• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Thursday, 04 December 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Perempuan yang Menghapus Namanya

Rikard Diku by Rikard Diku
30 November 2025
in Cerpen
0
Perempuan yang Menghapus Namanya

Ilustrasi: Pinterest

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Kadang aku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar ada atau hanya tinggal dalam kepala dan dada seseorang yang terlalu sering menulis namaku?

Namaku Anna. Lengkapnya Anna Eleousa. Orang-orang mengenalku bahkan tanpa aku tahu dari mana mereka mengingat namaku. Aku tak mengenal mereka. Aku adalah perempuan yang akhir-akhir ini sangat resah dengan seorang laki-laki yang tak ingin kusebut namanya. Bagiku, ia adalah laki-laki tak bernama yang terlalu sibuk dengan sunyi dan kata-kata. Aku mengenalnya sebagai seorang pengecut, laki-laki yang mungkin terlanjur obsesi denganku dan menemukan inspirasi dalam diriku.

Aku sering membaca ia menulis namaku sebagai tokoh cerita juga cerita itu sendiri, aku mendengar orang-orang menyebut diriku dalam cerita-ceritanya. Ia menulisku sebagai cinta, rahasia, luka, rindu, rasa ngilu, bahkan doa-doa yang patah di tepi malam yang sunyi. Setiap kali orang-orang membaca ceritanya, aku merasa hidup tetapi bukan sebagai diriku, aku hidup sebagai tokoh yang ia bayangkan, tokoh yang ia ciptakan sesuka hati dalam kepalanya. Ia menulis tentang diriku seolah-olah ia mengenalku lebih baik daripada diriku sendiri. Ia menciptakan versi diriku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Pernah, teman-teman menggangguku karena menemukan sisi lain diriku dalam cerita-ceritanya yang sangat paradoks, dan itu yang membuat aku benci dengan laki-laki itu. Aku muak. Aku ingin menghentikannya.

Aku harus menemuinya kalau bisa menampar wajahnya atau mematahkan jari-jari yang sibuk menulis namaku. Atau jika perlu aku menyiram wajahnya dengan segelas kopi pahit kesukaanku. Aku tak ingin orang-orang mengenal aku dalam ceritanya yang sebenarnya bukan aku sebagaimana adanya keseluruhan diriku. Aku heran, kenapa harus aku yang ia tulis, bukankah masih banyak hal penting dan mendesak yang harus ia tulis, semisal menulis tentang seorang aktivis lokal yang mati secara misterius, pembangunan yang timpang antara barat dan timur, wanita muda yang membuang bayi di got, pejabat yang suka menghamburkan uang rakyat, kerusakan lingkungan karena proyek geothermal, minat baca anak muda yang mulai anjlok, kasus perselingkuhan yang mulai booming, kasus pelecehan seksual oleh dokter, atau tentang program makan gratis. Ia malah menulis tentang aku. Lagi dan lagi. Aneh.

***

Suatu malam, aku menuju ke taman doa, hendak mencari ketenangan meski aku tahu ketenangan bukan dicari tapi dicipta oleh diri sendiri. Pikiranku benar-benar kacau hari-hari ini. Aku ingin bersendiri dengan diri dan mendengarkan riak-riak gelombang dalam dada. Aku membawa sebatang lilin untuk dinyalakan di sana, tak lupa aku membeli segelas kopi untuk membunuh sunyi dan menghabiskan sisa-sisa malam. Di taman doa, sunyi terasa begitu mencekam, hanya terdengar suara binatang malam, sesekali dari kejauhan, terdengar lirih suara ninuninu yang mengiris malam, suara ambulans yang mengantar orang mati. Selebihnya, sunyi yang paling keras kepala.

Ada juga beberapa orang datang dengan menggandeng kekasih mereka. Di depan Arca Bunda, mereka melantunkan doa-doa yang khyusuk sambil menyalakan lilin dan membawa bunga yang masih segar. Duduk di taman ini membuat aku ingat sebuah cerita yang ditulis laki-laki tanpa nama itu. Pernah, ia menulis cerita untuk ulang tahunku di taman ini. Aku tak benar-benar menganggap itu sebagai kado ulang tahun, itu hanya cerita kosong yang membuatku marah dan menghujaninya dengan kata-kata tajam sebelum aku menghapus semua cerita tentangnya dan mengakhiri semua dengan tegas tanpa a-i-u-e-o.

Usai mendaraskan doa, aku duduk di sebuah bangku taman, dari jauh aku melihat sosok laki-laki itu, ia seperti sedang sibuk menulis cerita-cerita dan mukanya ditampar oleh cahaya lampu neon lima watt, aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia tak sadar bahwa aku juga ada di sini. Aku mendekat dan duduk di depannya. Ia tidak menyadari kehadiranku sampai aku berdehem. Ia menoleh, terkejut. Aku menatap matanya dalam-dalam.

