Agaknya ada semacam dorongan dalam diri saya untuk merasa perlu mengatakan bahwa saya kenal Pak Soesilo Toer jauh sebelum diundang oleh Deddy Corbuzier—yang lantas viral itu. Barangkali ini semacam kebutuhan eksistensial terkait rasa bangga yang bersarang di batin pemuda mentah macam saya.
Namun yang saya maksud dengan “kenal beliau” adalah, tentu saja, lewat relasi ‘platonis’. Belum bertemu langsung di masa silam, melainkan dengan wasilah buku-buku yang ditulisnya, terutama menyangkut Pram—Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer. Dari situlah pertama kali saya tahu bahwa adik sastrawan besar itu ternyata masih hidup.
Hanya saja, bukan buku itu yang akan saya ulas, tapi lebih fokus ke sosok Pak Soesilo Toer itu sendiri. Mbah-mbah yang menolak dipanggil “Mbah” ini lahir 17 Februari 1937, bukti telah melewati beberapa perang besar dan menjadi saksi hidup sejarah bangsa Indonesia. Ada yang nyentrik dari Pak Soes dan mungkin sudah familiar di telinga netizen, yaitu aforisme beliau yang begitu dibanggakannya: “Kenalilah diriku, memulung adalah kenikmatan abadi”.
Padahal jelas-jelas Pak Soesilo Toer itu seorang Doktor jebolan Institut Perekonomian Rakyat Plekanov (sekarang: Plekanov Russian University of Economics) di Rusia, namun kini malah sibuk jadi rektor—ngorek-orek nggon kotor—sebagaimana klaimnya sendiri. Fakta ini tentunya tidak terlepas dari relasi kuasa yang berperan krusial di masa hidupnya dan seluruh keluarga besar Toer yang lain. Sering kali di sejumlah forum beliau mengemukakan kisah, kesaksian, dan pelajaran dari pengalaman hidupnya.
Menyangkut hal ini, Pak Soesilo Toer yang sering berkisah terkait sejarah Indonesia yang jarang diketahui umum, beliau menyebut sendiri bahwa dirinya adalah Homo Alalu*: manusia yang dibisukan. Manusia yang dibungkam. Tapi beliau menikmati saja dan tidak banyak menuntut pada kehidupan.
Terpendar dari kalimat sitiran quotes ala Sokrates yang didapuknya menjadi sikap hidup. Bahwa setertekan apapun hidup, Pak Soes lebih memilih untuk menikmatinya. Dalam sebuah diskusi di Perpustakaan Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) di Blora, beliau yang kini sudah berusia 83 tahun mewejang ke anak-anak muda, “Segala siksaan, hinaan, itu gabunglah jadi kenikmatan hidup.” Misalnya, ada makanan tidak enak, kalau orang lain menolak, saya malah tetap menikmatinya, pungkasnya waktu itu.
Sebagai mantan tapol (baca: tahanan politik) yang tanpa proses sidang dan prosedur hukum yang jelas, adalah hal yang fantastis bahwa puluhan buku telah rampung beliau tulis dan terbitkan. Apalagi di usia delapan puluhan awal, masih sempat saja menulis buku baru Dari Blora ke Rusia (2018). Menurut kecurigaan saya, buku itu adalah calon buku berjudul Lelananging Jagad yang pernah disebutkannya di acara TV bareng Deddy. Namun agaknya karena keperluan promosi dan pemasaran, judul itu diganti.
Saya takjub sebagai pembaca—yang juga merangkap kesadaran sebagai penulis—ketika menjamahi halaman demi halaman buku itu. Kisah-kisah pengalaman hidup Pak Soes mulai dari di Bogor sampai di Rusia sangat kebak petualangan asyik. Dibumbui dengan Bahasa Sunda, Rusia, dan bahasa lain menjadikan saya seperti menziarahi kenangan mbah-mbah yang cool pada masanya ini. Soal gadis, baik lokal Sunda sampai mancanegara Rusia dan Jerman sana, diceritakannya dengan ciamik bahkan mengundang desir tubuh. Kepiawaiannya menulis belum rontok termakan usia.
Dulu saya ingin sekali bertemu langsung dengan beliau, sowan ke Pataba di Blora sembari menginap kalau bisa—untuk menggali langsung. Namun belum keturutan sampai sekarang. Tapi Gusti Allah ternyata menggantinya secara misterius. Kebetulan tahun lalu ada bazar buku di UGM dan saya ke sana. Tak dinyana, Pak Soes ada di jajaran lapak buku, sedang melihat-lihat, dikerumuni dua-tiga orang (tidak banyak) dan tak merasa canggung sama sekali.
