Setelah melewati masa kegelapan pengetahuan, Barat di antara abad ke-15 dan 16 memulai babak baru yang dikenal dengan sebutan modern. Istilah yang menandakan zaman yang baru, yang digagas oleh semangat intelektual dan humanisme untuk melawan dominasi irasional gereja (F. Budi Hardiman:2004). Pada zaman ini semangat rasionalisme hadir untuk menjadi lawan dari pola pikir keagamaan abad pertengahan yang hierarki dan rentang dimanipulasi, dan sepertinya masih ada hingga abad ke-21 ini.
Tokoh-tokoh pemikir yang bermunculan di masa tersebut biasa dikenal dengan kelompok rasionalis yang begitu mengedepankan rasio ketimbang indra. Di antaranya adalah Descartes, Leibnis, Blaise Pascal, dan juga Spinoza. Tokoh-tokoh ini muncul dengan ragam corak rasionalisme yang berbeda-beda. Lalu apa yang ditawarkan Spinoza dalam menemukan kepastian hidup yang membingungkan ketika itu? Mari kita mulai dari kisah hidupnya.
Mendahului Karl Marx, Spinoza merupakan salah satu pemikir besar filsafat modern di awal perkembangannya. Ia lahir di Amsterdam pada tahun 1632 dari keluarga yang memiliki posisi cukup penting dalam kelompok Yahudi (Anthony Kenny:2006). Orang tuanya bernama Michael Spinoza dan Hannah Deborah, merupakan imigran dari Portugal. Pada perjalanan hidupnya, Spinoza perlahan menghilangkan praktik peribadatan Yahudi akibat rasa skeptisnya hingga ia dikucilkan. Setelah diusir dari kalangan Yahudi di umur ke 24 ia mengubah nama ibraninya, Barukh, ke nama latin, Benedictus dan hidup menyendiri sebagai pengrajin lensa kacamata.
Van Den Enden adalah satu guru yang paling berperan dalam kehidupan Spinoza. Guru bahasa latin yang membuatnya bisa membaca karya filsafat dan menuliskannya. Ketika itu bahasa latin adalah bahasa utama dalam pelajaran filsafat di tempat Spinoza. Selain itu Van De Enden juga adalah orang pertama yang mengenalkan karya Descartes pada Spinoza, yang kemudian hari banyak menyita fokusnya.
Spinoza merupakan tokoh pertama yang mempelajari kitab suci sebagai dokumen sejarah, yang bisa dikritik dan dipaparkan keterbatasan intelektualnya (Steven Nadler:2006), hal ini merupakan upayanya untuk mengoptimalkan pemikiran rasional. Mengusahakan pemikiran filosofis dalam memahami ajaran agama sepertinya menimbulkan kemarahan banyak tokoh keagamaan. Meskipun pemikiran filsafatnya berbicara seputar ide ketuhanan, kaum ortodoks menuduhnya tidak bertuhan. Suatu prasangka yang sembrono untuk menilai Spinoza seperti itu, bukan main.
Pada tahun 1677 Spinoza menemui kematiannya. Tanpa disangka-sangka, pekerjaan uniknya sebagai pengrajin lensa membuatnya menghirup kaca selama bertahun-tahun ia bekerja. Tapi tokoh yang satu ini tidak mati tanpa meninggalkan karya, sebutlah Renati Descartes Principiorum Philosophiae (Prinsip Filsafat Descartes, 1663), Tractatus Theologico-Politicus (traktat Politik-teologis1670), Tractatus de intellectus emendation (Traktat tentang perbaikan pemahaman, 1677), dan juga karya paling pentingnya yang terbit setelah kematiannya, Ethic masih bisa kita temukan dan pelajari, ketimbang scroll-scroll TikTok terus.
Sekarang kita bahas pemikirannya. Rasionalisme Spinoza berangkat dari suatu upaya untuk menemukan suatu hal yang pasti bagi segala bentuk pengetahuan. Baginya hal yang pasti itu adalah substansi. Berbeda dengan Descartes yang mengatakan bahwa substansi terbagi menjadi tiga. Bagi Spinoza hal itu sudah sangat bertentangan dengan konsep substansi itu sendiri. Substansi baginya hanyalah satu, dan yang satu ini merupakan hakikat dari segala sesuatu yang kita kenal dengan sebutan Tuhan. Mengapa Tuhan? Karena hanya dia yang bisa menjadi satu substansi yang pasti dan menjadi sebab dari segala ada yang lain.
