slot gacor slot gacor slot gacor slot gacor
Anjingaseo - Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
Monday, 07 July 2025
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Anjingaseo

Widya Prayoga Triatmaja by Widya Prayoga Triatmaja
5 February 2021
in Cerpen
0
Anjingaseo

Sumber Gambar: https://libroemmagunst.blogspot.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Mendung mengunjungi tempat yang tinggi. Hujan tak kunjung datang, gerimis pun belum. Orang-orang sibuk mengenakan jas hujan, anak-anak kecil berangkat ke surau berbekal payung. Aku dikejar waktu, menantang sekaligus penuh harap hujan jangan turun dulu. Enam puluh kilometer per jam, masih bisa lebih cepat lagi, pikirku.

Kabut mulai menyusuri lembah, menginjakan kaki kakinya ke tanah, sembari mengubur niat orang untuk keluar rumah. Suasana mencekam. Sawah berpadi laksana tangga tak lagi tampak, juga lalu lalang kendaran, bumi terasa tak terpijak. Tiga puluh menit lagi, gas motor kutarik kembali.

Tetes pertama pada akhirnya jatuh di kaca helm. Jas hujanku tertinggal. Tergesa adalah awal yang baik untuk setiap keteledoran. Lima belas kilometer lagi, kecepatan motorku sudah maksimal. Kabut berganti gerimis rapat, detakku kian cepat, waktuku makin sempit. Aspal menjadi licin, pandangan memburam, dan hanya lampu penerang jalan yang berpihak, menjadi penunjuk untuk berjejak. Tak biasanya sesepi ini. Untuk beberapa saat aku kehilangan kontrol. Darrrr. Sialan!

Aku hampir terjatuh ketika seekor yang awalnya kukira kucing, tiba-tiba menyebrang. Tarikan rem yang begitu mendadak justru membahayakan keseimbanganku. Rodaku slip. Aku berhasil menghindar dari melindas kepalanya, tapi laju motorku tak mentoleransi kaki belakangnya. Insiden tak terhindarkan.

Kutepikan motorku sembari menoleh ke belakang, tergeletak dengan sedikit berlumur darah, barangkali kehilangan kesadaran, sesekali tubuhnya kejang. Anjing yang malang. Jalan yang sepi dan tak ada saksi mata, mungkin tabrak lari akan menjadi cerita yang tepat, nuraniku padam sesaat. Sepertinya memang takkan berumur lama, sebagaimana yang berumur pasti mati juga. Kunyalakan sepeda motorku, kurapal beberapa doa keselamatan, juga doa untuk anjing yang malang. Kumasukkan gigi satu, kutoleh sekali lagi. Sialan. Perasaan bersalah tak mampu meredupkan nurani.

Kuhampiri juga seoggok anjing itu, kuamati perlahan, kusentuh dengan ujung sepatu, masih bernafas. Setelah perdebatan batin, kuputuskan setidaknya seonggok hewan ini akan kutepikan. Pengguna jalan yang lewat memelankan kendaran, sembari beberapa di antaranya membunyikan klakson. Entah untuk menyapa atau memperingatkanku yang berdiri di tengah jalan. Kuperhatikan sekitar, gerimis yang mulai deras tak memberiku kesempatan menemukan kantung kresek, atau sejenisnya. Tak mungkin seonggok ini kutendang tendang sampai tepian, ia masih bernyawa.

Pakaianku kadung basah, hujan terlanjur deras, dan iba menguasaiku. Jaket jeans warna denim kurelakan juga pada akhirnya, kuhela nafas panjang, memejam meringis, ayolah, lakukan saja. Penuh ragu kubungkus, pelan-pelan kuangkat, dalam detak yang tak beraturan, seonggok ini berhasil kutepikan. Hanya rintihan dan tatapan belas kasihan yang sempat kuperhatikan, sebelum beranjak menuju sepeda motor dan berniat meninggalkan seonggok itu beserta jaketku. Setidaknya telah kuselamatkan dari terlindas kendaraan lain, kilasku.

Melangkah tanpa menoleh, sial tanganku terkena darahnya. Sepeda motor kutuntun pada sebuah teras toko yang tutup. Kuperhatikan jam tangan, pukul lima sore. Kuambil tas ransel yang kuletakan di motor, buku pelajaran di dalamnya basah. Untung rokok beserta koreknya terselamatkan. Sembari meniup dan memainkan asap, kuambil ponsel, “Bunda, hari ini izin tidak mengajar Bilqis ya, saya menabrak anjing,” pesanku singkat.

