Dia sedang duduk di kursi goyang yang ada di ruang kerjanya. Menghisap rokok cerutu, tatapan matanya kosong, memakai kacamata yang menutupi kantong matanya yang mulai melorot. Setiap kali didatangi oleh orang, ia masih dengan perawakan yang lunglai di kursi goyang tersebut. Hingga asbak yang ia gunakan untuk menampung sisa-sisa rokok sudah penuh. Beberapa gelas kopi masih berceceran di meja kerjanya.
Istrinya sudah bingung melihat kelakuan suaminya yang akhir-akhir ini berubah drastis. Biasanya suaminya adalah orang yang riang dan suka bergaul dengan tetangga. Kini suaminya berubah 180 derajat, menjadi orang yang tidak pernah keluar dari ruang kerjanya. Untuk makan dan mandi saja malas, tubuhnya mulai kurus dan menyusut. Ya, Karman adalah seorang editor harian lepas yang biasa bekerja jika ada job mendatanginya.
Karman sudah beristri dan mempunyai 2 anak lelaki. Istrinya, Zubaidah adalah seorang istri yang sabar dan selalu bisa memahami Karman. Jika sudah berada di dalam ruang kerjanya anak dan istri Karman sudah tidak berani mengganggu Karman. Mereka hanya berani masuk ruang kerja Karman saat dipanggil oleh si empu pemilik ruangan tersebut. Biasanya Zubaidah masuk ruang kerja suaminya karena mengantarkan kopi dan rokok.
Ruangan itu baunya sangat ampek karena asap-asap rokok yang keluar dari mulut Karman. Serta tumpahan kopi yang berceceran di lantai jarang dibersihkan. Karman adalah seorang editor harian lepas yang selalu kebajiran job. Dia tidak pernah sepi dalam pekerjaan. Selesai pekerjaan satu datang pekerjaan berikutnya.
Akan tetapi, kini usianya sudah mulai menua. Karman memiliki pola waktu bekerja sendiri. Ia biasa bekerja selama 1 bulan penuh untuk mengedit naskah-naskah yang masuk dan selebihnya 2 bulan dia akan beristirahat dari pekerjaannya. Namun, selama dia mengisi waktu 2 bulan dia tidak benar-benar istirahat, tetapi dia melakukan dengan hal-hal yang lain. Misal, menulis ebuah cerpen, puisi, esai, dan beberapa kritik sastra.
Saat melihat Karman yang tidak seperti biasanya Zubaidah kini dibuat bingung. Apa yang sedang dilakukan Karman, mengapa dia tidak keluar ruang kerjanya semasa istirahat bekerja 2 bulan. Biasanya dia sudah keluar main ke rumah tetangga untuk bermain catur, memancing, dan melakukan hal-hal bersama keluarga. Akan tetapi, kini Karman masih diam duduk termangu di ruang kerjanya. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
Zubaidah dan kedua anaknya mendatangi Karman ke dalam ruang kerjanya. Hal ini mereka lakukan karena begitu penasaran dengan Karman mengapa mengalami perubahan yang drastis. “Ayah, kenapa hanya diam saja di dalam ruang kerja seperti ini?” tanya anak bungsunya. Karman masih belum menoleh dan menjawab pertanyaan tersebut. “Yah, itu lho ditanya sama anakmu, mbok ya dijawab,” ucap Zubaidah menegaskan.
Selama beberapa menit Karman tidak mengeluarkan suara juga dari mulutnya. Kedua anak dan istrinya pun pergi meninggalkan Karman. Anehnya, setiap makanan dan minuman yang disuguhkan istrinya ke dalam ruang kerjanya selalu utuh tidak tersentuh. Akan tetapi, jika yang disuguhkan adalah kopi dan rokok selalu habis tak tersisa sama sekali. Tubub Karman semakin hari semakin menyedihkan.