Satu substansi atau satu zat yang menjadi hakikat dari segala sesuatu ini adalah yang murni mengatur segalanya. Tiada peluang untuk mental dan fisik di dalamnya, semuanya kembali pada substansi yang satu. Dan adanya substansi tersebut tidak seperti adanya segala sesuatu yang hadir karenanya. Bagi substansi tak terbatas ini tidak ada benar dan buruk, semuanya adalah keseluruhan yang berjalan bersama substansi. Keburukan atau negasi hanya ada pada makhluk, yang terbatas melihat sesuatu hanya pada satu bagian, tidak secara menyeluruh (Bertrand Russell:2016).
Tuhan merupakan satu-satunya substansi, dia merupakan hakikat dari segalanya maka segala sesuatu bergantung padanya secara menyeluruh. Seperti penulis tulisan ini yang adalah satu orang, editornya satu orang, pembaca di balik layar juga merupakan satu orang, tapi kita semua merupakan kesatuan orang-orang yang berada dalam lingkungan tulisan ini. Dan bagi Spinoza kita adalah makhluk yang bergantung pada satu substansi, boleh jadi berbeda-beda dalam hal lain tapi sama di bagian ia bergantung. Hal yang sama juga terjadi pada waktu, masa kini, masa lalu, dan masa depan adalah satu bagian tersendiri, tetapi ke semuanya merupakan kesatuan.
Corak yang bisa kita temukan dalam pemikiran Spinoza adalah upaya menemukan kepastian dari segala sesuatu melebihi kesadaran akan diri yang hanya berpikir, seperti yang dilakukan Descartes. Kepastian tersebut terdapat pada zat yang segala sesuatu merupakan hasil darinya, atau bahkan secara lebih panteistik bisa kita pahami bahwa segala sesuatu merupakan sang substansi itu sendiri. Seperti yang Spinoza katakan: “Semua adalah satu dan yang satu itu bersifat ilahi” (Bryan Magee:2012). Tindakan ini Spinoza lakukan dalam menjawab kebingungan banyak pemikir atau filosof tentang hakikat hidup manusia, perdebatan panjang yang menjadi permasalahan dalam hidup Spinoza. Tapi perlu dicatat gagasan ini hanyalah satu dari banyak buah pemikiran Spinoza yang tidak bisa semuanya dibahas di sini. Ya kali jadi jurnal penelitian.
Sebagai penduduk bumi di tahun 2021 kita pasti memiliki beragam masalah, entah di bagian ekonomi, pendidikan, sosial, percintaan, atau bahkan dalam dunia pemikiran seperti yang menjadi fokus Spinoza. Kita bisa mengambil pelajaran untuk masalah tersebut dari banyak sumber, entah guru, orang tua, teman, termasuk dari gagasan pemikir kelahiran Belanda tersebut. Kita bisa menjadikan kesatuan substansi makhluk dan cara pandang menyeluruh Spinoza sebagai pertimbangan dalam menyikapi suatu masalah. Kita bisa berpikiran lemah dengan berkata bahwa seseorang bernasib lebih baik karena takdir. Mencari-cari alasan untuk membenarkan pendapat itu dan selamanya dirundung rasa kecewa. Menangis dan menyesali sulitnya hidup terlalu lama dan berakhir tanpa menyelesaikan apapun. Membuang-buang waktu adalah hak semua orang tapi itu bukan hal yang harus dilakukan.
Di sisi lain kita bisa berpikir bahwa semua makhluk di dunia ini memiliki satu substansi, dan karenanya jika ada satu orang bisa sukses maka semua orang juga, jika dia bisa berusaha keras maka saya juga, dan bila nasib baik bisa mendatangi orang lain hal itu juga berlaku pada saya. Serta cobalah lihat sesuatu secara menyeluruh, apakah benar orang yang kita anggap bernasib baik dalam satu aspek kehidupan itu bernasib baik di bagian lainnya juga. Karena bisa jadi mereka menangis, kesepian, dan patah hati di tengah kehidupan baiknya, sedangkan kita masih bisa bahagia, tertawa, dan banyak teman di tengah hidup yang kere, jomblo, dan pengangguran ini.