The reading of all good books is like conversation with the finest men of past centuries.
—Rene Descartes
Dalam masa perkembangannya, usia remaja merupakan usia di mana seseorang sedang mulai asyik mencari jati diri yang sebenarnya. Remaja berkembang dan memupuk diri melalui interaksi bersama teman seusianya baik di dunia nyata maupun maya. Dalam setiap pribadi manusia, rasa percaya diri merupakan sebuah peran penting guna mewujudkan keberhasilan dalam hubungannya dengan segala kegiatan yang dilakukan. Namun, hal yang tak dapat dipungkiri adalah tingkat kepercayaan diri yang dimiliki oleh setiap individu itu berbeda satu dengan yang lain.
Berangkat dari rasa percaya diri yang berbeda-beda itu, dewasa ini kata ‘insecure’ sedang menjadi topik yang tiada habisnya. Insecure ialah suatu istilah dalam ranah kesehatan mental yang saat ini menjadi perhatian masyarakat luas. Kata insecure acap kali diucapkan oleh orang-orang yang sedang merasakan kekhawatiran terhadap suatu hal. Selain itu, insecure juga acap kali diucapkan ketika seseorang merasa tak nyaman dengan dirinya sendiri maupun dengan situasi tertentu.
Kaitannya dengan insecure, self-healing juga ramai dibincangkan akhir-akhir ini terutama oleh kaum remaja zaman now. Self-healing merupakan suatu proses penyembuhan diri yang umumnya terjadi akibat tekanan mental, tekanan jiwa dan sebagainya, karena terpendam luka batin masa lalu yang disebabkan diri sendiri maupun orang lain. Tujuan self-healing yakni agar dapat memahami diri sendiri, dalam menerima kekurangan dan ketidaksempurnaan, serta membentuk pikiran positif dari hal-hal yang sudah terjadi.
Ketika berhasil melakukan self-healing, maka seseorang nantinya akan dapat menjadi pribadi yang lebih kuat dalam menghadapi situasi yang sulit, kegagalan, dan tekanan di masa lalu. Kita akan dapat melihat bahwa segala persoalan hidup dapat memberikan pelajaran yang tidak diajarkan oleh siapa pun, kecuali diri sendiri. Singkatnya, orang yang memiliki rasa insecure baiknya memerlukan self-healing untuk menyembuhkan luka batin karena rasa insecure-nya tersebut.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk self-healing, salah satunya adalah dengan membaca buku. Salah satu buku self-healing yang sedang ramai dibicarakan adalah sebuah buku berjudul “Insecurity Is My Middle Name”, karya seorang penulis muda bernama Alvi Syahrin. Buku tersebut merupakan salah satu buku self-healing yang populer di kalangan remaja saat ini.
Insecurity dan Buku Self-Healing
Setiap individu tentunya pernah merasa insecure. Hanya saja perasaan insecure yang dialami oleh setiap individu itu berbeda satu sama lain. Insecure itu wajar dan normal. Masing-masing manusia yang hidup pastinya mengalami berbagai kejadian, baik itu kejadian yang membuatnya bahagia, sedih, kecewa, dan lain sebagainya. Ketika menginjak usia remaja, mengalami yang namanya patah hati adalah hal yang lumrah saja. Salah satunya yakni patah hati yang disebabkan karena penolakan. Entah itu ditolak seseorang, maupun perusahaan yang sedang didambakan.
Insecurity selama ini memang dirasakan oleh siapa saja tanpa memihak pada siapa pun. Mulai dari usia remaja sampai-sampai usia dewasa. Bentuk dari insecure-nya pun bermacam-macam. Bisa insecure karena merasa bahwa fisiknya tidak semenarik fisik orang lain, merasa bahwa keadaannya tidak seberuntung yang lain, sampai merasa rendah diri karena pada usia yang dimilikinya saat ini belum bisa berhasil menggapai tujuan apapun.
Buku self-healing berjudul “Insecurity Is My Middle Name” karya Alvi Syahrin adalah salah satu jalan keluar agar kita dapat berdamai dengan perasaan insecure tersebut. Pada hakikatnya, kekuatan perasaan akan membentuk pribadi yang akan mempengaruhi perilaku seseorang.
