Kulantunkan sebuah sajak
sepasang belalang terkejut
jejaknya tersapu matahari
Petani dan peladang duduk termenung
menanti musim tak pasti
angin tak pernah diam
terus beranjak merepih musim
hingga wajah-wajah kita kian murung
sebagian negeri seakan hilang
Kata-kataku mungkin terlalu letih
sepenggal doaku pun terlalu hina
haruskahkubiarkandandiam
hitam pekat tintaku
tak terbaca ruang malam
ingin kuukir sedikit agar menjadi hidup
Kubiarkan sunyi menyelinap
mungkin itu bisa membuatku tersenyum
ada resah, padang ilalang kian subur
lalu-lalang angin tak terhiraukan
kadang bercengkerama bersama hujan
atau mungkin burung pipit itu
telah membakar mimpi petani dan peladang
hingga sajakku seperti kicauan burung
tapi, aku ingin terus bernyanyi
Malang – 2021
Bagai Burung Camar
Suaramu begitu lembut, begitu syahdu, tanpa wujud
Bagiku, lisan yang begitu bersih, penuh sabda-sabda cinta
Sejenak aku bertanya, apakah engkau Tuhan,
lidahku tak pernah sempurna
mungkin karena kelancangan nalarku yang begitu dangkal
Kadang, langit itu aku rasakan begitu dekat, sementara mataku terlalu kasat
untuk menghitungnya
adalah burung camar meliuk memecah angkasa, melukis garis putih
seakan menunjukkan jalan menuju ke surga
Hingga kadang hatiku begitu iri
melihat burung-burung camar itu
mengibaskan sayapnya di kaki langit
Tetapi engkau berkata bagaikan suara angin
yang tak pernah kutangkap maknanya
selain kutuangkan maknanya lewat puisiku
dengan aksara-aksara pelepas dahaga
2021