Untuk menebus sebuah kemerdekaan perempuan, ada harga mahal yang harus dibayar. Demikianlah sekutip kalimat yang muncul di benak saya pasca membaca karya yang begitu memukai karya Dian Purnomo berjudul “Perempuan Yang Merindukan Bulan Hitam”. Buku ini menceritakan sebuah perjuangan seorang wanita membebaskan diri dari budaya setempat yang cenderung merugikan wanita. Ironisnya, budaya ini masih mengakar kuat.
Buku ini menceritakan seorang wanita bernama Magie Diella, seorang perempuan Sumba yang telah menamatkan pendidikan dari universitas ternama di Jawa Tengah. Karirnya baru saja dimulai saat sebuah tragedi mencengangkan yang menjadikan novel bertebal 312 halaman ini tercipta.
Sebuah adat yang masih kental di masyarakatnya hingga kini, yaitu mewajarkan penculikan perempuan dalam sebuah proses perjodohan keluarga lantaran harga pernikahan yang tak kunjung mencapai kata sepakat. Ya, inilah kejadian yang menimpa Magie Diella di tengah zaman yang sudah serba modern. Adat ini disebut “kawin tangkap”.
Cerita berawal pada suatu hari di sebuah perjalanan menuju lokasi pekerjaan sebuah penculikan oleh segerombol laki-laki asing menimpa diri Magie dengan perlakuan kasar dan penuh ancaman. Penculikannya berakhir di suatu rumah lelaki yang jauh lebih tua dan berkuasa di kampungnya, dalam keadaan tak sadar karena kaget ia dibawa masuk ke dalam sebuah kamar.
Kemarahan mendidih dirasakan oleh Magie saat terbangun dari pingsannya dan menyadari tubuh bagian bawahnya tidak tertutupi pakaian. Kemarahannya sungguh menyesakkan; kepada semua orang. Tidak ada satu halpun yang bisa ia lakukan karena semua masyarakat mewajarkan adat ini. Magie merasa terpukul kala mendengar orang tuanya akhirnya menyepakati pernikahannya dengan lelaki tua itu.
Berbekal emosi dan kemarahan, di malam hari ia nekat bunuh diri dengan menggigit pergelangan tangannya lantaran tidak menemukan benda tajam di sekitarnya. Beruntung (atau celakanya?), Magie ditemukan tepat waktu dan bisa diselamatkan. Dian Purnomo secara kompleks dan detail menceritakan tekanan yang dialami Magie. Pasalnya, sepulang dari rumah sakit pasca percobaan bunuh diri, pernikahan hanya diundur. Bukan dibatalkan.
Magie merasa bahkan keluarganya lebih memilih harga diri suku dan budaya dibandingkan rasa kemanusiaan. Baginya, mereka tuli terhadap penderitaan diri Magie yang merasa telah dilukai. Magie akhirnya mencari organisasi perlindungan perempuan. Berbekal dukungan para aktivis perempuan yang hanya ia kenal nama, Magie memutuskan melawan orang tua, keluarga dan adatnya. Ia kabur dari rumah hingga berbulan lamanya.
Karya ini pada akhirnya menceritakan kegigihan seorang Magie dan tekadnya melindungi dirinya sendiri sebagai seorang perempuan. Sekian lamanya Magie pergi dari rumah. Begitu tiba merasa aman, ia pulang ke rumah. Magie mendapati Ama Bobo (panggilan untuk ayahnya) sakit keras. Sungguh kepala batu, Ama Bobonya meminta Magie menikah dengan lelaki tua itu lagi dengan dalih permintaan sebelum mati karena sakit.
Dengan segala kekuatan, Magie melawan dengan cara yang lebih cerdas kali ini, namun juga lebih menyiksa batinnya. Perjuangannya bukan hanya melawan seorang lelaki tua, tapi juga lelaki itu sangat berkuasa dan memiliki banyak koneksi di berbagai jalur para pejabat hukum. Banyak yang menyarankan Magie berhenti melawan karena hanya orang yang tak waras yang mampu melawan lelaki itu.
Tidak menyerah dan melawan ambang batas waras, Magie melawan melalui berbagai jalur dan cara–bahkan hingga membahayakan hidupnya. Namun pada akhirnya usahanya berbuah hasil. Usaha Magie terakhir kalinya mempertaruhkan banyak hal dan itu tidak sia-sia. Ada harga mahal yang ditebusnya, tidak hanya untuk dirinya, Magie juga menunjukkan kepada wanita di sekitarnya agar berani bersuara saat diinjak dan suara mereka dibungkam.
Magie bahkan harus menerima cemoohan lantaran mengingkari dan melawan adatnya. Ia disebut-sebut sebagai wanita yang lupa adat dan lupa kebaya. Seperti apakah perjuangan Magie yang pada akhirnya membuahkan hasil? Karya ini sungguh menguras emosi dan memberikan ruang hampa tersendiri di hati pembaca. Dian Purnomo bahkan banyak menggunakan panggilan dan istilah sesuai dengan budaya setempat hingga pembaca mampu merasakan desir emosional dan suasana setempat dalam kejadian ini.
Novel ini memiliki banyak pesan bahwa ada adat dan kebudayaan kita yang perlu dijaga dan ada yang perlu diperbaiki. Apalagi jika budaya tersebut tidak memperlakukan manusia layaknya manusia, atau merugikan suatu pihak. Pesan lainnya adalah karya ini meyadarkan kita bahwa kejadian merendahkan perempuan itu nyata dan masih terjadi di bumi ini. Tidak terelakkan, perempuan harus belajar. Setidaknya perempuan harus berani bersuara demi menciptakan dunia yang lebih aman dan nyaman huni–untuk semua manusia, laki-laki maupun perempuan, yang berkuasa maupun yang biasa.[]
Identitas Buku
Judul Buku : Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam
Penulis : Dian Purnomo
Tebal : 312 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2020