Kusampaikan sebuah kata, milik Tuhan benarnya. Milik akulah keliru dan salah pahamnya. Untukmu di ujung pelupuk mata yang tak kutau kapan lagi temunya. Kita berbaris-baris pergi pagi, singgah kemudian kembali petang. Menyibukkan diri pada lelahnya menghidupi diri. Berbuat seperti biasanya, pokoknya. Aku tau, kita tidak diberkati langit soal hujan kenyang, barangkali menurutmu hanya ada hujan yang menyesakkan kenangan. Tapi darinyalah sumber hidup yang kau beli dengan uang-uang yang kau hasilkan.
Gaji kita tak pernah sama, beda butuhnya, beda jenis kerjanya, beda pula hasilnya. Kamu yang telah mencintai kerjamu dengan genap hidupmu, tak jarang menerima komentar tidak puas dari sekelebat bayang orang yang dengan tak sopan bertanya, ‘berapa bayaran bulananmu’.
Gaji kecilmu, direndahkan dengan dalih kasihan. Dipreteli soal untung rugi. Seketika kamu menjadi tertegun, mengiyakan. Syukur yang ulang-ulang kau ucap di tiap pergi dan kembali, menjadi gerutu berkepanjangan akibat komentar tak berperasaan. Taukah kamu kawan, bahwa jumlah gajimu selangit tak punya jaminan apapun dalam hidup.
‘bukankah setidaknya, aku tak perlu memusingkan diri tentang perlengkapan popok bayi yang mahal sekali jika gajiku tinggi?’
‘wan,’
Setelah berlalu tahun penuh wabah kesakitan, kematian, kehilangan, kemiskinan, dan kemelaratan. Tak cukupkah itu jadi pelajaran panjang soal rasa syukur yang harusnya tak terukur?
Betapa nikmat hidup yang tak mampu terbeli, nikmat sehat yang melegakan, hingga nikmat pekerjaan meski gaji dipotong berkurang.
Kita semua harusnya tau, ditegur Tuhan lewat pelajaran mahal. Tapi rasanya tiap kita memaknai tak sama. Bahkan beberapa kita kehilangan pemaknaan. Sibuk berkhotbah soal konspirasi hingga tuduh sana sini, dan merugikan itu ini. Belum lagi sikap pengucilan, tak terima, tuduh menuduh yang rasanya tak jadikan kita jera justru membabi buta jadinya.
Ah, jauh sekali ceritaku, kawan.
Tiap kita hempas menghempas. Saling bertukar pandang tentang hidup orang lain lantas sibuk membandingkan. Ah lebih baikku yang ini, tapi kenapa aku tak mampu itu.
Sibuk sekali, hingga hilang rasa bahagia diri. Kita lupa, bahagia tak pernah datang dari pendapat orang lain.
Itu kamu yang merasakan, jauh dari intervensi orang lain yang sok tau pemaknaan.
Kau tau kapan, barangkali kau lupa. Bahwa rezeki tak hanya tentang nominal angka gaji yang masuk ke rekeningmu tiap bulan.
Barangkali ada tubuh sehat, perjalanan jauh yang selamat, ramah dan baiknya teman sejawat. Aih, mahal sekali itu kawan.
2021 yang baru, berhentilah sibuk mencatat apa yang kamu tidak punya. Tapi mulailah dari mencatat apa yang kamu punya, hingga ungkap syukurmu tak ada habisnya.