Sesaat setelah membaca buku ini, saya teringat ungkapan Ernest Hemingway yang pernah dikutip Dea Anugrah dalam salah satu esainya. Bunyinya seperti ini:
Lupakan tragedi yang menimpamu. Kita semua nahas sejak awal, dan kau memang harus terluka habis-habisan agar dapat menulis secara serius. Saat kau terluka, gunakanlah—jangan curang, setialah kepadanya seperti seorang ilmuwan—tetapi jangan anggap penderitaan itu istimewa hanya karena ia terjadi kepadamu atau orang-orang terdekatmu.
Barangkali, penderitaan semacam itu pula yang mengilhami Hendy untuk terus menulis cerita-cerita bernapaskan sengsara-derita, dan, menghimpunnya menjadi satu buku kumpulan cerpen bertajuk “Heliofilia”.
Saya mengenal Hendy, sedari masih berstatus mahasiswa. Saat itu kami terhimpun dalam komunitas kepenulisan mahasiswa (Forum Penulis Muda Ponorogo). Sejak awal tergabung di komunitas tersebut, sudah sangat kentara, Hendy ialah si pemurung yang begitu gandrung menggeluti dunia cerita. Ia begitu keranjingan menulis, membicarakan, dan membongkar-rangkai puzzle ceritanya sendiri, untuk kemudian ia sebar ke media massa.
Boleh dikatakan, media massa cukup berperan mendekatkan Hendy kepada pembaca dalam skala yang lebih luas. Maka dari itu, Ia begitu rajin mengirim karyanya ke berbagai media luring atau pun daring. Pada “Heliofilia” ini pun bisa kita amati, bahwa Hendy tampak masih menggunakan formula penerbitan selayaknya tradisi penerbitan di awal 2000-an—mengumpulkan cerpen-cerpen terbaik yang telah tersiar di media, kemudian menghimpunnya menjadi satu buku kumpulan cerpen.
Bertitik tolak dari rupa-rupa pembukuan semacam itu, sebetulnya penulis mendapat minimal dua keuntungan secara moril. Pertama, dikarenakan tulisan-tulisannya telah lebih dulu tersiar di media massa, maka penulis punya keterkenalan yang cukup untuk kemudian menerbitkan karyanya dalam bentuk buku. Kedua, karya penulis semacam telah diberi legitimasi—secara non-verbal, oleh para redaktur media massa, untuk kemudian bisa dikatakan “pantas” atau bahkan “perlu” untuk dinikmati pembaca secara luas.
Titik Khas Cerita
Terlepas dari proses pembukuan, “Heliofilia” bagi saya sudah cukup menjadi bukti kematangan Hendy dalam meramu cerita. Dari kelima belas cerpennya saya menemukan kekhasan Hendy dalam menghamparkan cerita. Kesan pertama, pembaca seperti dipaksa masuk ke dalam black hole kisahnya, lalu tersesat pada alam pikir si penulis. Alam pikir yang dinding-dindingnya berembun dan berwarna hitam-kelam.
Aspek yang khas juga tercermin pada gaya bertutur sang narator. Dalam sebagian cerita, narator seolah-olah menjadi penyair jalang, yang berceloteh seenak jidatnya di malam pembacaan puisi. Hendy Nampak berusaha memilih-memilah setiap diksi secara intens dan bertenaga, menjejalkan serangkaian kalimat puitik, serta memperkaya gaya narasi dengan ungkapan yang cenderung metaforis.
“Mendapati tiada seorang pun yang menyahut, Epikurus mengayuh kakinya ke bangku seberang. Dalam kedai kopi ini, terbilang cukup ramai pembeli. Dan karena itulah, pria dengan baju sepekat malam itu bebas berkelana, mencari siapa saja yang berkenan menyeret nyawanya ke lembah jahanam.” (Heliofilia: Epikurus Mencari Jalan Mati, Halaman 9)
Penggalan narasi di atas, seolah menunjukan keinginan penulis untuk mempertunjukan teknik narasi yang tidak melulu “begitu-begitu saja”. Atau, boleh dibilang menghindari gaya narasi yang “klise”. Lalu, menggubahnya menjadi cara bertutur yang sama sekali tidak kehilangan nuansa puitik. Pun pada beberapa dialog, saya mendapati sajian percakapan yang hampir mirip bualan penyair kawakan.
