Pagi, siang, sore, malam, atau kapan saja itu, cocok-cocok saja kalau digunakan buat ngopi. Entah bikin sendiri, atau dibikinin mbak-mbak barista Space Roastery yang jelita. Bisa juga diracikin Bung Sobrun, barista Kapeo Kopi yang sebenarnya ndak tampan-tampan amat, tapi kok ya punya yhang—yang menjadi parameter bahwa setidaknya ada yang mengakui ketamfanannya.
Saya membayangkan betapa indahnya lingkungan kerja Bung Sobrun yang dikelilingi ukhti-ukhti photogenic. Sirkulasi ukhti-ukhti itu pun konsisten terulang. Mungkin itu alasan terselubung untuk menolak halus-halus tawaran saya kepadanya buat datang ke Syini Kopi, tempat saya bekerja. Ya, meskipun bilangnya selalu “Nunggu pitulasan,” atau “Kalau pitulasan-nya bukan malam Minggu.”
Cukup dipahami saja, lah, kalau malam Minggu saya bilang momentum Bung Sobrun untuk berpuasa sekaligus berbuka. Berpuasa menahan hasrat kelelakiannya untuk mendekati ukhti-ukhti photogenic yang malam Minggu memang waktunya keluyuran—karena sudah punya yhang. Tapi, berbuka juga, lho, karena ya memang kuantitas serta sirkulasi ukhti-ukhti photogenic itu meningkat dibanding hari-hari biasa.
Selain pemerhati ukhti-ukhti, Bung Sobrun rupanya pemerhati musik juga. Terlebih playlist musik / lagu yang disetel di warung kopi. Sewaktu beliau berkunjung ke Syini Kopi, yang mana itu adalah momen pertama saya kenal beliau dan belum bertemu lagi sampai tulisan ini diketik, saya lihat raut wajahnya itu menyesuaikan musik-musik yang saya putar di speaker warung. Itu masih sebelum saya berani ngobrol banyak di depan beliau. Beliau-beliau, lebih tepatnya.
Di konsorsium agak nggenah itu, turut-lah The Shohib of Metafor.id, yakni Bung Nopal. Ada pula Bung Sofyan, calon psikolog andal dari Sidoarjo yang ternyata pernah sealmamater dengan saya. Ada juga pejalan sunyi dari Banjar, Jawa Barat, yang berkesungguhan untuk mengikhlaskan (mantan) kekasihnya yang kelak akan menikah dengan pria lain, Bung Jupri namanya. Beliau-beliau ini andal betul dalam masing-masing hal yang ditempuhnya.
Dari selepas Isya’ kami berkonsorsium. Disaksikan oleh susu jahe, es kopi susu, dan gorengan yang semakin pagi semakin anyep. Khazanah Random ialah formula yang mendasari setiap konsorsium seperti itu. Mulai ngobrol perihal Perang Dunia Pertama, Prajurit Jawa yang duduk melingkar ikut konsorsium, hingga ngrasani bakul gedhang yang uyuh-able. Bukan bakulan sembarang gedhang, yang ini beda. Doi bakulan “gedhang rasa oligarki dengan topping batubara”, kata Bung Sobrun.
Kembali ke Bung Sobrun si pemerhati musik, wajahnya itu bisa berubah-ubah. Kadang bluesy, kadang punky-rocky, kadang klasik Arab juga. Itu masih oke. Setidaknya tidak sedikitpun terlihat raut-raut muka EDM New Wave, yang sedang tren di mana-mana sekarang ini. Dari segala probabilitas raut muka yang dipancarkan Bung Sobrun, maka Bluesy-lah yang dominan.
Tatkala saya putarkan lagu-lagu John Mayer, beliau bereaksi spontan, “Seneng John Mayer sisan ta, Mas?” Wah ini, bau-bau penganut aliran Mayerisme. Lick-lick gitar yang gurih nan renyah khas John Mayer, dengan lirik dan vokal yang ajib juga, amat tak mengherankan kalau John Mayer jadi idola cah-cah karyawan warung kopi yang tak pernah absen mencatat kasbon dalam setiap bulannya.
Wahai Bung Sobrun, John Mayer memang sedap didengar melodi njancuki-nya, mantap dikunyah lirik puspa rasanya, dan nikmat dihayati vokal khasnya. Tapi, tolong balas surat ini dengan pemaknaanmu atas satu saja lagu John Mayer favoritmu. Ya meskipun tak bakal bisa seutuhnya engkau runut sebab-sebab kau menyukainya. Suka ya suka, ndak suka ya ndak suka. Lak yo to? Perihal perasaan, je.
Maka setelah tulisan-tulisan pemaknaanku sendiri terhadap karya-karya The Beatles, maka saranku adalah dengarkan semuanya, Bung Sobrun. Musik-musik lawasan sarat makna seperti itu, langkah paling mudah mendakwahkannya adalah dengan memasukkannya di playlist lagu warung kopi. Sambil menyeduh, mendakwah juga terlampaui.
Tapi memang, Bung Sobrun, bahwasannya playlist musik itu membawa karakter tersendiri buat warung kopi nya. Karakter warung kopi yang playlist lagu nya dipenuhi EDM New Wave bakal beda dengan warung kopi yang playlist musik-nya Bluesy. Itu baru seputar genre, Bung. Belum kalau ditelisik dari era musiknya; tahun 60-an kah, 70-an kah, atau 2000-an, bakal beda pula karakter warung kopinya. Belum juga kalau lebih spesifik sampai ke musisinya; John Mayer kah, The Beatles kah, atau cover-an yutuber-yutuber yang semlohay suaranya. Bakal bawa karakter tersendiri.
Namun jarang, kan, Bung Sobrun, satu putaran playlist musik cuma berisi satu jenis genre, era, atau musisinya. Ketiganya tak bisa dipisahkan begitu saja. Maka solusi dariku, dan yang kuyakini bahwa Bung Sobrun sudah mengamalkannya di Kapeo, adalah dengan mengatur jadwal playlist. Siang-siang harus putar apa, agak surup putar apa, semakin malam akan putar apa, pasti dibedakan.
Itu pun pasti ada subyektivitas si pemutar musik dalam menentukan apa yang harus diputar. Bisa saja Bung Sobrun tidak suka atau merasa kurang sip kalau Karawitan Condong Raos diputar di warungnya. Ya tiada masalah. Selera saja.
Selain manajemen pemutaran berdasarkan waktu dan subyektivitas si pemutarnya, ada pula empan papan-nya. Kapan sebaiknya memutar sebuah lagu, dan kapan sekiranya kurang baik untuk memutar sebuah lagu pula. Tapi saya yakin Bung Sobrun tidak mungkin memutar The Dance of Eternity-nya Dream Theater saat adzan Maghrib berkumandang. Kecuali beliau beriktikad memprogresif-metalkan adzan, yang mana akan rawan kecaman dari ormas setempat. Alias paido-able.
Ah, sudahlah. Ini sekadar surat-suratan saja dengan Bung Sobrun. Sekadar surat pembuka. Sekiranya Bung Sobrun bakal membalas dengan tulisan-tulisan wadidaw-nya yang sepeserpun saya tidak ada unggul-unggulnya dibanding beliau.
Oh ya, Bung Sobrun, jangan lupa putar Ummi Kultsum sewaktu Kapeo Kopi ramai, lho![]
Kadipiro, 5 Maret 2021
Comments 1