Kemarin magrib, ponsel saya berdering dan mendapat kabar dari seorang teman dekat yang lama tidak bertemu. Ia menyarankan saya agar segera berangkat ke suatu tempat. Kebetulan waktu itu Ramadhan, maka momentumnya juga bisa dianggap sebagai pertemuan dengan niat berbuka puasa bersama.
Saat bertemu, lalu apalagi yang dapat kami bertiga lakukan selain menceritakan kabar satu sama lain. Meski dengan sedikit malu, saya mengutarakan bahwa kawan yang telah menyandang gelar ke-sarjana-an ini sedang galau karena dari di antara mereka, sayalah yang belum jua mendapat pekerjaan. Beda dengan mereka. Tapi bukan itu yang terpenting. Yang akan saya bagikan adalah secuplik obrolan yang sudah ngalor-ngidul dan berjam-jam kami adu-jotoskan.
Pembicaraan kami bertiga lebih banyak mewartakan keadaan diri dan problem hidup masing-masing. Sesekali juga kita meloncat ke topik-topik lain yang sedang viral dan heboh di sosial. Mulai dari viralnya salah satu anggota “Brandal Poppies Dua”, mantan-mantan atlet bulutangkis yang lagi mendapatkan “cakrawalanya” Rendra, “Mulut Pisaunya” Wiji Thukul, mendapat suplai “Ekstasinya” Wahyu Prasetya, dan kasus lain yaitu “terselipnya” Tuhan dalam diri pelaku pembullyan, serta eksistensinya Kanjeng Ratu Corona tak luput juga kita diskusikan.
Tersebab Kanjeng Ratu Coronalah lahir anjuran dan peraturan PSBB yang berujung kepada problem kebudayaan yang seharusnya bisa kita laksanakan seperti pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu budaya mudik dan halal bihalal untuk saling mengunjungi satu sama lain; orang tua, saudara, tetangga, teman dan kerabat yang mungkin tidak akan terlaksana di tahun ini.
Sulit memang untuk membayangkan bagaimana momen lebaran yang sudah menjadi kebiasaan nyaris semua warga masyarakat Negara Republik Kesatuan Ingah-ingih, (ehh maaf, Indonesia maksudnya). Kini berkumpul bersama sanak saudara berubah menjadi tidak dan berjarak. Tapi manusia bisa apa saat Tuhan bersabda lewat gerak alam? Lantas harus bagaimana menyikapi keadaan ini? Ya, sebagai jasad bersedih, tetapi sebagai rohani tidak.
“Maksudnya?” Sahut satu kawan di seberang meja dengan cukup serius. Manusia adalah khalifah di mana dialah pancer dari segala arah mata angin. Dia bisa manjing sajroning kahanan. Sanggup menempatkan diri sebagai apa saja sesuai dengan keinginannya. Maka, di saat dia melihat ke dalam diri sebagai makhluk jasad, ia akan bersedih dan menangis menerima keadaan yang membuatnya tidak bisa bertemu dengan sanak keluarga karena adanya pandemi ini. Akan tetapi apabila dia menempatkan diri sebagai manusia rohani, dirinya tidak akan merasa sedih dengan adanya peraturan dan permasalahan ini.
Fenomena mudik memang sudah menjadi ciri khas manusia Indonesia. Mudik diartikan pulang atau kembali. Namun, pertanyaannya, “pulang kemana kita?” Sebagaimana Resi Umbu mewejang santri-santrinya di Jalan Malioboro kala itu, “pulanglah ke-diri kalian masing-masing”.
Itulah yang saya tafsiri sebagai satu petuah yang menyuruh kita agar selalu mencari kesadaran di dalam diri bahwa kita ini siapa, dari mana, untuk apa, mau apa dan akan kemana. Dari sinilah ada kesadaran di mana mudik ataupun tidak, itu sama saja. Sama baiknya asal tetap berada dalam tonggak kesadaran innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kesadaran akan dari mana kita berasal dan akan kembali itulah yang paling murni dan sejati dari kata mudik itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan halal bihalal yang setiap tahunnya kita sebagai umat muslim Indonesia lakukan? Saya kira hakikat dari kata halal bihalal adalah silaturahmi menjaga hubungan antarsesama dengan kelapangan dada memberikan maaf sesudah dan bahkan sebelum melakukan salah dan juga terlepas dari Bulan Syawal. Maka dari itu, bagi siapa saja yang di dalam dirinya telah tercipta telaga maaf dan semangat bersilaturahim dengan siapapun maka dirinyalah manusia yang telah lepas dari apa yang dinamakan halal bihalal di waktu Syawal. Ada inti yang sama dalam halal bihalal meski secara langsung atau hanya lewat smartphone.
Mungkin peristiwa pandemi ini sengaja dibuat Tuhan sampai dipariwisatakannya ke bumi manusia dengan maksud menjadikan agar hari-hari kita—termasuk di Bulan Ramadhan kemarin sampai Idul Fitri—yang kita lalui benar-benar menjadi hari-hari yang sangat berkualitas dalam penghayatan ke luar dan penghayatan ke dalam. Dan setelah lahirnya peraturan dan anjuran yang tidak mengizinkan kita mudik, kita husnudzoni dalam rangka menjaga kesehatan orang tua, saudara dan sesama manusia di Desa. Lantaran mungkin saja Kanjeng Ratu Corona tengah singgah di dalam tubuh kita.
Dan, boleh jadi ini semua juga melahirkan kesadaran “kembali” pada yang lebih murni dan sejati. Barangkali Tuhan sengaja memberikan rentang jarak di tahun ini dalam rangka memupuk rindu dalam kalbu agar subur dan menumbuhkan segala sesuatu yang berdampak baik kepada semua. Bisa juga diartikan bahwa memang terkadang kita mesti berjarak dulu agar bisa menilai dan merenungi bahwa ternyata yang berjarak tidak mesti selalu jauh. Bahkan sebaliknya: semakin jauh, malah terasa semakin dekat.[]
Cangkringan, Mei 2020