Dalam buku itu, penulis mengajak kita agar berdamai dengan perasaan insecurity yang ada di dalam hati dan pikiran dengan cara yang positif. Kemudian beranjak memanfaatkan perasaan insecurity itu sendiri, menjadi pemicu untuk terus berkembang dan bergerak menjadi diri sendiri, menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya. Melalui buku self-healing ini, seolah-olah buku ini sedang mengajak bicara dengan diri sendiri, menjadi teman di kala kesepian, membawa kita untuk merenung dan berbincang atas ketidakpercayaan diri yang selama ini terpaku pada masing-masing individu.
Memiliki konsep yang menarik dan menyuguhkan halaman depan serta tampilan yang apik hingga membuat buku self-healing ini mampu menenangkan pembacanya. Alvi Syahrin membawa pembacanya untuk memahami tentang pola pikir insecurity dan cara berdamai dengan diri sendiri. Di buku inilah penulis mengajak pembacanya untuk berdamai dan memandang insecurity dari sudut pandang yang berbeda. Bukan dijadikan sebagai suatu penghalang, akan tetapi berbalik agar menjadi energi pendorong yang membuat diri kita semakin menjadi lebih baik.
Atensi Remaja terhadap Buku Self-Healing
Remaja yang adalah generasi penerus bangsa, kini sayangnya, memiliki minat baca yang tergolong sangat memiriskan. Bahkan menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia adalah terendah kedua dari 61 negara. Artinya, Indonesia menduduki peringkat ke-60. Generasi masa kini telah disuguhkan dengan berbagai teknologi yang canggih, namun sangat disayangkan bahwa perkembangan teknologi yang semakin canggih tersebut tidak dibarengi dengan meningkatnya minat baca.
Munculnya media sosial menjadi salah satu contoh perkembangan teknologi yang kini menyedot perhatian sekaligus ‘merampok’ waktu kita–bahkan secara pemilikan saja, banyak dari kita yang memiliki lebih dari satu akun. Salah satu medsos yang digandrungi, yakni Instagram, menjadi salah satu platform yang paling banyak digumuli para remaja karena menyuguhkan lebih banyak media visual berupa gambar dibandingkan dengan platform media sosial yang lain.
Dari sini, di samping tantangan waktu yang direnggut, tetapi pemanfaatan medsos untuk mengampanyekan minat baca dan literasi sungguh penting diterapkan. Sebagai contoh, Alvi Syahrin, penulis buku self-healing ini memanfaatkan media sosial sebagai ajang untuk mengenalkan karya-karyanya. Salah satu karyanya yang saya sebut di atas, telah menarik perhatian saya saat menggulir laman instagram. Buku yang baru terbit pada pertengahan tahun 2021 ini, menarik perhatian lebih dari 20.000 pembaca hingga awal November 2021. Artinya, atensi remaja terhadap buku self-healing ini tergolong cukup banyak.
Hal-hal positif seperti ini perlu sekali mendapat perhatian lebih di kalangan remaja. Pasalnya, masa remaja merupakan masa yang labil dalam bertindak dan mengambil keputusan. Sehingga remaja sangat rentan terpengaruh dengan hal-hal yang sifatnya baru bagi mereka.
Perhatian remaja sering kali hanya terfokus pada hal-hal yang sifatnya kurang esensial, sedangkan perhatian terhadap buku rasanya seperti terabaikan. Hal ini menjadi tantangan khususnya bagi para penulis buku. Penulis harus tahu betul bagaimana memanfaatkan peluang yang ada, sehingga karyanya dapat memikat perhatian sasaran pembacanya.
Membaca sejatinya merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Remaja yang sedang mencari jati dirinya semestinya mampu berusaha meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pola pikirnya. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan cara membaca buku. Buku self-healing berjudul “Insecurity Is My Middle Name” karya Alvi Syahrin ini dapat menjadi salah satu alternatif bacaan bagi remaja yang sedang mencari jati dirinya.
Sebagai penutup, saya akan mengakhirnya dengan sebuah kutipan mengena dari seorang penulis berkebangsaan Amerika.
“Buku adalah pembawa peradaban. Tanpa buku, sejarah itu sunyi, sastra itu bodoh, sains lumpuh, pemikiran dan spekulasi terhenti. Buku adalah mesin perubahan, jendela di dunia, mercusuar yang didirikan di lautan waktu.”
—Barbara W. Tuchman