Akhirnya, tiga hari yang lalu, Mira menikah dengan Sardi. Ia sudi menjadi istri untuk seorang lelaki yang buta setelah menjadi korban tabrak lari. Ia rela menjadi sosok pendamping hidup yang akan banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus keperluan sang suami yang masih terus beradaptasi dengan keadaannya.
Tentu orang-orang yang mempertanyakan keputusannya. Bagaimanapun, ia adalah seorang wanita yang cantik dan tak memiliki ketunaan fisik. Bahkan karena kejelitaannya itu, banyak pria bertubuh normal dan berwajah tampan yang telah menjalin hubungan yang spesial dengannya, meski pada akhirnya, ia dan para lelaki itu berpisah dengan alasan yang beragam.
Sungguh, orang-orang tak habis pikir atas keputusan Mira menikah dengan Sardi di tengah kemampuannya untuk mendapatkan pria yang lebih baik secara fisik. Apalagi, mereka tahu bahwa Mira yang lebih bersemangat untuk melakoni pernikahan tersebut. Mereka tahu bahwa Sardi sempat menolak atas perasaan rendah dirinya, tetapi Mira malah berkeras.
“Jika kebutaan saja tidak membuatmu berkecil hati karena tak lagi bisa melihat keindahan dunia, lalu apa yang bisa membuatmu bersedih atas kehidupan di dunia ini?” tanya Mira kepada Sardi, pada satu sore, sebulan yang lalu, di taman rumah Sardi, ketika Mira mengunjunginya sebagai mantan perawatnya di rumah sakit.
Merasa aneh atas pertanyaan itu, Sardi pun mendengkus dan tertawa pendek. Ia lantas berpikir-pikir sejenak, kemudian menuturkan pendapatnya dengan setengah bercanda, “Aku hanya bersedih kalau aku kehilangan dirimu, dan aku tak bisa lagi mendapatkan perawat yang setia mendampingiku sepenuh hati.”
Mira lantas menelan ludah di tenggorokannya. Ia kemudian berupaya menguatkan dirinya untuk menuturkan kesungguhan yang lahir dari pertimbangan hati dan pikirannya, “Kalau begitu, menikahlah denganku!”
Sardi sontak terkejut. Ekspresinya menjadi datar. Ia lalu berusaha mengelak, “Aku hanya bercanda.”
“Tetapi aku serius,” timpal Mira. “Aku mencintaimu, dan aku ingin kau menikah denganku.”
Seketika pula, Sardi jadi kelabakan.
Jeda beberapa detik.
Sardi lantas mengembuskan napas yang panjang. Seperti berusaha meredakan gejolak perasaannya. “Tetapi kau tahu sendiri kalau keadaanku begini,” katanya, dengan nada pelan dan raut sayu.
“Aku tak peduli. Aku tetap mencintaimu, dan aku ingin kau menjadi suamiku,” ulang Mira, tegas.
Sardi terdiam saja. Bingung.
“Aku bisa menunggu jawabanmu sampai beberapa hari ke depan, dan aku hanya ingin kau mau,” pungkas Mira, kemudian pamit dan pergi.
Akhirnya, setelah hari demi hari berlalu untuk meyakinkan dirinya sendiri, Sardi pun menerima untuk memasrahkan kekurangannya pada kelebihan Mira.
Sampai kini, Mira sungguh tak memedulikan pernyataan miring orang-orang perihal keputusannya. Ia menerima Sardi sebagai suaminya dengan sepenuh hati. Ia bertekad untuk mendampinginya sepanjang waktu. Ia pun senantiasa menjaganya dengan kasih sayang.
Penerimaan Mira terhadap kondisi fisik suaminya, jelas bukan atas dasar paksaan siapa pun, melainkan atas keputusan hatinya sendiri. Kalau orang-orang mencela bahwa ia berjodoh dengan seseorang yang cacat, ia malah merasa dirinya berjodoh dengan seseorang yang sempurna.
