“Apa kabar?”
“Sehat kan?”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Apa kau masih ingat denganku?”
Bernada sekali kalimat itu, intonasinya tepat saat saya mengucapkannya di hadapanmu, ya begitulah saya berlatih selama beberapa tahun terakhir, mengucapkan kalimat itu dengan tanpa menangis, pertanyaan itu pula yang selama ini saya tanyakan dan saya jawab sendiri dengan do’a, mewakili jawabanmu yang saya tau itu tidak akan pernah ada.
Saya memberanikan diri untuk mengunjungimu, dengan mendatangi tempatmu bersama kawanku. Hari itu saya memutuskan untuk berhenti membohongi diri, dan menyerah untuk pura-pura baik-baik saja setelah kau pergi.
Akhirnya saya temukan diri saya yang sebenarnya, bukan lagi dengan persoalan hadirmu yang seringkali hanya terselip pada kalimat dalam tulisan saya, juga bukan dengan teriakan rindu tanpa suara disudut bibir saya, melainkan dengan kalimat tanya pada setiap pasang mata yang berkedip di sana, “bisakah rindu ini menemui ujungnya? Tolong tunjukkan keberadaannya!”
Kau di mana? Seandainya kau tau bahwa saya berhasil mengalahkan ego dan rasa kecewa, selangkah lagi semesta mengizinkan kita berjumpa, mungkin saya tidak akan terlalu lama berada pada alam bawah sadar tempat saya menyandarkan kerinduan, tapi ternyata kau masih saja gagal untuk berdamai dengan luka. Apakah memang seharusnya saya belajar bagaimana caranya untuk berhenti merindukanmu?
Ketika langkah saya memijak bumi pada belahan itu, dengan berbahan bakar rindu saya menuju tempatmu, lebih tepatnya adalah rumah kita, tapi itu dulu. Mungkin terlalu besar jika saya menaruh harapan bisa menatap mu ketika itu, melihat dan memastikan kau masih bernafas di sana, tapi saya memilih untuk mengubur imajinasi itu.
Saya dibalut oleh pekatnya rasa khawatir, seandainya kecewa justru merobek dinding kerinduan yang selama ini saya sembunyikan, hingga saya putuskan hanya menaruh harapan pada sehelai kalimat pengukuhan, mencari pembenaran bahwa dulu rumah kita pernah bertengger di sana, sempat berdiri dengan tegak hingga sendi-sendi keraguan dan keegoisan itu mengikisnya.
Mata saya menatap kehidupan di sekitar tempat itu, mendapati mereka yang berbaju lusuh dan berwajah pilu, mereka yang duduk bersantai dengan raut sendu, mereka yang berkeliling tanpa tujuan, juga mereka yang berjajaran sembari menengadahkan tangan, terbesit pertanyaan pedih yang begitu sakit, bagaimana jika kau ada di antara mereka?
Bisakah saya mengenalimu? Atau mungkinkah kau yang lebih dulu menyapa saya? Andai saja! Tapi bukankah saya datang kesana tidak mengajak ekspektasi besar yaitu dengan menemukanmu, tapi jika boleh jujur, rindu ini masih mencari dan menginginkan hadirmu.
Entahlah, mungkin saya telah gagal memahami diri, saya kesulitan memisahkan perasaan dan pikiran, realita mengajari saya cara membencimu, tapi hati menuntut saya untuk tetap merindukanmu meski dengan segudang luka itu.
Wahai manusia jahat yang ingin sekali saya peluk erat, manusia pengecut yang ingin saya genggam tangannya dengan rapat, manusia tidak punya hati yang selalu saya nanti, sesulit apapun saya berusaha melupakanmu, percayalah saya tidak pernah berhenti menanyakanmu dalam setiap kalimat pinta. Berharap dimana pun kamu, lapisan do’a saya cukup luas untuk menjangkau keberadaanmu, bahkan hanya untuk sekedar memastikan bahwa kau selalu baik-baik saja tanpa saya.
Dengan memilih jalan berbeda, mungkin kau sudah memiliki bahagia yang selama ini kau cari, yang tak kau temukan di rumah ini. Bila dengan saling melupakan dapat meminimalisir kecewa, maka biarkan saya tetap menyimpanmu dalam tumpukan cerita, entah itu tentang haru biru, duka lara maupun tangis bahagia. Bila dengan saling membenci bisa mengobati luka, maka biarlah saya berjabat tangan dan bersahabat dengan luka itu, agar tidak ada lagi alasan untuk saya membencimu.
Kau hanya perlu menyisakan sedikit saja tentangku disudut rindumu! Dengan begitu hati kecilmu akan menunjukkan jalannya, membawa kita pada jumpa yang nyata, menyelesaikan kisah ini tanpa menyisakan tanya.
Untukmu pemilik rindu, selamat hari Ayah pada 12 November 2021 lalu,
“jika benar kau adalah cinta pertama di hidup orang lain, lantas kenapa kau juga jadi patah hati pertama di hidup saya?”