Di jarak yang amat dekat, ingin sekali aku menumpahkan semua kekesalan dan kemarahanku padanya. Duduk persis di depannya yang masih fokus memungut kata-kata di tablet mini membuat hatiku terlampau gatal, ingin sekali meremas jari-jarinya, menginjak-injak tablet itu, dan menampar pipinya. Tapi aku tak sanggup. Yang ada hanya diam yang panjang. Aku tak menyukai diam seperti ini. Terlalu menyiksa. Sunyi yang lebat menjalar di taman ini. Angin seperti mati. kami menjelma sepasang rindu yang suka menggonggong tapi enggan menggigit. Entah kenapa, tiba-tiba suaraku memecahkan kesunyian itu.

“Mengapa masih menjadikanku sebagai tokoh dalam cerita-ceritamu yang buruk itu?” suaraku lebih terdengar seperti bisikan yang panjang dan tegas.

“Apa? Aku tidak mengerti semuanya ini?” ia menjawab dengan pertanyaan yang justru membuatku semakin panas.

“Apa yang sudah kau tulis tentangku? Itu memalukan!”

“Kamu siapa? Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya?”

“Setelah semua yang kau tulis tentang aku, dan kau tak mengenalku?” aku mulai geram.

“Kita pernah berjumpa di kota mana? atau jangan-jangan kamu salah orang?”

Pertanyaan ini membuat aku benar-benar marah. Bagaimana bisa ia tak mengenalku meski sekian sering ia menghidupi namaku dalam cerita-ceritanya, atau dia laki-laki yang cepat amnesia dengan semua yang ia tulis dalam cerita-ceritanya tentang aku. Ingin tanganku mendarat di pipinya atau meludahi wajah yang tanpa ekspresi itu. Dan tanpa sadar, plakkkkk!!!, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Tidak hanya itu, sebelum meninggalkan tempat itu, aku menumpahkan semua rasa muak dengan meludahi wajahnya, cuihhhhh!! Segelas kopi yang belum tandas kuciprat ke wajahnya biar semua benci dan marah menjadi lunas.

Tanpa ada kata yang loncat dari mulutnya atas semua tindakanku, cahaya lampu masih jelas menyiram wajahnya yang kebingungan. Taman itu sunyi, aku meninggalkannya dengan amuk badai yang meluap-luap di dada.

“Ingat, jangan pernah menulis tentangku lagi, jangan pernah menghidupi cerita tentangku, jangan pernah menyebut namaku bahkan dalam doa-doa sunyimu sekali pun. Tak ada lagi kata kita di kebetulan manapun!” sambil telunjukku terarah ke wajahnya.

Aku melangkah keluar taman doa meninggalkannya dalam kebingungan dan tanda tanya yang menggantung di langit-langit malam yang paling piatu. Aku sempat menoleh ke belakang, melihat dia yang masih mengusap wajah hasil tamparan, cairan kopi, dan ludahku dengan bajunya. Aku tak peduli, ia pantas mendapatkan semua itu setelah apa yang ia tulis tentang aku. Aku tak ingin bertemu dengannya mulai detik ini. ia sudah menjelma jarum-jarum hujan nan tajam yang menusuk dadaku. Aku melangkah dengan perasaan campur aduk. Aku tahu kemarahanku meledak tatkala aku merasa dia seperti menelanjangiku dengan cerita-ceritanya. Dia adalah seorang lelaki yang gagal mengerti bahwa tidak semua luka perlu ditulis ulang. Dia lupa, aku sering membaca tulisannya diam-diam dan semakin aku membaca, semua cerita itu tidak lagi terasa sebagai karangan. Ia seperti pengakuan.

Semenjak peristiwa malam itu, aku semakin kecewa dengan laki-laki sialan itu. Aku berjuang untuk menghapus namanya dalam semua cerita-cerita yang pernah ia tulis. Aku tidak mau bertanya lagi mengapa ia menulis namaku dan cerita tentangku. Aku sudah menemukan jawabannnya, ia adalah laki-laki yang tidak pernah mengerti dengan semua sikap yang aku tunjukkan. Ia tidak pernah sadar jika aku terlanjur muak dengan semua cerita-cerita dan omong kosong dari mulutnya. Ia tak pernah sadar bahkan untuk bertemu dengannya saja aku merasa risih dan kali ini aku sudah membulatkan tekad untuk tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengannya lagi. Dasar, sialan!

Aku kembali menjadi manusia merdeka dengan rutinitasku; memotret hal-hal yang kusukai, mengunjungi tempat-tempat favoritku, aktif dalam komunitas bersama teman-teman sefrekuensi, merawat dan menjaga ibu bumi, serta melakukan aksi-aksi kemanusiaan. Aku tak pernah tahu dan tidak pernah mencaritahu laki-laki yang sudah mematahkan hatiku. Aku juga sudah bebas dari tulisan-tulisannya yang tidak penting-penting amat itu.

