Di ujung sore yang meronakan warna jingga menuju muram pasi, mari kita sedikit melegakan diri dengan cara membuka cangkem yang sudah penuh dengan isi.
Sambatan ini bermula saat saya tahu instastory kawan seputar pernikahan. Iya, kawan saya memang sudah lama menjalin sebuah hubungan dengan kekasihnya. Mereka adalah pasangan serasi dan juga sama-sama rakyat dari Jawa asli. Kurang lebih isi story itu semacam ini: ‘mungkinkah pergi menjadi solusi?’. Karena saya termasuk salah satu orang yang dekat dengan dia, saya coba bertanya adakah suatu hal yang sedang dia hadapi.
Ternyata benar, Sob! Setelah melalui perundingan akhirnya saya bertemu dengannya di sebuah warung kopi. Dia bercerita bahwa sedang berada pada titik kebingungan dan akhirnya berakibat sambat kepada saya. Hal yang membuatnya bersedih adalah hubungan asmaranya dengan sang kekasih ternyata menabrak hitungan Jawa atau adat weton. Di mana jika mereka tetap menikah maka terbaca akan berpotensi mendapat musibah besar.
“Padahal aku sudah sreg dan yakin bahwa dia bisa menjadi pendamping hidup yang baik, Mbak“. Itulah statement yang membuatnya optimis bahwa dia bisa menempuh tahap pernikahan dengan orang pilihannya. Tapi tetap saja penjelasannya itu tidak mampu melunakkan hati keluarganya yang keukeh bahwa mereka tetap tidak diperbolehkan menikah. Sontak kawan saya berpikir bahwa lebih baik tidak menikah jika tidak dengan pujaan hatinya. Hassss.
Tidak cukup itu, dia juga dengan nyaring mengumpat—mungkin sebagai bentuk pelampiasan amarahnya. “Yauwis lah mbak, daripada aku gak jadi menikah sama mas ku, mending aku minggat saja. Dengan begitu orang tuaku akan seneng kan!”. Haish, semuanya diucapkan. Iya, semuanya.
Saya percaya bahwa menikah adalah sebuah ibadah untuk menyempurnakan separuh agama manusia. Pun menikah merupakan hal yang pasti diinginkan oleh setiap insan. Tidak ada yang tahu kelak kita akan menikah dengan siapa, dan juga siapa yang tahu bahwa jalan yang akan kita lalui untuk tiba di tahap itu seperti apa.
Dan menikah itu bukan hanya perkara ‘aku dan kamu’ saja, melainkan ada keluarga kita, masyarakat kita, adat, budaya dan masih banyak lagi yang harus “disatukan” pula. Tidak cukup, Sob, jika hanya dengan kata “siap”, atau “cinta” saja. Perihal ini saya pun yakin jika kawan saya sebenarnya menyadari. Tapi siapa sangka, bahwa rasa cinta itu telah membutakan segalanya. (Mirip kata M. Faizi, “mungkin tidak segalanya, tapi nyaris”).
Dengan sabar dan penuh pengertian, saya mencoba menenangkan kawan saya. Kadang sesekali saya ajak dia untuk berpusing ria, tentang usaha orang tua mempertahankan adat dan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhurnya. Bukan hanya itu, saya juga mengajak dia untuk berfikir tentang apa sebenarnya tujuan awal dia memutuskan untuk menikah.
Saya merasa bahwa meskipun kita hidup di generasinya Mbak Najwa bukan lagi generasi Teteh Siti Nurbaya, namun ngugemi (memegang teguh) adat bukanlah sebuah hal yang salah atau buruk. Sebab hidup di tengah-tengah budaya lah kita akan merasa lebih tahu bagaimana seharusnya bersikap. Selain itu adanya aturan adat Jawa tersebut juga salah satu upaya agar kelak pernikahan kita dijauhkan dari bala’. Ini adalah penjelasan perspektif orang tua sih, hehe.
Saya juga menuturkan sejatinya keluarga itu tidak pernah salah dalam menasehati dan mengarahkan. Meskipun di sisi lain kita merasa dipersulit atau peraturan mereka seperti maag yang melilit. Sakit. Namun saya percaya bahwa mereka juga punya dasar mengapa berlaku demikian.
Cinta kita tidak salah kok. Akan tetapi ada sebait aturan yang juga tidak bisa dilarang. Orang tua kita telah lebih dahulu mengerti dan merasakan pahit manisnya berumah tangga. Saya pun sepakat ketika orang tua berdalih ingin mengarahkan yang terbaik untuk anaknya. Dan itu hal yang wajar.
Hanya saja, sebagai anak, kita memang harus perbanyak membaca. Nggak bisa semuanya harus sesuai sama kehendak kita. Apalagi kalau tanpa melalui sebuah perundingan yang matang. Tentu akan menuai banyak kontra kan? Ya, karena memang ini urusan penting. Salah selangkah saja bisa fatal akibatnya.
Sejenak memang kawan saya tampak lebih tenang. Sambil menyeruput kopi good day yang mungkin telah dingin—sama dengan pikirannya mungkin, heuheuheu.
Di akhir pertemuan itu saya memberikan penguatan kepada dia. “Tidak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya. Semua pasti akan tetap diperjuangkan dan dicarikan jalan keluar. Jangan berkecil hati. Sebab rahmat Allah saja lho sangat Besar.” Dengan senyuman yang sedikit dipaksakan, dia labih dahulu pergi dari pandangan saya.
Saya pun berlalu.[]