Zubaidah yang merasa kebingungan menghadapi Karman kini sibuk membaca karya-karya sastra. Akhir-akhir ini Zubaidah sering membaca puisi-puisi karya Sapardi. Dia setiap selesai melakukan pekerjaan rumah selalu menyempatkan waktunya untuk membaca puisi. Sebenarnya Zubaidah sudah sering membaca puisi agak lama. Bahkan sebelum Karman suaminya tak mau keluar dari dalam ruang kerja, pun Zubaidah sudah sering membaca puisi. Akan tetapi, karena dulu sering terputus-putus saat membaca puisi karena dikit-dikit dipanggil Karman untuk mengambilkan rokok dan kopi. Sekarang Zubaidah bisa sepuasnya jika ingin membaca puisi.
Zubaidah menemukan hal lain yang ada dalam puisi Sapardi. Dia merasa seperti bisa berimajinasi masuk langsung ke dalam sajak Sapardi tersebut. Seperti sajak Sapardi yang berhasil menggetarkan jiwanya adalah Dalam Doaku.
dalam doa malamku kau menjelma
denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa
sakit yang
entah batasnya, yang setia mengusut
rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
aku mencintaimu, itu pasti takkan
pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
1989
Zubaidah sering membaca sajak-sajak Sapardi tersebut saat dia memasak dan sedang membersihkan rumah. Alih-alih ia menghibur dirinya agar tidak terasa pekerjaan rumah yang berat. Sering sekali Zubaidah menulis sajak-sajak ciptaannya sendiri. Zubaidah adalah seorang istri yang sangat patuh terhadap suami. Saat suaminya keluar dari ruang kerja ia langsung menghentikan bacaan puisinya. Ia langsung mendatangi suaminya.
Terlebih saat ini anaknya yang sulung juga mengambil jurusan kuliah Sastra Indonesia. Baru saja ia masuk jurusan Sastra Indonesia, ia mulai mengenal Chairil Anwar. Seorang sastrawan besar yang mengubah pakem perpuisian di Indonesia. Anak sulung Karman sedang gemar-gemarnya mempelajari puisi-puisi Chairil tersebut. Hingga pada suatu ketika Karman pernah melihat dan mendengar secara langsung bahwa putra sulungnya sedang membacakan sebait puisi Chairil Anwar.
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
1943
Yang belum menggemari puisi hanyalah anak bungsunya. Karena dia masih duduk di bangku kelas 6 SD. Mungkin suatu saat jika anak bungsunya tersebut sudah dewasa akan mencintai puisi juga seperti Ibu dan Kakaknya. Dia sering merajuk ketika ayahnya tidak menuruti permintaannya. Mau tidak mau jika sudah anak bungsunya yang meminta, Karman selalu menuruti.
Karman adalah wajah seorang yang sedang dirundung banyak pikiran, tetapi tidak bisa mengutarakan sedikit saja apa yang sedang dirasakan. Ia adalah lelaki yang lebih senang menulis dibanding berbicara. Seringkali Karman menulis dalam sebuah buku harian miliknya. Setelah menulis segala hal yang perlu ditulis, Karman akan merasa lega.
Karena sudah beberapa hari tidak keluar dari ruang kerjanya, Karman juga tidak pernah menulis sesuatu lagi di buku harian miliknya. Karena buku harian tersebut ditulis atas dasar penglihatan Karman memandang kejadian yang ia alami. Dia juga sedang berada di masa istirahat kerja setelah satu bulan full menyunting naskah-naskah yang masuk. Sepertinya Karman ingin melakukan meditasi terhadap dirinya.
Belum juga keluar dari ruang kerjanya. Tiba-tiba istrinya datang masuk ke dalam kamar mengantarkan kopi dan rokok yang menjadi teman Karman selama hanya berdiam diri di dalam ruang kerjanya. Istrinya memang seorang yang sangat pengertian. Zubaidah dan Karman pun saat bertemu tidak mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Mulut mereka membisu.
