Luh, serupa-rupa kematian sama saja antara iraga yang kehilangan raga meski
atma kita berkeliaran sebelum diarak dengan prosesi membawa beya atau
ngabu dalam struktur adat yang kau bayang menyakitkan
leluhurmu yang terlebih dahulu dibara bersama lembu.
Akan iraga gendingkan Luh, dua pertiga pupuh
yang kerap kau senandung dalam banten pagi
petang dihidang. Takut-takut baktimu tak cukup, kamu bertutur
khawatir tak ada yang menerimamu pun saat Mokshatam Atmanam.
Luh, Lontar Sarwa Bebantenan yang terekam
di dada kananmu tertulis sloka: Banten
Pinaka Anda Buana.
Sang Hyang bersuka memandang Luh ngae banten dengan suka,
mengaturnya rupa-rupa serupa saint-pierre rôti dari 25 rue Mazarine,
75006 dengan kembang warna-warni yang kau tata sekena suasana.
Mari kuajak kau menikmati debur pantai yang didatangi Mads
Johansen Lange di pertengahan 1830. Luh kau bebas
tertawa dengan semilir tak nyinyir dari lambai nyiur.
Kau tak perlu menahan kikik, seperti kau memapar peluh Puspanjali
bersama Mbok Nyoman di sore Sabtu. Kamu terkekeh, bertanya apakah
atma setelah pergimu menuju swah loka dan mencapai moksa?
Dari isi kepala, ku mengerti Luh merdeka
bagimu serupa kembali Bima untuk melawan Kurawa dari Dewa Ruci yang
menyesap nyaman di relung dadanya. Bahwa perjalanan adalah kembalinya diri
dalam berjuang menyelesaikan.
Luh, jegeg tidak hanya rupawan dalam
visual maya yang diserupai filter warna-warni yang membuat memesona
dengan jumlah love beratus ribu. Ia serupa membijaksanai bumi
singgah, menatanya dengan hijau-hijau daun yang
kau tanam untuk makan dan sembah.
Aku kembali tak memahami Luh sejauh mana karma menggerogoti
serupa cicing yang menjilat di pucuk ruang melahap seperak-dua
perak dari kantong lusuh kusut lapar busung kita yang pasrah? Kita sudah
mati Luh,dua tahun dari juta-juta tamu yang mengisi perut-perut tak
kembali. Kita serupa menari di neraka yang membakar malu- malu kita
meminta-minta belas dari beras yang dipotong jatah?
Luh jika ia serupamu seuprit saja. Memandang bahwa hidup hirup haha
hihi yang dijalankan. Serupa titian yang membawanya jatuh ke tepian jurang. Manu
dalam Sansekerta yang harusnya cerminan, dilahap jadinya menguliti ia menjadi Panca
Klesa. Lupa diri, asmita dipeluknya dalam dunia, avidya, raga merasuknya.
Raga iluh, memeluk mati tak pernah memilih nyen kembali maluan, dan
menikmati dharma dari bakti. Kembalilah jumawa, memeluk kehilangan menuju moksa
sambil berbekal gamelan dan riuh
Tout Oublier dan Enfance 80. Engkau niskala Luh,
dalam sekala yang dipeluk nir dari amerta.
Isi Koper
Kamu harus dilipat rapat-rapat, dalam koper hijau sage yang dibeli
sesaat sebelum kepergianku menuju tempat jauh yang belum kutau berakhir kemana.
Kamu adalah yang dipakai dalam banyak agenda rapat-rapat,
hujan berat-berat, atau di kerumunan padat-padat untuk ootd
keseharian yang harus kupamerkan harian di berandaku, agar disukai
banyak pasang mata yang tak berhenti scrolling.
Kamu akan kubawa kemana saja aku ada, meski saat ini aku harus pergi jauh
sekali, berjam-jam melintas di atas udara dengan awan putih ceria atau
butek hitam karena cuaca.
Kamu adalah isi koper yang kukenakan eh kubawa-bawa dalam koper hijau
sage yang kini hancur puing karena dibanting petugas bagasi di simpang tujuan kita pergi
Buku
Aku tidak pandai mengeja baca asing di buku yang kau tulis
dengan perasaan kesal setelah kemarin malam merajuk soal aku
yang terlambat membalas chat.
Bukumu jadi kode-kode rumit yang tak mampu kupecahkan dengan kejap
mata usai dibaca, karena kamu akan bertambah merajuk kalau kubalas sekena.
Biasanya dalam bahagia, kamu akan menulis pesan dengan apa adanya tanpa
prasangka, menyebut dengan ceria mau apa, makan dimana, bahkan apa yang
akan kita lakukan dalam masa depan yang kau rangkai bersamaku semaunya. Aku terima.
Tentu saja semua jadi tak biasa dalam marah yang kau muntahkan dan lebih-lebih saat aku tak paham.
Bagiku kamu adalah buku, yang tak pernah selesai kubaca meski usia kita menua.