Maka saya sempatkan untuk salim dan menyapa. Benar, beliau tidak mau dipanggil Mbah, tapi “Bro” saja. Karena sungkan, tentu saya tak menurut, jadi saya kasih jalan ketiga: saya pangggil “Pak Soes”. Saya tanya bagaimana beliau ke sini, dan setelah menjawabnya, beliau balik menanyakan asal saya. Kemudian usai saya meminta tanda tangan dan mengutarakan niat untuk suatu waktu ingin ke Pataba, beliau sambil menepuk punggung saya berujar, “Iya, silakan. Nginep juga tidak apa-apa. Kami kasih minum gratis.”
Ramah sekali beliau ini. Dan yang ajaib adalah beliau dari Blora ke Yogyakarta waktu itu bersama puteranya Benee Santoso—kalau tidak salah dengan naik motor. Edan. Saat menuliskan ini, saya pun jadi teringat ceritanya ketika diajak diskusi oleh sekelompok pemuda di Pataba. Di kumpulan itu Pak Soes, Doktor penulis disertasi yang kemudian diterjemahkan menjadi Republik Jalan Ketiga yang berisi tawaran kearifan lokal ini, bergurau tentang BJ. Habiebie. Bahwa Habibie, menurutnya, masih lebih pendek ketimbang beliau.
Lantas sambil tertawa, beliau meneruskan: “Habibie itu bukan ilmuwan. Orang biasa saja.” Seketika forum beku. Pak Soes melanjutkan cerita versinya tentang Pabrik Pesawat dan kekayaan aset Presiden RI ke-3 kita itu. Kemudian membagikan pesan ke anak-anak muda di depannya, bahwa ilmuwan itu harusnya menyebarkan ilmunya kepada murid, bukan mencari kekayaan. Ilmuwan harusnya bersikap Brahmana.
Cerita setelah itu merembet ke kasus penerima Habibi Award yang seorang professor, namun belakangan setelahnya diketahui karyanya ternyata jiplakan alias plagiat. Pak Soes mengisahkan bahwa Ajib Rosidi, sastrawan senior asal Majalengka, sontak memberikan kembali hadiah yang diterimanya dari Habibie Center. Kata Pak Soes, alm. Ajib Rosidi waktu itu kecewa dan tidak mau menerima penghargaan yang begitu.
Usai ke sana kemari menceritakan banyak hal, Pak Soes kerap menyelingi akhir penuturannya dengan humor atau istilah yang aneh. Misal, beliau mengaku punya simpanan bernama Ibuk Sulami. Katanya, “Simpanan atau selingkuhan saya-lah yang membuat saya cerdas.” Kemudian berseloroh ke anak muda: selingkuhlah, carilah pacar, biar cerdas. Ibuk Sulami itu yang membuat Pak Soes produktif walau sudah tua. Ibuk Sulami, tuturnya, adalah singkatan dari “Ilmu dari buku, Surat, majalah, dan media informasi”. Seketika audiens tertawa dan bernafas lega. Heuheu. Ternyata cuma guyon.
“Kalian ini kotor pikirannya. Wong saya cuma main-main kok.” Goda Pak Soes kala itu. Beliau memungkasi bahwa meskipun dirinya dibungkam, dibisukan, tapi kini dirinya lebih memilih untuk menikmati semuanya dan bermain-main saja. “Saya sekarang homo ludens.” Manusia yang main-main.
Meskipun main-main, bagi saya beliau tetap sosok yang menginspirasi. Karena walaupun doktor, tapi mau dan bahagia jadi pemulung. Itu adalah sikap kepahlawanan. Bahkan sekaligus penyelamat dunia. Betapa tidak, 3-R (reuse, reduce, recycle) telah juga diperankan para pemulung untuk menjaga lingkungan–yang belum tentu banyak orang sudi melakukannya.
Bahkan Pak Soes menambahi 3-R itu dengan 1-R lagi: relocation. Memindahkan, ujarnya sambil bercanda. Walaupun terkesan sederhana, namun ini tentu berdampak penting bagi lingkungan dan investasi masa depan. Salam dan doa saya untuk njenengan, Pak Soes.[]
Catatan dan Rekomendasi:
Jika ingin mendapat cerita alternatif dan diskusi selengkapnya bersama Pak Soes, bisa disimak dalam Youtube di channel Nur Sayyid Santoso Kristeva.
Sumber kata homo alalu, setelah ditelusuri, sulit menemukan padanannya selain mitologi Hurrian. Namun ada kesamaan istilah lain yaitu “alalia”, yang dalam istilah Linguistik bermakna: “ketidakmampuan untuk berbicara karena kelainan atau kerusakan pada alat ucap luar, bukan pada pusat saraf”. Ringkasnya, sama saja: dibungkam.
Comments 1