Tetapi diam-diam, Mira memang sudah muak dengan persoalan fisik yang menipu. Ia tidak percaya lagi bahwa kenormalan tubuh dan keindahan wajah akan mendatangkan kebahagiaan. Menurutnya, semua itu adalah semu. Suatu saat, raga manusia akan menua, hingga membusuk setelah mati.
Bagi Mira, cinta semestinya didasarkan pada pandangan mata hati, bukan pada pandangan mata kepala. Seseorang seharusnya mencintai orang lain hanya karena ia mencintai cintanya yang berada di luar batas duniawi. Karena itu, rasa ketertarikan karena unsur fisik, menurutnya, cuma buaian perkara yang fana.
Pandangan semacam itu, tentu tidak lahir dalam benaknya begitu saja. Dahulu, ia seperti juga perempuan yang lain, yang mendambakan pendamping hidup yang memiliki unsur ragawi yang normal sekaligus memikat mata kepalanya. Tetapi pengalaman akhirnya mengubah pola pikirnya, hingga ia berpandangan bahwa cinta sejati seharusnya melampaui urusan fisik.
Pengalaman yang menyadarkannya tak lain adalah hubungannya yang kandas akibat landasan ragawi. Sudah beberapa kali ia menggantungkan dan memasrahkan cintanya pada lelaki rupawan yang berhasil membuainya dengan puji-pujian atas kecantikannya. Tetapi kemudian, para lelaki tersebut meninggalkannya dengan beragam alasan.
Akhirnya, setelah rentetan kisah yang menyakitkan itu, ia pun menginsafi kesesatannya sebagai seorang perempuan. Ia sadar telah salah karena mudah teperdaya sanjungan para lelaki. Ia sadar telah keliru menganggap pandangan mata kepala para lelaki terhadapnya, dan pandangan mata kepalanya terhadap para lelaki, adalah dasar dari perikatan cinta.
Kini, ia benar-benar memahami bahwa demi waktu, cinta atas pandangan fisik pasti akan berbuah pengkhianatan. Paling tidak, pemahamannya itu didasarkan pada pengetahuannya sendiri bahwa para lelaki yang dahulu mencampakkannya, pada akhirnya menjalin hubungan dengan perempuan lain yang mereka anggap lebih cantik.
Atas pemahaman itulah, akhirnya, Mira memutuskan untuk menjatuhkan cintanya kepada Sardi. Ia merasa bahwa Sardi akan bersetia kepadanya sepanjang waktu. Ia merasa bahwa lelaki itu tidak akan tertipu oleh pandangan mata kepalanya terhadap perempuan lain, dan akan terus terperangkap oleh pandangan mata hatinya terhadap Mira seorang.
Anggapannya itu pun makin menguat atas kekagumannya pada sikap Sardi setelah sekian lama mereka bersama sebagai pasien dan perawatan. Ia bisa menilai bahwa Sardi punya hati yang tulus dan suci dalam mencintai. Karena itulah, ia yakin bahwa mereka akan terus bersama, meski keadaan terus berubah.
Dan hari ini, sebagaimana hari-hari sebelumnya, Mira begitu bersemangat untuk mengurus keperluan suaminya tersebut. Ia melakoninya dengan senang hati, sebagaimana sikapnya dahulu dalam merawat dan memenuhi kebutuhan ayahnya yang jadi pincang setelah mengalami kecelakaan bermotor.
Tentu saja, Mira tidak ingin berperilaku seperti ibunya. Ia tidak akan meninggalkan suaminya karena persoalan fisik dan materi. Ia bahkan memperlawankan dirinya dengan sang ibu yang tega mengkhianati ayahnya dengan berselingkuh dengan atasannya di kantor yang tampak lebih tampan dan lebih berpenghasilan.
Sungguh, perilaku serong ibunya terhadap ayahnya, juga menjadi salah satu alasan yang membentuk pandangan Mira tentang cinta. Ia berkaca pada kesesatan ibunya itu, sehingga ia teguh melawan kecenderungan mata kepalanya yang senantiasa berupaya untuk menyesatkan mata hatinya dalam memandang cinta.
