Hampir tiga dekade aku tinggal di Kota X. Selama itu aku tak pernah menyebutkan nama asliku pada siapa pun. Aku juga dengan sengaja dan sadar mengubah total caraku berpakaian dan berbicara, dan tentu saja kujauhi pula orang-orang yang dulunya sangat kukenal. Semua ini demi sebuah ketenangan yang tidak pernah kudapat sejak aku masih muda.
Seingatku aku memang dibesarkan untuk menjadi sosok berpengaruh. Aku hidup di tengah keluarga berada yang terhormat dan dicintai masyarakat. Aku punya banyak teman sebelum menginjak bangku sekolah. Dan, setelah benar-benar bersekolah, pada tahun-tahun yang menyenangkan itu jumlah temanku terus bertambah. Dari sanalah aku bangun batu lompatanku sehingga menjadi sesukses yang orang tuaku dambakan.
Kesuksesanku sebagai pengusaha muda diikuti level kecerdasan yang membuatku mampu menemukan teknologi canggih pembaca pikiran manusia. Dengan teknologi itu, yang kuwujudkan dalam bentuk alat serupa helm dengan harga yang terjangkau, nyaris tidak ada lagi celah bagi siapa pun untuk berbuat kejahatan.
Awalnya aku merasa bahagia karena dapat menjadi orang yang mengurangi tingkat kriminalitas di hampir seluruh dunia. Ada begitu banyak orang yang mendapat manfaat dari helm temuanku dan mereka mengaku takjub dengan kewaspadaan dini yang lahir akibat peringatan bahaya dari helm itu.
“Coba kalau tidak ada benda buatan Anda, pasti saya sudah mati dirampok,” kata seseorang.
“Sekarang saya tahu istri saya tidak benar-benar selingkuh. Sulit saya bayangkan jika saja tidak ada alat ini dan saya terus curiga padanya, kemudian kami bercerai. Akan jadi apa nasib anak-anak kami?” Tutur seseorang yang lain.
Lagi pula, selain kriminalitas, sudah jelas alat temuanku berguna bagi entah berapa banyak keluarga di luar sana yang membutuhkan solusi hanya dengan sekadar mampu membaca pikiran masing-masing.
Satu per satu testimoni berdatangan dan sebagian mengendap di kepalaku, menjadi semacam semangat bagiku untuk membuat karya fenomenal lagi yang kelak juga membawa manfaat bagi banyak orang. Namaku pun semakin bersinar, sehingga suatu kali aku bisa merasakan bahwa orang-orang kini tidak lagi mengenang ayahku yang seorang laki-laki sukses dengan kepribadian menakjubkan, lalu mencoba membanding-bandingkannya denganku. Mereka malah tidak melihatku sebagai anak lelaki yang numpang tenar dari nama bapaknya. Mereka hanya melihatku sebagai sosok yang berdiri dan berjuang oleh kemandiriannya. Dan ini jelas membuat kedua orang tuaku bangga.
Karena ini pula, ada banyak pemuda yang cemburu padaku. Sebagian dari mereka menjadi gila dan sebagian lagi memutuskan bunuh diri. Ada beberapa yang tetap berdiri teguh dengan napas dan makanan yang mereka telan setiap hari, tapi orang-orang patah hati ini mencoba menjegalku dengan segala cara yang dapat terbayangkan oleh mereka yang kalap.
Sementara itu, di samping kecemburuan buta para pemuda, terjadi juga para gadis yang tergila-gila dan berangan menjadi istriku suatu hari nanti. Mereka malah secara terang-terangan bersaing di depanku tanpa sungkan kepadaku dan bersumpah akan bisa saling menyakiti satu sama lain demi mencapai tujuan mereka.
Aku tidak dapat mencegah apa pun yang orang-orang itu lakukan, sehingga tak ada pilihan lain selain terus bekerja dan mengabaikan hal-hal tidak bermanfaat itu. Aku tidak dekat dengan gadis mana pun, tetapi berteman dengan lebih banyak orang yang datang dari berbagai kalangan. Ketika akhirnya gadis-gadis itu sadar bahwa diriku tak mungkin mereka buat terkesan, sebagian dari mereka menjadi gila dan bunuh diri.
Keadaan ini membuatku tidak dapat sepenuhnya konsentrasi ke pekerjaanku yang menumpuk di laboratorium pribadiku; sampai sejauh itu, setelah sekitar dua tahun sejak helm canggihku rilis, aku sudah menemukan dua benda canggih lain yang tidak kalah bermanfaat dari helm itu. Saat pengerjaan penemuanku yang ke sekian, aku mandek dan secara tiba-tiba tidak lagi berminat karena memikirkan betapa hanya karena kemampuan dan cita-citaku, ada banyak orang mati demi sakit hati. Betapa seiring lahirnya manfaat yang kubawa dari penemuanku, tidak sedikit juga yang harus mati untuk itu. Aku sangat merasa bersalah akan hal ini.
Orang-orang terdekatku bilang, “Itu bukan salahmu. Kamu tidak membunuh siapa pun!”
Hanya saja, aku tetap merasa akulah yang membunuh mereka. Aku sempat pergi ke rumah peristirahatanku yang kubeli secara khusus di suatu kota yang kurahasiakan. Ya, di Kota X-lah rumah tersebut berdiri. Aku bawa barang-barangku dan merenung di sana selama kira-kira setengah tahun. Setelah itu, aku pulang ke pelukan orang tuaku dalam usiaku yang baru menginjak 23 tahun, dan mengerjakan lagi penemuan-penemuan yang akan kuproduksi sendiri dan kujual lagi dengan harga yang sangat terjangkau. Pada saat itu, aku tak lagi menonjolkan diri di publik seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi para wartawan masih juga mampu mengendus keberadaanku. Dan penemuan-penemuanku yang lahir setelah itu pun kembali dihebohkan oleh berbagai media cetak dan elektronik. Lama-lama, aku mengira hidupku tidak lagi bebas.