Hawa dingin memaksa kuhisap dalam-dalam dan rokokku cepat habis. Anjing yang beruntung, tetiba kuteringat pesan guru, bukankah setiap yang sakit berhak sehat? Sebelum kusulut batang kedua, kubuka peta di ponsel: dokter hewan terdekat.

Tidak jauh, hanya lima belas menit perjalanan. Jaket beserta seonggok di dalamnya masih bernafas. Motor matic ini seharusnya mempermudah pekerjaanku, dengan meletakkanya di bagian depan dan kuapit kaki agar tak jatuh. Motor kunyalakan, kembali merapal doa keselamatan, gas kutarik, tanpa sengaja jaketnya terinjak, menyingkap tubuh seonggok itu, rupanya kedinginan. Bukan apes namanya, jika ketidakberuntunganmu hanya sekali. Nuraniku kembali tak tega. Sial. Kupindah semua buku di ransel ke dalam bagasi motor, berdesakan, kupaksa agar tetap muat. Beserta jaket, kumasukkan seonggok itu ke dalam ransel. Kututup dengan sedikit terbuka.

***

Hujan mereda ketika kuparkir motor di depan sebuah prakter dokter hewan, tanpa kesasar. Kubunyikan bel, sekali dua kali, tak berbalas, kuketuk pintu kacanya, “permisi….” Tak ada jawaban juga, kubunyikan bel sekali dua lagi.

“Sebentar,” empunya berusaha merespon.

Pintu terbuka, “Maaf ya, Mas, baru sholat. Ada yang bisa dibantu?” Tanyanya.

“Ini, dok, saya menabrak anjing.”

“Lho mana anjingnya?”

Kusodorkan ransel, “Di dalamnya, dok.”

Dibawanya seonggok itu ke dalam ruangan. Sepertinya ruang tindakan.

Ruangan ini tak begitu besar, terasa lengkap dengan berbagi tempat sebagai petshop. Bangkit dari tempat duduk, kuamati jenis-jenis pakan kucing dan anjing, kandang, mainan, dan seperangkat tetek-bengek dunia hewan peliharaan. Beberapa harganya membuat geleng-geleng kepala, mengingatkanku tak membawa uang tunai yang cukup di kantong celana. Aku meminta izin untuk menarik uang sekalian menunaikan kewajiban di surau. ATM terdekat ada di minimarket yang tak terlalu jauh, tunjuknya. Kuputuskan jalan kaki.

Kuambil satu teh botol dan air mineral dari dalam lemari es minimarket, kutebus di kasir setelah selesai menarik uang. Kusempatkan duduk di kursi santai depan minimarket, kubuka minuman dingin, berharap menenangkan soreku. Berusaha menjernihkan pikiran, kusulut tembakau, kuhisap dalam-dalam. Setelah ini harus apa, mengembalikan ke tempat tertabrak atau mengembalikan ke pemiliknya, tentu harus mencari tahu terlebih dahulu. Anjing.

***

Malam datang, gelap melanda dihibur lampu kota, kutapaki jalan kembali ke tempat dokter hewan tadi. Disambut ramah, sembari mengobrol perihal kejadian sore tadi, seonggok tersebut ternyata butuh perawatan. Barangkali dua tiga pekan di tempat ini, dokter menyodorkan beberapa biaya, uang yang kutarik masih cukup. Aku berencana mengembalikan si Anjing ketika sudah baikan, sementara biar dirawat disini dulu. Dokter yang kemudian kutahu namanya dari nametag yang dikenakan, menyarankan agar aku mencari pemilik dan memberitahu perihal ini sesegera mungkin, sebab peliharaan yang tak kunjung pulang pasti dikhawatirkan, ujarnya menambahkan. Baiklah.

Warung kaki lima menyemut sepanjang jalan pulang dari kota. Nasi goreng, pecel lele, sate, tak ada hentinya bersaling silang. Aku yang sudah begitu lelah dan lapar, justru sama sekali tak berhasrat menepi, hanya ingin urusan ini segera usai. Toko yang sore tadi tutup, buka. Awal yang baik, pikirku.

“Yang mana ya, Bu?” Tanyaku.

“Itu, Mas, yang rumah warna putih di samping gang.” Telunjuk ibu toko memastikan bahwa rumah tingkat dua itulah satu satunya pemilik anjing di sekitar sini. Aku menyempatkan membeli sebungkus rokok putihan, pengganti rasa sungkan, sebelum beranjak dengan salam sembari mengucapkan terima kasih.

