Di pulau garam; tanah merah hutan-hutan menguning
Reranting kering. kakiku terus mengukir jejak pada tanah
Menyibak alir anyir sungai; bertemu bebatuan sibuk
Menggali tanah untuk bertapa
Batu-batu besar itu masih belum terusik dan digusur
Bersaf layaknya makmum. Burung-burung mengepak
Hinggap membawa kabar bahwa ia akan tetap baik-baik
Saja jika di tanah Madura
Aku bersimpuh di samping sungai yang kehilangan tepi
Memandang bebatuan khusyuk sembahyang. Tiada takbir berkobar
Seperti pijar bara di tubuh tungku menjilat malam
Tiada gema dan sayup-sayup suara zikir yang berteriak
Seperti di kota kita-kita. Sunyi, sepi, dan senyap barangkali
Tempat Tuhan menebar senyumnya
Bersama batu, angin dan daun asyik bercinta; menembang
Dengan seruling tubuhnya. Dan menghirup wangi anyir air
Aku berdoa, semoga mereka tidak kehabisan zikirnya. Amin!
Madura, 2019
Perihal Si Anak
Perempuan itu selalu membiarkan anaknya;
Telanjang, memungut cuilan roti atau meniduri dada ibunya
Anak itu biasa bermain sendiri bersama rumput; menari dan bersiul
Mendengarkan bisik-bisik angin kepada bambu atau memanjat pohon coklat
Anak itu belum tahu luasnya langit tak tahu seiris gerimis menggagalkan doa
Bahkan, ia belum tahu ricik alir air menuju hilir
Menuju muara tempat berkumpulnya segala rindu
Sebab sebagai ibu aku telah gagal merajut sepasang sayap yang kupasang di punggung anakku.
Kata si perempuan itu.
Sombo, 2019.
Sejarah
Untuk Ibu Sri
Pusat malam, kukunjungi geladak kayu di balik singkap rumah
Telinga telah kucuci dan diperam air mata; suci terjaga dari liku yang berkulik
Sebagian kepala telah kukosongkan demi menaruh sejarah yang usang
Dihadapan api, aku dan beliau selalu menjaga kayu tetap menjadi bara
Bersama helaian kabut sehalus rambut. Beliau memunguti lalu menata reranting sejarah
Yang terkulai. Pudar dibawa kelepak murai.
Melalui bibirnya berhasil menyingkap dan mengasuh rumit sejarah
Seperti tubuh sampit mengerang sakit, seperti majapahit terlalu tahan menahan pahit
Sedangkan aku, duduk menjelma ribuan daun telinga setia memeluk semesta
Barangkali sejarah tak kuat lagi mengejar matahari, mengeja kata-kata, dan orang tua tak lagi
Mengenali dirinya. Maka kau, mengajariku dengan tabah merawat sejarah
Yang hilang ingatan.
Lumajang, 2020.