“Aku merasa dipenjara,” kataku ke seorang sahabat yang prihatin pada tubuhku yang semakin ceking, “padahal hasratku satu-satunya cuma membantu sebanyak mungkin orang agar memperoleh kehidupan yang sedikit lebih baik dari alat-alatku. Helm pembaca pikiran, misalnya, orang tak akan bisa berbuat jahat pada siapa pun, kecuali sudi dibenci seumur hidup oleh korban atau ditangkap polisi bahkan sebelum melakukan aksi jahat itu. Atau kursi robot, misalnya, yang mana kursi tersebut dapat berperan sebagai penjaga 24 jam penuh untuk lansia yang memang membutuhkan perhatian ekstra seorang perawat. Perawat tidak dapat bekerja 24 jam penuh, sedangkan kursi robotku mampu. Tapi, aku merasa terpenjara.”
“Mungkin sebaiknya kamu berhenti sejenak,” sahut sahabatku.
“Tidak bisa, Bung. Berhenti bekerja sama dengan berhenti bernapas. Bisa-bisa aku mati kalau harus berhenti mengerjakan penemuan-penemuanku yang tertunda!”
Pada akhirnya, karena tidak ada cara lain yang dapat kulakukan demi melepaskan perhatian publik dariku, sementara aku ingin tetap bisa mengerjakan alat-alat canggihku, aku pun pergi ke Kota X dan memutuskan tinggal di sana secara permanen. Ayah dan ibuku tahu. Orang-orang terdekatku juga tahu. Tapi, mereka tidak banyak.
Tahun-tahun berikutnya penemuan-penemuanku tetap diproduksi, meski ada berita soal kematianku karena kecelakaan. Aku tidak mati. Aku masih hidup, namun kabar itu sengaja kubuat dan kuserahkan pada orang kepercayaanku untuk menyampaikannya ke publik. Penemuan-penemuanku yang tetap diproduksi setelah kematian palsu itu ditulis sebagai: hasil karya yang telah dia garap namun belum pernah dipublikasikan.
Alhasil, aku dapat bekerja jauh lebih tenang, sementara mereka yang di luar sana menganggapku tidak lagi ada. Pada saat itu, umurku mencapai angka tiga puluh.
Sampai ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan beberapa tahun kemudian, aku tak menyesal sedikit pun karena orang sudah menganggapku mati. Saudara-saudara kandungku yang tahu itu juga tetap menjaga rahasia. Orang-orang terdekatku juga bisa tetap dipercaya.
Begitu memasuki tahun ke-30 setelah kepindahanku ke Kota X, diriku merasa terbang bebas bagaikan burung. Jutaan manusia memperoleh manfaat dari alat- alat yang kuciptakan. Melihat perubahan dunia yang begitu drastis dan positif, aku bisa tidur dengan nyenyak setiap malam, meski besok subuhnya harus bangun dan bekerja seharian penuh di laboratorium hingga punggungku mengidap beberapa masalah.
Suatu ketika, saudaraku datang dan memberi kabar bahwa ada produser film yang tertarik mengangkat kisah hidupku ke layar lebar. Aku setuju-setuju saja. Kubilang pada saudaraku itu, “Mereka bisa membuat skenarionya berdasarkan buku biografiku.”
“Tapi, beberapa bagian sangat berbeda dari kenyataan,” kata saudaraku.
Aku sejenak terdiam dan kemudian tertawa seorang diri. Betapa tidak? Tiap orang yang membaca buku tersebut sudah pasti yakin seratus persen bahwa sosokku yang dulu sangat fenomenal, telah meninggal bertahun-tahun silam dan kini mungkin telah jadi tanah dan debu. Mereka beranggapan begitu. Mereka juga membayangkan kematianku yang terjadi di sebuah jurang, dalam mobilku yang terbakar setelah terperosok jatuh. Di kepala mereka, kelak setelah film tersebut selesai dibuat dan tayang di bioskop, muncul gambaran menyedihkan tentang penemu berbakat yang harus meninggal dalam usia yang masih terbilang muda.
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya kusampaikan pada saudaraku, “Bilang saja pada produser itu. Buat filmku itu sebebas yang mereka bayangkan, tetapi jangan buat adegan kematian-kematianku itu menjadi jelas. Atau, begini saja. Buat filmnya itu tanpa ada bagian kematianku. Dengan kata lain, hingga film itu berakhir, tokohku masih hidup. Kurasa itu bagus.”
Saudaraku mengangguk dan pergi. Beberapa bulan kemudian, aku keluar rumah seorang diri, dengan berjalan kaki. Aku menumpang bus dan turun di pertigaan kecil di depan stasiun. Lalu menumpang kereta ke pusat kota, sebab aku tinggal di pinggiran. Begitu tiba, kucari gedung bioskop dan kubeli tiket untukku. Di usiaku yang ke lima puluh lima, hari ini, sebuah film diputar di seluruh bioskop. Aku menontonnya seakan menonton diriku sendiri yang masih terpenjara oleh dunia. Film itu indah dan banyak penonton yang menangis, tapi, bagaimanapun, aku tetap merasa apa yang kujalani jauh lebih indah dari film mana pun.[]
Gempol, 2021
(Kematian Seorang Penemu, Karya Ken Hanggara. Di Publish di ©Metafor.id)