“Tepat ketika aku menemukan sebuah pulau yang indah hatiku merekah. Hasrat hidup tanpa masalah sebentar lagi akan terwujud. Sayangnya, pada waktu aku kembali ke Hawi, seorang perempuan yang kudaku sebagai jelmaan “bidadari”, yang kuanggap juru selamat hidupku, telah bertunangan dengan lelaki lain yang bukan dari golongan pelaut. Aku mendapati cincin memeluk hangat kelingkingnya. Dan ketika kusapa, ia tak lagi mengenaliku. Seorang pria memalingkan wajah sekar ayu dariku, dari hidupku,” (Heliofilia: Pelayaran Terakhir Bagi cook, Halaman 36)
Hendy amat berani menyusun dialog dengan kalimat hiperbolis-metaforis, kendati hal demikian sebetulnya cukup rawan dilalukan. Sebab, bisa saja menghilangkan nuansa “dialog yang natural” antarkarakter.
Muatan Isu Kesehatan Mental
Pada kastil cerita lain, Hendy menampilkan karakter-karakter yang mengidap gangguan neorotik. Atau, sebutlah semacam ketidakberesan cara berpikir. Karakter-karakter itu tampak digerakkan oleh sebuah keyakinan–yang bisa jadi menurut pandangan umum merupakan“keyakinan yang salah kaprah”.
Namun, di sinilah kepiawaian penulis. Ia tak lantas menjadi sosok pengkhutbah—yang memaksakan kebenaran pada karakter-karakternya, tidak pula menghitam-putihkan dinamika permasalahan dalam cerita. Karakter tetap dibiarkan bergerak leluasa sesuai keyakinannya–meski semua orang tahu, itu keyakinan yang muskil.
Penulis seakan ingin mengesankan pada pembaca, bahwa gangguan cara berpikir pada setiap manusia tidak serta merta harus diakuisisi dengan kebenaran yang selama ini kita punya. Melainkan, harus ditelisik terlebih dulu, bagaimana dan apa alasan yang mendasari manusia itu berpikir sedemikan absurd.
Hendy pun piawai menggali ketegangan. Ia menghadapkan harapan karakter utama dengan kenyataan yang harus ia terima. Kita tahu, harapan ialah hal-hal indah yang menggantung di kening, sedang, kenyataan ialah suatu peristiwa apa pun yang mau tak mau harus diterima—sesuai tak sesuai, indah tak indah. Sekali lagi: harus diterima.
Hendy tahu dan terkesan mensosialiasikan, bahwa harapan dan kenyataan sama sekali tidak mudah untuk diperjodohkan. Maka dari itu ia melebih-lebihkan ketegangan lewat pertaruhan antara harapan dan kenyataan. Ia memperlakukan karakter dalam ceritanya sebagai budak atas harapannya sendiri. Harapan buta itulah yang justru menjadikan hidup karakter dinaungi kesuraman. Akan tetapi, karakter akan tetap melakukan apa pun demi mencapai harapan—sebrutal, atau segila apa pun.
Narasi Psikopat
Gaya berpikir yang “abnormal” sekaligus beringas itulah yang kemudian saya istilahkan sebagai “Narasi Psikopat”. Narator menggerakan karakter untuk mencapai harapan dengan cara apa pun. Tindakan yang melawan tatanan sosial. Dan, kemudian selalu dihiasi hikayat tragis dan nahas yang menambah keruh bengawan cerita.
Narasi psikopat serta sekelumit kisah nahas itu bisa ditemukan dalam cerita-cerita seperti: “Derek Berkurban Kelinci,” “Mengantar Ibu ke Laut,” “Mayat di Tepi Jalan” atau juga “Epikurus Mencari Jalan Mati”. Pada cerita itu sekonyong-konyong Hendy menghendaki akhir cerita yang murung. Dan, tentu, dengan corak berpikir ala-ala psikopatnya.
Terlepas dari semua itu, penulis cukup berhasil mensimulasikan kisah, membangun plot, dan memperpadat struktur cerita. Ketiga hal tersebut dibangun berdasarkan dimensi sebab-akibat yang kuat. Meskipun, pada awal penceritaan, pembaca akan dibuat kelimpungan dengan beragam keganjilan cara berpikir karakter.
Namun, itulah kekhasan cerita Hendy, si pemurung yang meramu cerita dengan beragam keganjilan. Cerita-ceritanya berakhir nahas dan suram. Namun, segetir apa pun, semuram apa pun, seperti nubuat Hamingway– luka dan derita ialah perkakas untuk terus menulis secara serius. Dari situ, hendy telah berhasil menulis dengan serius kisah-kisahnya, lalu, menjadikannya buku kumpulan cerita penuh luka. Tabik Heliofilia![]