Obituari Mutualisme 1
Pernahkah kau cabut sejuntai rambut secara acak di ujung ubunmu? Mengingatkan pada masa yang telah berlalu. Menggiring estafet yang kian berganti, menggilir kasih sepasang hati di tepi penantian hanya untuk bertimbal perhatian. Sampai bersikap naif sebab terlalu takut dianggap kesepian.
Pernah suatu masa engkau kehabisan nomor urut pasien, kau pun sekarat mencari cara supaya laku kembali, hingga tiba saatnya kita dipertemukan lagi berulang kali dalam wujud air dan api, saling bersulut debat yang tak kunjung usai. Yang satu selalu jatuh membumi, satunya lagi selalu berkelana mengudara.
Anehnya bagiku kita tetaplah sama, meski tak ubahnya bersalah-sangka hadirkan kembali masa kelam itu, terus berkutat tak goyah pada sudut kepala masing-masing. Bergelora menggebu-gebu. Mencuat beribu kata dari panjang lidahmu yang siap menerkamku. Menjulur meliak-liuk diiringi riak yang dipaksakan keluar.
Lalu apa salah jika aku mengadumu seperti domba, mengkambing-hitamkan pada Sang Kuasa lewat buah karya yang katamu terkutuk itu? Aku akan terus memburumu bagai kutukan yang berhutang budi padamu, tanpa sadar tak pernah padam engkau beri nafas pada tiap karya yang telah abadi.
Obituari Mutualisme 2
Jangan. Janganlah cepat beranjak pada alunan manja musik pengiring di hari bahagiamu. Duduk terpangku manis di atas singgasana megah bertatap ratus pasang mata yang ikut merayakan. Bersahut menyoraki kemenangan atas terjalinnya ikatan baru dengan sumpah sorai yang sah. Padahal, siapa sangka engkau sudah berulah lagi di esok pagi.
Jangan, Janganlah cepat. Bukan karena aku benci, lantas segera menyuruhmu berpaling dari sudut bola mataku sampai pudar menghilang sekalipun. Bukan karena aku tetap ingin bersimpuh, mengiba belasmu untuk kembali kauberi rasa pada tulus kasihmu. Bukan pula karena hatiku mulai lelah menyanggupi segala derai tusuk yang kian mengarat di setiap harinya.
Mustahil bagiku. Sebab jiwaku seolah terlanjur menyatu, beranak-pinak dengan lebam derita yang berhasil kukais tiap jentik waktuku. Telah mati rasa meski coba kau tikam berjuta kali menembus, menerobos nadi dan tulang ringkih kecilku. Berdentum. Semakin kencang bergema mendobrak masuk gendang telinga.
Aku menikmatinya. Kian hari semakin membuncah, berlipat ganda dalam putaran waktu yang terasa melambat. Harusnya kupanjatkan syukur atas rindu pada lara yang tertumpuk, terlanjur membentuk nanar gunduk yang kian membusuk. Meletus. Darah bercampur nanah. Tepatnya, cuma itu alasan terbaik menyambung hela nafas walau harus menggaruk getir di setiap aliran darahku.
Tenang, yang pernah ada akan tetap aku rawat.
Tubuhku belum habis digerogoti. Sedangkan dua tubuh lain setelahku telah usai diserap hingga ampasnya. Habis. Tak menyisakan bekas. Seolah tak pernah terjadi apa-apa pada kedua jasad itu, mungkin bisa dikatakan hilang begitu saja tanpa sebab. Dimanipulasi supaya disangka lenyap ditelan bumi, atau dapat kau temui seketika sedang mengudara di angkasa. Melayang bebas tanpa arah, layaknya hologram organ tubuh yang bermandikan darah. Tak seorang pun mengenali.
Sementara jasadku tadi belum tuntas dikunyah habis. Terkulai lemas di sini. Mati rasa sebagian, tergeletak begitu saja. Entah apa yang membuatnya lantas beralih meninggalkan jasadku. Pikirku, apa mungkin memang sebegitunya terasa hambar? Atau bahkan terlalu pahit? Lalu kelimpungan mencari penetralisir kerongkongan dan semerbak aroma lain untuk menutupinya. Hahah, ternyata siluman juga butuh makanan penutup. Tukasku dalam benak memaksa menghibur diri.
Padahal, yang kuingin sekarang mending mokat saja sekalian. Ketimbang menahan perih yang teramat di sekujur tubuh. Tak utuh, tersisa hampir separuh. Jiancukk, siluman macam apa kau ini, meninggalkan mangsanya begitu saja. Dibunuh perlahan dibiarkan mengerang kesakitan. Tapi ini berbeda. Sayup-sayup deritanya membelas, terselip di sela-sela jaringan otot lunak yang berhasil ia koyak. Psikopat pun harusnya perlu berguru kepadanya. Ah, sungguh memilukan. Malang sekali nasibku.
Namun, ada yang lebih mengagetkanku kali ini. Kini ia dengan gemulai dan sigapnya malah sudah beranjak lagi pada tubuh selanjutnya. Mangsa keempat. Namun yang lebih menjengkelkan, sekarang lebih terlihat dibuat-buat mempermainkan sang mangsa. Seperti dua korban sebelumnya, makhluk ini tak berkutik dibujuk rayu oleh siluman itu. Dibuatnya kebingungan. Mematung. Ke mana akan melarikan diri nantinya. Itu yang bisa aku pahami dari gerik kecilnya. Gelisah kepayahan.
Sial, dasar siluman pelacur. Bentakku hanya dengan nanar mata tajam ke arah punggungnya yang membelakangiku, meskipun sesekali ia menengok ke belakang. Memastikan bahwa aku sudah benar-benar tak akan berkutik. Sontak, tiba-tiba kelopak mataku tak bisa digerakkan sedikit pun. Melotot dan mulai menghitam. Di sisi lain aku bersyukur. Sebab yang terakhir kali kulihat sebelum ajal, siluman itu telah memulai ritual busuknya lagi sebelum akhirnya menggerayangi makhluk keempat tadi.
Cukup melegakan melihat pola tingkahnya tak pernah berubah. Berandai suatu saat dengan mudah ia akan lenyap oleh mangsanya sendiri yang berhasil kabur. Meyakinkan di ujung kesadaranku bahwa sesuatu yang pernah ada tak akan bisa dihilangkan begitu saja di ingatan. Kecuali hilang ingatan. Mencoba terus membunuh tetapi ada yang tak pernah benar-benar mati. Sekarang coba kau tanyakan pada dirimu. Bukankah semakin kau bunuh semakin ia tumbuh?
2020