Setelah dirasa Karman tidak mengalami perkembangan yang lebih baik. Kini Zubaidah akan memaksa memberanikan diri untuk menanyai mengapa Karman suaminya itu bisa berubah 180 derajat. Zubaidah memberanikan diri masuk dan dalam hatinya sudah ada niat untuk bertanya mengenai perihal Karman.
Zubaidah membuka pintu ruang kerja suaminya dan langsung masuk. Zubaidah kaget melihat tubuh suaminya sudah tergantung di dalam ruang kerjanya tersebut. Tubuh suaminya membiru dan lehernya terikat oleh tali yang digantungkan. Zubaidah berteriak histeris memanggil kedua anaknya. Kedua anaknya pun langsung mendatangi ibunya. Kedua anaknya juga langsung berteriak histeris sembari memeluk ibu mereka.
“Ayah, ayah, ayah, mengapa ayah melakukan ini, apakah ayah sudah tidak menyayangi kami?” gumam anak bungsunya. Ibunya memeluk kedua anak tersebut. Para tetangga yang mendengar teriakan histeris tersebut kemudian datang untuk menengok apa yang sedang terjadi. Para warga yang datang juga dibuat kaget dengan kematian Karman yang dirasa mengenaskan secara gantung diri.
Saat para warga membantu mengurus jenazah Karman. Kini Zubaidah masih termangu di dalam ruang kerja suaminya. Zubaidah membayangkan inilah ruang bersejarah yang sering dipakai oleh suaminya. Zubaidah mendatangi kursi goyang yang terakhir kali ia melihat suaminya duduk di sana. Di atas kursi goyang milik Karman, kini Zubaidah menemukan sebuah buku yang sampulnya sudah usang.
Zubaidah yang penasaran langsung membuka buku tersebut. Ternyata di halaman pertama buku tersebut memang sudah menjaskan bahwa buku tersebut adalah buku harian milik suaminya. Zubaidah langsung membuka halaman terakhir catatan suaminya tersebut. tinta yang digunakan menlulis masih basah seperti air mata Zubaidah yang mengucur deras mengerti kematian suaminya tersebut. Dalam buku harian tersebut tertulis bahwa.
Untuk istriku tercinta, Zubaidah:
Mengapa setiap kali aku melihatmu membaca puisi kau malah selalu berhenti? Padahal aku ingin sekali melihat berpuisi di depanku dan berpuisi bersama denganmu. Apakah kau sudah bermain hati dengan puisi sehingga menduakanku dengannya? Sungguh aku tak mengira kau bisa tega meninggalkanku bermain hati dengan puisi.
Untuk si sulung yang gagah perkasa:
Teruslah belajar dengan semangat, Nak. Kamu akan menjadi seorang yang besar di masa depan. Oh iya, tentang puisi “Sia-Sia” karya Chairil Anwar yang kau bacakan itu aku mengakui agak tersinggung. Pasalnya, aku sebagai ayahmu memang tidak pernah punya banyak waktu luang untuk menemanimu dalam segala hal. Maafkanlah ayahmu ini, Nak.
Untuk si bungsu yang lugu:
Tetaplah jadi anak yang aktif ya,. Nak, Sayangi Ibu dan Kakakmu. Semangat terus belajar ya, Nak. Nanti kalo sudah sukses ayah belikan es krim kesukaanmu. Ayah sayang padamu, Nak.
Ya, memang benar Yang Fana Adalah Waktu, Kita Abadi sebait puisi Sapardi lah yang mampu menggambarkan rasa cintaku yang selalu utuh untuk kalian keluarga kecilku. Ayah merasa tiak bisa menjadi sebuah sajak yang bisa menenangkan kalian, ayah sudah berusaha mencari makna dan kata yang selama ini tak kunjung ayah temukan. Setelah ayah sadar bahwa makna dan kata berada di dalam tubub kecil keluarga ini, maka ayah memilih untuk mengakhiri pencarian ayah dan pamit pulang. Salam hangat. -Ayah