Di pematang jalan dalam kolong kompra Bassura
Optis mungut awang kecil berlarian menuju si merah Menenteng kangsa berisi receh lima ratus perakan
Berkecaman mendapatkan gulali merah jambu Klakson corong bersiul memadat
Suara enervate melanjurkan harmoni gagap gempita
Deli denai menyeruak tampang juita
Konstruksi semampai tanpa hembusan hijau pokok kayu
Metropolis yang berkecamuk dengan peluh praktisi magasin ranum
Visibel di pelupuk mata cemarnya pelindung tua
Miris,
Hanya neon 14 watt yang menghiasi bangku taman satu tersisa
Memperjelas ikon pura patung dirgantara
Dan stasiun dengan 580 gerbong bolak balik setiap harinya
Awut-awutan memang
Buruh kerah biru resah menanti sampai kapan sabtu akan usai
Dan
Buruh kerah putih menikmati ac disandingkan meja rapi dengan laptop berisi dokumen negeri
Pantaskah perbedaan itu terjadi di praja se prestisius ini? patetis ketika tertumbuk pandangan diri.
Linear bersekat di jalanan penuh kuda-kuda besi tiada spasi tak tertampakan lagi
Trotoar pejalan kaki salah fungsi,
Gerobak ketoprak, cilok, dan jajaran sandang serba lima belas ribuan menempatinya.
Garis putih yang berjejer di simpang susun semanggi
beralih guna begitu saja
“kota yang tidak pernah tidur” kutipnya
Mau Temu
Cerita ku bertandang saat redup berselimut awan
Riuh dalam jiwa
Menderu bicara akar yang bercagak
Pokok kayu berkelebat
Terkesan ku tumpukan segala muatan
Apa kau sempat?
Berakal mendapat ruang disela giatmu Malam yang digadang elok kala beriringan Nyatanya senyap begitu saja
Sekejap perihal rasa yang sangat sederhana
Menyihir gemuruh nada
Bersua, saja
Tuan bhamakerti