Akhirnya, atas sikap Mira yang berbeda dengan sang ibu, ayahnya pun merasa sangat bersyukur. Sang ayah merasa sangat terbantu dalam menjalani masa penyembuhan persendian tulang lututnya yang bermasalah pasca kecelakaan. Apalagi, sang ayah jelas tidak mengharapkan siapa-siapa selain dirinya sebagai seorang anak semata wayang.
“Betapa beruntungnya aku memiliki seorang anak yang berbakti sepertimu, Nak. Tanpa dirimu, aku tak tahu harus bagaimana lagi,” tutur sang ayah, tiga bulan yang lalu, ketika mereka tengah duduk bersampingan di teras depan rumah sembari menghirup udara pagi.
Mira pun mendengkus. Ia merasa terenyuh dan iba setelah menerka bahwa sang ayah sedang terkenang pada sang ibu yang tega mengkhianatinya. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan sebagai seorang anak. Apalagi, aku tahu, Ayah telah memberikan segalanya untuk kehidupanku selama ini.”
Mendengar ungkapan kebaikan hatinya itu, sang ayah pun tersenyum haru. “Aku yakin, lelaki yang menjadi suamimu kelak, pasti akan sangat bahagia memilikimu sebagai seorang istri.”
Sontak, Mira tersipu mendengar sanjungan sang ayah. “Memangnya, apa akan ada lelaki yang mau menikahiku?” tanyanya, merendahkan diri.
Sang ayah pun tertawa pendek. “Tentu saja, Nak. Kau ini wanita yang baik hati. Hanya lelaki buta hati yang tidak tertarik pada kebaikan hatimu.”
Mira lantas mendengkus dan terkenang pada beberapa lelaki yang telah mengkhianatinya demi wanita yang lain. “Memangnya, selain Ayah, apa masih ada laki-laki yang memandang perempuan dari kebaikan hatinya, bukan dari rupa wajahnya?”
“Tentu saja masih ada, Nak,” balas sang ayah, lantas mengusap-usap kepalanya. “Karena itulah, Nak, kau juga mesti memilih pasangan hidup dengan mata hatimu, bukan dengan mata kepalamu, agar kau hidup bahagia.”
Dengan sepenuh hati, Mira pun mengangguk takzim.
Akhirnya, sejak saat itu, Mira memegang teguh pesan ayahnya tersebut sebagai prinsipnya dalam menemukan pasangan hidup.
Tetapi sayang bagi Mira. Ayahnya meninggal sebelum ia mengikatkan cintanya dalam tali pernikahan bersama Sardi. Sang ayah meninggal satu setengah bulan yang lalu, akibat penyakit paru-paru. Tetapi sebelum ajal menjemput, sang ayah sempat memberikan pesan bernada wasiat kepadanya, yang akhirnya mengantarkannya menjadi seorang istri bagi Sardi:
“Bagaimana keadaan Sardi, lelaki yang kau rawat di rumah sakit dahulu?” tanya sang ayah di atas pembaringannya, di rumah sakit.
Mira pun merasa aneh atas singgungan ayahnya yang tiba-tiba perihal Sardi. “Keadaannya semakin membaik, Ayah. Tetapi ia mengalami kebutaan total. Memangnya kenapa?”
Ayahnya pun mengembuskan napas yang panjang dan tersengal-sengal. “Aku mohon kepadamu, dampingilah ia dengan baik. Rawatlah ia sepenuh hatimu. Bahkan kalau bisa, temanilah ia sepanjang hidupmu.”
Seketika, Mira jadi penasaran. “Kenapa begitu, Ayah? Kok, Ayah perhatian sekali pada Sardi?”
Sang ayah pun menelan ludah di tenggorokannya, seperti berat untuk berkata-kata. Tetapi akhirnya, ia bertutur juga, “Itu karena pelaku tabrak lari yang telah menghilangkan penglihatannya adalah aku, Nak.”
Mira pun tercenung.***