Hingga pada suatu waktu, aku dibuat kaget ketika menemukan sebuah kado di hari ulang tahunku yang kesekian, sebuah kado tanpa nama yang di dalamnya berisi lukisan wajahku dan sebuah buku berjudul “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?”. Saat membaca cerita itu, aku seperti menemukan diriku dalam kata-kata yang bisu, aku seperti membaca diriku sendiri. Setelah membaca, dadaku seperti sesak, di sudut kamar, ada nyala lilin yang gemetar, sementara kata-kata yang kubaca menjelma balon-balon rindu yang pecah satu demi satu di dadaku, kadang ia seperti alir dan air yang memenuhi ruang-ruang sepi jantungku.

 “Ternyata, dibutuhkan kehilangan paling sunyi untuk membuatku sadar: aku bukan ingin menghapus namaku dari ceritanya. Aku hanya ingin tahu, apakah ia benar-benar mencintaiku, atau sekadar menulis bayanganku. Kini aku tahu. Dan itu menyesakkan,” batinku.

Aku membaca tulisan itu sekali lagi. Tentu dalam hati.

“Tak ada yang benar-benar mencipta atau dicipta. Dalam dunia kata, semua orang adalah cerita yang saling menulis satu sama lain, berharap dikenang. Tapi Anna, mungkin kau tak pernah ada. Atau mungkin, hanya ada dalam cerita ini.”

Aku menghela napas panjang, sepi seperti menyalibkanku di palang pintu kamar. Aku terpaku saat membaca paragraf terakhir.

“Dan saat ia meninggalkan taman doa itu, ia pikir telah menang. Ia pikir telah bebas. Tapi sebenarnya, cerita ini bukan miliknya. Tak pernah. Ia berjalan menjauh dengan dada penuh amarah, tapi tak sadar bahwa langkahnya pun kutulis. Ia pikir ia tokoh utama yang memberontak. Tapi sejak awal, dialah fiksi itu sendiri. Aku yang menulisnya. Dan ia akan hidup selamanya, di sini.”

Tags: cerpenmetaforrikard dikusastra
ShareTweetSendShare
Previous Post

Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina

Rikard Diku

Rikard Diku

Penulis yang lahir pada 7 Februari. Menulis karya jurnalistik, puisi, dan mengarang cerita. Saat ini tinggal di Unit Fransiskus Xaverius-Ledalero, Maumere-NTT. Ia bisa dijumpai via Instagram @rikard_diku

Artikel Terkait

Gelembung-Gelembung
Cerpen

Gelembung-Gelembung

19 November 2025

Gelembung-gelembung itu terus mengudara dan semakin tinggi diterpa angin pagi. Perlahan satu per satu jatuh dan pecah, namun ada yang...

Dua Jam Sebelum Bekerja
Cerpen

Dua Jam Sebelum Bekerja

21 September 2025

Hujan belum menunjukkan tanda reda. Aku menyeduh kopi lalu termenung menatap bulir-bulir air di jendela mess yang jatuh tergesa. Angin...

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 July 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
Cerpen

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

11 July 2025

Sore seperti keliru membaca waktu, demikian orang-orang bilang tentang udara di desa Watu Rinding. Ia terlambat panas, tergesa dingin. Kabutnya...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Bulan Memancar di Rambutmu

Bulan Memancar di Rambutmu

8 March 2021
Gambar Artikel Kehutanan yang Maha Hijau

Kehutanan yang Maha Hijau

20 November 2020
Takbiran Buruh, Hardiknas Ki Hadjar Dewantara dan Lebaran Pascapandemi

Takbiran Buruh, Hardiknas Ki Hadjar Dewantara dan Lebaran Pascapandemi

2 May 2022

Calon Kepala Desa

5 March 2024
Jenis-Jenis Garangan Paling Berbahaya bagi Kaum LDR

Jenis-Jenis Garangan Paling Berbahaya bagi Kaum LDR

9 January 2022
Sedih yang Diam

Sedih yang Diam

1 April 2022
Perjalanan dan Jarak

Perjalanan dan Jarak

19 April 2021
Gambar Artikel Keraguan dalam Keyakinan

Keraguan dalam Keyakinan

2 December 2020
Gejala Kebudayaan Hilang di Era Pandemi

Gejala Kebudayaan Hilang di Era Pandemi

7 February 2021
Anosmia Bukan Insomnia, Apalagi Amsenia

Anosmia Bukan Insomnia, Apalagi Amsenia

18 February 2021
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menghapus Namanya
  • Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina
  • Antony Loewenstein: “Mendekati Israel adalah Kesalahan yang Memalukan bagi Indonesia”
  • Gelembung-Gelembung
  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung

Kategori

  • Event (14)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (12)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (218)
    • Cerpen (56)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (49)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (13)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kontributor
  • Hubungi Kami

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.