Ini bukan sebuah negeri di atas awan bak Nirwana. Bukan pula sebuah negeri di dasar laut bagai Atlantis yang hilang bersama harta karunnya. Ini hanya sebuah tapak jalan yang akan lenyap ditelan waktu.
Hidup makin fana ketika banyak orang berlarian mengejar harta. Saling bersenggolan memperebutkan tahta. Hingga menindas yang tak tahu apa-apa. Bait dan syair sang pujangga yang kian tak berguna. Sastrawan mati ditelan demokrasi yang diada-ada. Tertutuplah telinga keledai-keledai dari harimau betina.
Yang baik tiada. Yang jahat pun tiada. Bumi sedang menyeleksi isinya. Menyeimbangkan kembali pendosa dan pe-pahala. Entah jika timbangannya rusak, hingga lebih banyak pendosa yang hidup di dunia ini.
Rangkaian kata hanya ilusi dari mata. Mata batin yang meronta karena ucapnya tak lagi didengar. Tangisnya dihiraukan. Rintihnya diabaikan.
Kelaparan merajalela. Menghardik orang yang berjualan kaki lima. Demi sesuap nasi rela bertaruh nyawa. Bantuan malah dikorupsi oleh orang yang duduk di kursi singgasana.
Fana sungguh fana. Yang nampak tak lagi nampak. Yang tak nampak ditampak-tampakkan.
***
Tahun demi tahun akan selalu berganti. Seperti 2020 yang akan berganti menjadi 2021. Habis sudah setahun ku. Tak terasa banyak gejolak di dalamnya yang habis ditelan moncong waktu.
Jika kita ingin merangkum jalan, maka tak ada salahnya bagi kita menoleh ke belakang. Siapa tahu ada pembelajaran. Menemukan titik-titik cahaya kunang-kunang dan menyusunnya menjadi mozaik perubahan.
Tahun 2020, kita disambut dengan berita kepercayaan diri negeri ini yang akan terhindar dari virus yang berasal dari sebuah negeri sosialis, ialah China. Dengan mantapnya mereka melantangkan suara, membusungkan dada pada negeri-negeri di luar sana, bahwa negeri ini adalah negeri yang sakti madraguna.
Bak Gatotkaca yang dikenal dengan julukan otot kawat tulang besi, negeri ini menantang virus yang sedang naik daun hingga kini, bernama corona. Ketika semua negara menutup segala pintu keluar masuk, khususnya untuk wisatawan asing, negeri ini malah membuka dengan selebar-lebarnya. Wonderful Indonesia!
Belum lagi yang sempat menggemparkan jagat media. Terdapatlah sebuah kota yang menyambut datangnya wisatawan asing dari negeri tempat makhluk kecil mematikan itu berasal. Kalau boleh saya gambarkan seperti, “Selamat datang, corona, di negeri yang tak akan mampu kau tembus tulang-tulang bahkan otak-otak manusianya.”
Yang di bawah pasrah. Yang di tengah was-was. Yang di atas bikin pentas.
Jika saja negeri ini tidak kemeroh waktu itu, mungkin tak sampai banyak nyawa harus meregang dengan begitu cepatnya. Mungkin diagram statistik corona tak akan mengalahkan puncak Gunung Himalaya lonjakannya.
Tapi, ya sudahlah. Busuk ketekuk, pinter keblinger. Orang bodoh ataupun yang pandai sekalipun suatu saat juga akan mengalami kondisi “salah”. Jadi, ojo keminter mundak keblinger. Jangan jadi sok pintar agar tidak salah arah tujuan, jalan, hingga kebijaksanaan mengambil keputusan.
Yang pasti itu terasa menyakiti hati kita semua, yang akan terukir di dalam benak, ketika orang-orang terkasih kita harus berpamit secara mendadak. Tahun yang diisi oleh rintih-tangis kaum yang sedang berkabung. Hingga tangisan orang yang harus rela berpisah dengan keluarganya, sambil tak tahu kapan tiba waktu baginya untuk kembali berjumpa.
Drama pengesahan undang-undang pun tak mau ketinggalan mengisi tahun 2020 ini. Ketika negeri sedang chaos dengan masalah kesehatan, mereka malah tergesa-gesa mengambil keputusan untuk hal yang katanya menguntungkan semua orang. Siapa yang akan merasa percaya dan tidak curiga setelah melihat track record yang telah negeri ini lakukan di masa sebelum-sebelumnya?
Dan yang tak ada habis-habisnya, yang selalu ada di setiap tahunnya, apalagi kalau bukan masalah korupsi. Yang saya tahu, mengambil kotak amal yang isinya kadang tak seberapa saja dosanya luar biasa. Apalagi ini, yang mengambil hak dari mereka yang membutuhkan. Memangkas jatah mereka yang kelaparan. Belum lagi kondisi yang serba sulit melilit seperti sekarang ini. Tak terbayang bagaimana beliau di hadapan Tuhan nantinya.
Atau jangan-jangan beliau juga bersama antek-anteknya. Mungkin saja pemerintah sudah siapkan sekotak roti. Lalu, turun ke bawah menjadi tiga perempat roti. Turun lagi menjadi setengah roti. Dan yang kita terima hanya seperempat roti. Mungkin saja. Siapa yang tahu kebenarannya? Bukankah negeri ini terlampau transparan sampai tak terlihat apa-apa?
Tertutuplah tahun ini dengan kepasrahan. Pusparagam doa dari beragam agama, semoga menjadi jalan bagi kita untuk menyampaikan bahasa cinta, memohon pertolongan dari yang Maha Kuasa. Mematikan ego kita untuk menghidupkan Tuhan kembali. Sudah terlampau kurang ajar bagi kita menTuhan-Tuhan-kan diri.
Dan meski vaksin kabarnya sudah ada, tak lantas membuat kita bebas berpesta ria. Sebab hidup dan mati adalah milik-Nya. Bukan vaksin yang dibuat oleh manusia.
Terbukanlah mimpi-mimpi baru. Terbangunlah harapan baru. Terwujudlah doa dan niat baik. Terjernihkanlah hati yang keruh oleh kefanaan duniawi yang kian kelabu. Maka kuucapkan untukmu, Selamat Tahun Baru.[]