menjaga relevansi tanpa menggusur kemajuan teknologi informasi. Kehadirannya menjadi benteng moral, karena begitu dekat dan melekat untuk setiap anak. Di dalamnya, peran buku begitu penting melampaui produk ponsel yang kebak distraksi.
Buku fisik untuk anak menjadi bagian penting sebagai pondasi pengetahuan dia. Untuk itu sangat perlu memperkenalkan perpustakaan dan menghidupkannya sebagai ruang aman-nyaman bagi anak-anak agar perundungan di sekolah, pesantren, bisa tercegah.[]
Comments 1