Tiba di depan pagar, anjing dengan ukuran besar menggonggong lantang, aku kaget sekaligus takut, beruntung teralis pagar masih menahannya untuk mendekat. Selang beberapa saat tuannya datang, menenangkannya dan menyapaku dengan pertanyaan, “Iya, mas?”

Bodohnya, ketika di warung aku tak sempat bertanya siapa nama pemilik rumah. Aduh, bangke. Pekikku dalam benak. “Maaf, Mbak, benar memiliki anjing kecil, warna putih kelabu?”

“Iya, Mas, belum pulang sejak sore,” sahutnya.

“Iya, Mbak, maaf, tadi sore tertabrak.” Rautnya wajahnya terkaget dan tak sepatah kata pun diutarakannya.

“Sekarang dirawat di praktek dokter hewan di kota,” sambungku.

Anjing besar itu menggonggong lagi, mungkin ialah si Ibu seonggok tadi, dan bekas darah di tanganku tercium olehnya. Sial.

“Mas tau tempatnya? Antar saya, ya…” itu respon terakhirnya sebelum diikatnya si anjing besar di depan garasi, masuk ke rumah, mengambil helm, mengenakan jaket, dan mengeluarkan motor dari garasi. Aku akan kembali ke kota lagi.

Sesampai di tujuan, dengan tergopoh didorongnya pintu tanpa mengetuk dan membunyikan bel. Ditemuinya dokter dan dengan segera menengok anjingnya. Aku hanya mengamati dari ruang tunggu, enggan nimbrung dan ikut campur dengan yang dibicarakan di dalam. Rasa bosan kubunuh dengan keluar dari ruangan dan kusulut sebatang tembakau. Setengah jam kurang lebih, sebelum pemilik anjing keluar dan kami mulai mengobrol. Kuceritakan kejadian sore tadi sampai akhirnya kubawa ke tempat ini. Aku mengaku salah, meminta maaf dan siap menanggung biaya yang diperlukan. Juga memberi semoga agar anjing itu segera pulih dan lekas dibawa pulang.

Dibalasnya dengan terima kasih karena telah membawanya ke sini dan tak menelantarkan. Ia juga membebaskanku dari biaya tanggungan. Tapi aku lelaki, pantang menarik ucapan. Kuyakinkan bahwa akulah yang bertanggung jawab atas ini.

Pada akhirnya ia menyutujui, meski dari visual rumahnya aku tau ia jauh lebih berada. Tapi sekali lagi, aku lelaki. Pantang menarik ucapan. Aku izin untuk pulang lebih dulu, adzan Isya’ sudah dikumandangkan, aku beralasan menyegerakan. Ia memutuskan untuk menemani anjingnya selang beberapa waktu lagi. Kami bertukar nomer ponsel, barangkali nanti saling membutuhkan dan bertukar kabar tentang anjingnya.

“Maaf, Mbak, atas nama siapa ya?” Tanyaku.

“Sazalya.” Jawabnya.

***

Keesokan harinya, setelah mengisi les Bilqis, sekalian mengganti jam yang kemarin, kusempatkan menjenguk anjing milik Zalya. Ingin melihat keadaanya, juga barangkali perlu biaya tambahan. Rupanya Zalya juga di sana, sedang memeluk kesayangannya itu. Mereka begitu akrab. Aku jadi canggung. Kulihat seonggok yang kemarin kotor kini terlihat bersih. Tak ada lagi bekas darah, kaki belakangnya diperban kassa, dan sesekali menggonggong kecil. Lucu juga pikirku.

“Gimana, Dok?”

“Iya, Mas, sudah membaik kok. Masih butuh perawatan mungkin nanti juga perlu terapi.”

“Baik, berkabar saja ya, Dok,” tutupku. “Mbak, saya duluan ya,” pamitku pada Zalya yang masih sibuk dengan piaraanya.

Sejak itu kurutinkan menjenguk anjing Zalya, setiap pulang mengisi les kusempatkan. Sesekali aku datang lebih dulu, seringnya Zalya yang sudah duluan. Terkadang sengaja janjian. Pesan demi pesan mengakrabkan kami. Genap tiga pekan, anjing Zalya diperbolehkan pulang. Diajaknya aku mampir ke rumah. Anjing yang menggonggongiku waktu itu menjilati anaknya–anjing yang sempat menjadi seonggok setelah kutabrak tiga pekan lalu. Di depan ibunya, Zalya bercerita panjang perihal kejadi sore itu hingga hari ini. Aku hanya tersenyum dan sesekali dimintai waktu untuk melanjutkan ceritanya.

