Di hari yang sunyi, ada baiknya kita buka sesi per-sambatan yang sudah lama menyelinap dalam batin ini. Rasanya media terbaik untuk melampiaskan kekesalan adalah melalui tulisan. Iya, tulisan.
Hari ini masih sama. Tidak jauh berbeda dengan waktu-waktu yang lalu. Angin enggan berbisik pada ranting, daun juga tengah terlelap karena lelah seharian berfotosintesis—mungkin. Begitupun saya, yang turut merasakan kepiluan atas segala yang terjadi.
Pengembaraan—begitulah saya menyebutnya untuk mengamati keadaan sekitar—ini saya awali dengan penemuan fenomena baru beberapa waktu belakangan. Lebih tepatnya mungkin beberapa bulan pasca Indonesia dinyatakan terpapar virus mematikan berinisial C: virus Corona. Namun pengamatan itu terus berlangsung hingga sekarang.
Jika dulu saat saya berangkat kuliah dan sering melihat fenomena “Macan Ternak” atau singkatan dari “mama-mama cantik nganter anak” pada setiap pagi. Mayoritas mama cantik nan muda ini berpenampilan stylish mengantarkan anaknya menuju tempat mencari ilmu. Tidak sedikit pula mereka menggenggam ponsel di tangannya lalu berswafoto ria dengan kepiawaian berpose. Sungguh fenomena yang nyata di hadapan saya.
Tidak cukup di situ. Beberapa dari circle Macan Ternak itu rupanya juga eksis di dunia maya. Setelah anaknya masuk ruang kelas untuk belajar, mama cantik ini kemudian menggencarkan aksinya. Dengan memposting beberapa foto di media sosial dengan caption ala-ala artis Korea.
Begini kira-kira. “Hallo gaes, lagi nemenin si cantik belajar sambil ngonline nih”. Ada juga, “Ayahnya kerja, bundanya nemenin buah hati belajar dong,”. Parahnya, ada beberapa postingan mama cantik itu yang nangkring di beranda FB saya. Dan tidak sedikit menuai perhatian publik untuk sekadar nimbrung di kolom komentar. Haih, welcome to Indonesia!
Penampakan semacam itu mungkin telah menjamur di sekitar kita. Karena memang kebanyakan seorang ibulah yang mengantarkan anaknya pergi ke sekolah, terutama dalam hal ini sekolah TK atau Playgroup. Hal itu memang wajar apalagi seorang ibu pasti akan menunggu anaknya saat proses belajar hingga selesai. Saya rasa hal ini pasti terjadi di setiap lembaga pendidikan Taman Kanak-kanak.
Namun seiring perjalanan waktu, apalagi sejak negara kita kedatangan tamu tak diundang berupa Corona, fenomena Macan Ternak tak lagi saya jumpai. Terlebih saat diberlakukan lockdown di mana-mana, sekolah diliburkan. Hal ini yang kemudian memicu kebingungan mama cantik itu harus bertindak bagaimana.
Sering saya mendapati sambatan dari tetangga saya—yang mungkin dulu tergabung dalam rumpun Macan Ternak itu—yang berbunyi begini:
“Biyuh biyuh, sekolah kok diliburkan to Mbak, nanti bagaimana nasib belajarnya anak saya? Wong saya juga tidak paham pelajarannya lho…. Anak saya juga susah diajak belajar kalau di rumah.”
Tentu masih ada beberapa mama cantik yang mengadukan hal yang sama, lagi-lagi sosok ibu tidak siap mendidik anaknya dalam urusan belajar. Kurang lebih itu problematikanya.
“Seorang perempuan adalah madrasah pertama bagi anaknya kelak.”
Jika satu statement ini dibedah dan dianalisa, mungkin akan related dengan apa yang saat ini terjadi. Disadari ataukah tidak, seorang ibu sedikit banyak memang harus paham ilmu pendidikan. Untuk apa? Untuk buah hatinya. Iya, buah hatinya kelak–buat yang tidak berniat menikah, ya, minimal untuk bekal momong ponakan.
Menjadi perempuan yang berpendidikan tinggi tentu tidak sia-sia, kan? Setidaknya jika tidak bisa duduk di kursi terhormat, masih bisa mendidik anaknya dengan cermat. Maka dalam hal ini seorang perempuan harus berusaha agar menjadi sosok yang sholihah dalam berintelektual.
Lalu bagaimana jika seorang perempuan terbatas pendidikannya? Mungkin hanya tamat SMP, atau SMA?
Inilah yang saya sebut sebagai sebuah rukhshoh (keringanan). Hehe. Tak apa bagi sebagian perempuan yang mungkin tidak mampu melanjutkan pendidikan tinggi, masih ada pembelajaran dari semua sisi kehidupan. Semisal mendidik anaknya dengan karakter yang bagus dan lain sebagainya. Dalam hal ini seorang perempuan harus berusaha agar menjadi sosok yang sholihah dalam bersosial.
Dengan begitu tidak ada batasan kan untuk seorang perempuan agar bisa mendidik anaknya?
Saya berasumsi bahwa menjadi perempuan memang harus terus belajar. Belajar tidak harus dilakukan di bangku pendidikan saja, namun jika masih mampu untuk menempuh itu, kenapa tidak? Bagi saya perempuan berilmu itu memiliki satu keistimewaan tersendiri. Tidak penting berapa banyak gelar atau ijazah yang telah didapatkannya. Namun seberapa besar pengaruhnya untuk sekitar, terutama keluarga. Karena kelak, dialah yang akan mengajari anaknya agar menjadi generasi yang lebih baik.
Dan bagi mama cantik yang sedang menghadapi kesulitan mengajari anaknya, jangan menyerah. Sebab kita tidak tahu akan sampai kapan ujian ini berlangsung, hingga belum bisa dipastikan kapan sekolah akan kembali dibuka. Saran dari saya, yang barangkali akan terdengar klise, teruslah belajar dari segala sendi kehidupan.
Sedangkan untuk kita yang sedang mempersiapkan diri menjadi mama, jadilah Macan Ternak juga namun dengan versi “mama cantik pinter idola anak” (hehehe). Semangat belajar dan terus memperbaiki diri, ya.[]