Puisi Maret, Masihkah Kau ingat Namaku?
Maret, masihkah kau ingat namaku?
Secangkir kopi hangat dibiarkan dingin
dan belum atau tak mau dihabiskan.
Aku terjun dan berenang ke kedalaman cangkir
yang masih berisi sisa-sisa kenangan.
Aku masih mendengar tawa lucumu.
Di kepalaku, yang sepagi suntuk ambruk
bersama cangkir yang tak sengaja remuk
dipukuli rindu, sudah tak mengenal lagi
tawa nakal dan curhatan-curhatan tidak
penting dari bibirmu yang kemayu itu.
Maret, masihkah kau ingat namaku?
Biasanya pertanyaan-pertanyaan yang selalu
diulang-ulang sudah dielu-elukan lewat jendela
rumah empat inci, dan aku terbang bersama
sekawanan burung puisi dengan bebas kemudian
tangkring di sebatang hidungmu untuk
mengucapkan “selamat pagi” di telingamu dan
mengecupkan “aku cinta kamu” di keningmu.
Setelah itu, seekor puisi dan puisi yang lain
bersahut-sahutan mengicaukan percakapan-percakapan
manja di antara kita berdua.
Namun, bolak-balik kubuka gawai, sudah
tak ada yang sungguh penting untuk ditunggu.
Seekor puisi sudah pulang ke sarangnya.
Sajak-sajak sudah lama terjebak di got,
tersendat oleh tumpukan sampah-sampah aduh.
Segala kata yang mati sudah kumakamkan di kuburan
bersama kenangan-kenangan yang saban hari kuziarahi.
Perihal batu nisan yang bertuliskan namaku, itu hanya
untuk menipu kesepian yang setiap waktu mengejek
dan memukuliku hingga biru tak berwujud aku.
Perlu kauketahui, handphone-ku sudah berubah
menjadi pemakaman yang sepi dan menakutkan.
Maret, masihkah kau ingat namaku?
Aku sedang khawatir memikirkan sungai
air matamu yang dulu bermuara di samudra
dadaku yang lapang dan benderang—
sekarang kaulandas-tandaskan ke mana setelah
tubuh dan namaku kauusir dari negerimu.
Rambutmu yang ungu sekarang pasti bau,
jarang mandi, jarang diminyaki, jarang dielus-elus
oleh tangan-tangan doaku yang biasanya langsung
kaususul dengan amin yang sudah tidak
perlu dikatakan lagi. Karena kata hanyalah kata,
tak kuasa mengabulkan apalagi menabahkan
layaknya senyummu yang ayu dan uwuwuwu.
Maret, masihkah kau ingat namaku?
Aku (yang dulu) selalu malu melihat bening dan luasnya
samudra matamu, tapi berani-beraninya aku tetap masuk,
walau tenggelam, lalu engkau melemparkan pelampung,
kemudian aku selamat. Engkau tersenyum dan masih saja
menutupi bibirmu yang merdu dan lucu.
Masihkah kau ingat malam itu?
Tiba-tiba engkau menghambur-hamburkan nada-nada
yang sedang dinyanyikan; memecah kata demi kata
yang sudah lama sekali kususun menjadi sekotak
kolam cinta, yang suatu hari nanti kita akan berenang
berdua layaknya ikan yang sedang dibaptis kesedihannya;
memukul harap demi harap; memorak-porandakan rambutku
yang selama ini kusisir rapi dengan tangan halusmu sendiri.
Masih ingatkah, Engkau? Pada malam itu kau memutuskan
untuk membuang namaku dari surga yang sudah lama kita cipta.
Layaknya Adam dan Eva, aku mengharap sebuah jumpa.
Maret, masihkah kau ingat namaku?
Entah sebuah nama pada kali pertama kau mengenalku,
atau pada saat kauputuskan untuk melupakanku.
Al-Ikhsan, Maret 2020
Puisi Seorang Perempuan Yang Terbiasa Dengan Lukanya
Hujan telah datang.
seorang perempuan keluar
dan bersatu dengan hujan,
entah jeritnya atau pun derasnya.
Tak ada yang lebih tau tentang
apa yang sedang terjadi terhadap
luka yang dibiarkannya terkena
air hujan atau pun air mata dan
tak bisa kering dan mengelupas.
Seekor waktu datang memburunya—
entah akan menyembuhkan
atau hanya menyembunyikan.
Al-Ikhsan, November 2020
Puisi Murung 1
Apa yang ia lihat saat pagi mulai menyapa,
di waktu matahari menggeliatkan badan
dari sarangnya lewat retakan-retakan dinding
yang sudah tua menuju bumi yang rindu akan
nyawa, dan saat embun lama-lama kering
juga tak lagi menggigil tertiup angin.
Apa yang ia lihat: sorot mata yang lindap,
sesuatu yang merangkak di dalam selimut yang
pengap, atau wajah langit yang dengan telaten
menjadi pagi, menjadi sore, menjadi malam
demi tubuh-tubuh yang harus selalu tepat waktu,
meski jiwanya selalu menolak dan menggerutu:
”Tak ada yang benar-benar tepat waktu.”
“Seperti kesedihan, misalnya?” tanya waktu.
Al-Ikhsan, Agustus 2020
Puisi Murung 2
Rerumputan basah oleh embun,
batu-batu diam mencipta keheningan,
dan burung-burung mencoba
menyanyikan lagu kesedihan yang disadur
dari puisi-puisi yang masih belum
sempat dituliskan sampai sekarang.
Ada yang sedang duduk bercangkung
sambil menatap tanah dengan tatapan
entah. Tuhan menafsir punggungnya yang
melengkung dan kepalanya yang hilang
: sebuah tanda bahwa ada yang basah,
entah pipi atau hatinya yang sudah kalah.
Al-Ikhsan, November 2020
Puisi Tidak Ada Kamu
Seperti langit yang kehilangan matahari.
Wajahmu datang dengan begitu hitam
dan lengang. Tak ada fajar yang mampu
menerjemahkan bahasa bulan.
Bila aku terbangun karena dijilati sinar
matahari, tak mungkin wajahmu ada
kecuali hanya di dalam mimpi
: ruangan yang hanya diisi oleh dengkuran waktu
yang tak habis-habisnya mengacaukanku.
Al Ikhsan, Januari 2021