Percakapan-percakapan mendekatkan kami.

“Mas, besok pagi longgar?” Sebuah pesan masuk.

“Iya, longgar.” Balasku.

“Besok jadwal kontrol ke dokter hewan. Katanya perlu rontgen.”

“Siap, laksanakan.”

“Jemput aku ya, pagi-pagi.”

“Tumben pagi?”

“Iya, sekalin anter aku ke gereja, haha.” Jawabnya.

Tiga bulan sudah, anjingnya mulai bisa berlari lagi. Gonggongnya makin keras, dan kian besar.

***

Telpon berdering.

“Halo! Sedot WC Mojokerto.”

“Ngeselin…besok pagi jadi ya…” tukasnya.

“Aye… kapitan.” Sahutku sigap.

“Nanti malam longgar? Ayah ngajak makan di rumah.”

Aku belum siap untuk pertanyaan ini. Sial.

“Em… ini… anu, maaf, nanti malam di rumah ada tahlilan.”

“Aku… boleh datang jangan?” Tanyanya.[]

Tags: anjinganjingaseocerpendokter hewantabrakan
ShareTweetSendShare
Previous Post

Abraham Maslow: Redefinisi Kebahagiaan Melalui Peak Experience

Next Post

Jam Operasional Korona

Widya Prayoga Triatmaja

Widya Prayoga Triatmaja

Tenaga kesehatan alumni UIN Syarif Hidayatullah asal Kebumen. Suka bergurau dan senyum sok manis. Sekali waktu pernah dibotak hanya karena ketahuan memegang rokok (bukan merokok), dan kini memutuskan untuk merokok beneran. Bisa disapa di Instagram: @wiwidyapt

Artikel Terkait

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
Cerpen

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

20 May 2024

“Ini sudah masuk bulan Agustus, Maemuna,” ucap Dae la One sembari membongkar perlengkapan sunat miliknya. “Aku ingat dua minggu lagi...

Cerpen

Calon Kepala Desa

5 March 2024

Rampung sepuluh tahun jadi pegawai desa, kini tugasnya selesai. Bukan ia tidak mau berjuang lagi. Tapi ini sudah di luar...

Perihal Wajah Asing di Kereta
Cerpen

Perihal Wajah Asing di Kereta

8 December 2023

Langit Jakarta sedang melayu sore itu, awannya yang mendung tak karuan diembus angin entah ke mana. Kadang ke timur, kadang...

Warna
Cerpen

Warna

11 May 2023

Aku seperti berjalan tanpa jiwa di taman kota. Ketika matahari sore di Cirebon sedang terik dan mencekik, tubuh kopong ini...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Gambar Artikel Game yang lagi viral tahun 2021. Higgs Domino. Chip. Spin. Game yang menghasilkan Uang

Game yang Lagi Viral di Tahun 2021

23 April 2021
Minyak Goreng: Objek Doktrin Ekonomi Politik Klasik “Laissez-faire”

Minyak Goreng: Objek Doktrin Ekonomi Politik Klasik “Laissez-faire”

16 April 2022
Manfaat Memiliki Daily to Do List

Manfaat Memiliki Daily to Do List

19 November 2021
Gambar Artikel 7 Kumpulan Lagu Barat yang Asik / Enak di Dengar Kuping. Kumpulan Lagu yang bikin hati kalian melted / meleleh

7 Lagu Barat yang Asik di Kuping

26 February 2021
Gambar Artikel Aku dan Yogyakarta: Orang Kalah Berjubah Istimewa

Aku dan Yogyakarta: Orang Kalah yang Berjubah Istimewa

11 November 2020
Gambar Artikel Monolog : Bersama Sangkala, Menuju Tiada

Monolog: Bersama Sangkala, Menuju Tiada

1 November 2020
Gambar Artikel Rasa Berbahan Sutera

Rasa Berbahan Sutera

30 December 2020
Sastra: Sebuah Jalan Ritmis Menjadi Manusia

Sastra: Sebuah Jalan Ritmis Menjadi Manusia

1 September 2021
Gambar Artikel Sedayu Dalam Kurun Waktu

Sedayu dalam Kurun Waktu

12 November 2020
Gambar Artikel Bias Kegelisahan dan Kenangan

Bias Kegelisahan dan Kenangan

17 November 2020
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

Kategori

  • Event (11)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (9)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (207)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (137)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In