slot gacor slot gacor slot gacor slot gacor
Metafora Mutualisme - Serangkum Cangkem Puitis - Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
Monday, 07 July 2025
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi Cangkem

Metafora Mutualisme

Serangkum Cangkem Puitis

Tokoh Fiksi by Tokoh Fiksi
8 November 2020
in Cangkem
0
Gambar Artikel Metafora Mutualisme

Sumber Gambar : https://id.pinterest.com/pin/819092250974860603/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Obituari Mutualisme 1

Pernahkah kau cabut sejuntai rambut secara acak di ujung ubunmu? Mengingatkan pada masa yang telah berlalu. Menggiring estafet yang kian berganti, menggilir kasih sepasang hati di tepi penantian hanya untuk bertimbal perhatian. Sampai bersikap naif sebab terlalu takut dianggap kesepian.

Pernah suatu masa engkau kehabisan nomor urut pasien, kau pun sekarat mencari cara supaya laku kembali, hingga tiba saatnya kita dipertemukan lagi berulang kali dalam wujud air dan api, saling bersulut debat yang tak kunjung usai. Yang satu selalu jatuh membumi, satunya lagi selalu berkelana mengudara.

Anehnya bagiku kita tetaplah sama, meski tak ubahnya bersalah-sangka hadirkan kembali masa kelam itu, terus berkutat tak goyah pada sudut kepala masing-masing. Bergelora menggebu-gebu. Mencuat beribu kata dari panjang lidahmu yang siap menerkamku. Menjulur meliak-liuk diiringi riak yang dipaksakan keluar.

Lalu apa salah jika aku mengadumu seperti domba, mengkambing-hitamkan pada Sang Kuasa lewat buah karya yang katamu terkutuk itu? Aku akan terus memburumu bagai kutukan yang berhutang budi padamu, tanpa sadar tak pernah padam engkau beri nafas pada tiap karya yang telah abadi.

 

Obituari Mutualisme 2

 Jangan. Janganlah cepat beranjak pada alunan manja musik pengiring di hari bahagiamu. Duduk terpangku manis di atas singgasana megah bertatap ratus pasang mata yang ikut merayakan. Bersahut menyoraki kemenangan atas terjalinnya ikatan baru dengan sumpah sorai yang sah. Padahal, siapa sangka engkau sudah berulah lagi di esok pagi.

Jangan, Janganlah cepat. Bukan karena aku benci, lantas segera menyuruhmu berpaling dari sudut bola mataku sampai pudar menghilang sekalipun. Bukan karena aku tetap ingin bersimpuh, mengiba belasmu untuk kembali kauberi rasa pada tulus kasihmu. Bukan pula karena hatiku mulai lelah menyanggupi segala derai tusuk yang kian mengarat di setiap harinya.

Mustahil bagiku. Sebab jiwaku seolah terlanjur menyatu, beranak-pinak dengan lebam derita yang berhasil kukais tiap jentik waktuku. Telah mati rasa meski coba kau tikam berjuta kali menembus, menerobos nadi dan tulang ringkih kecilku. Berdentum. Semakin kencang bergema mendobrak masuk gendang telinga.

Aku menikmatinya. Kian hari semakin membuncah, berlipat ganda dalam putaran waktu yang terasa melambat. Harusnya kupanjatkan syukur atas rindu pada lara yang tertumpuk, terlanjur membentuk nanar gunduk yang kian membusuk. Meletus. Darah bercampur nanah. Tepatnya, cuma itu alasan terbaik menyambung hela nafas walau harus menggaruk getir di setiap aliran darahku.

Tenang, yang pernah ada akan tetap aku rawat.

 

Metafora Mutualisme

Tubuhku belum habis digerogoti. Sedangkan dua tubuh lain setelahku telah usai diserap hingga ampasnya. Habis. Tak menyisakan bekas. Seolah tak pernah terjadi apa-apa pada kedua jasad itu, mungkin bisa dikatakan hilang begitu saja tanpa sebab. Dimanipulasi supaya disangka lenyap ditelan bumi, atau dapat kau temui seketika sedang mengudara di angkasa. Melayang bebas tanpa arah, layaknya hologram organ tubuh yang bermandikan darah. Tak seorang pun mengenali.

Sementara jasadku tadi belum tuntas dikunyah habis. Terkulai lemas di sini. Mati rasa sebagian, tergeletak begitu saja. Entah apa yang membuatnya lantas beralih meninggalkan jasadku. Pikirku, apa mungkin memang sebegitunya terasa hambar? Atau bahkan terlalu pahit? Lalu kelimpungan mencari penetralisir kerongkongan dan semerbak aroma lain untuk menutupinya. Hahah, ternyata siluman juga butuh makanan penutup. Tukasku dalam benak memaksa menghibur diri.

Padahal, yang kuingin sekarang mending mokat saja sekalian. Ketimbang menahan perih yang teramat di sekujur tubuh. Tak utuh, tersisa hampir separuh. Jiancukk, siluman macam apa kau ini, meninggalkan mangsanya begitu saja. Dibunuh perlahan dibiarkan mengerang kesakitan. Tapi ini berbeda. Sayup-sayup deritanya membelas, terselip di sela-sela jaringan otot lunak yang berhasil ia koyak. Psikopat pun harusnya perlu berguru kepadanya. Ah, sungguh memilukan. Malang sekali nasibku.

Namun, ada yang lebih mengagetkanku kali ini. Kini ia dengan gemulai dan sigapnya malah sudah beranjak lagi pada tubuh selanjutnya. Mangsa keempat. Namun yang lebih menjengkelkan, sekarang lebih terlihat dibuat-buat mempermainkan sang mangsa. Seperti dua korban sebelumnya, makhluk ini tak berkutik dibujuk rayu oleh siluman itu. Dibuatnya kebingungan. Mematung. Ke mana akan melarikan diri nantinya. Itu yang bisa aku pahami dari gerik kecilnya. Gelisah kepayahan.

Sial, dasar siluman pelacur. Bentakku hanya dengan nanar mata tajam ke arah punggungnya yang membelakangiku, meskipun sesekali ia menengok ke belakang. Memastikan bahwa aku sudah benar-benar tak akan berkutik. Sontak, tiba-tiba kelopak mataku tak bisa digerakkan sedikit pun. Melotot dan mulai menghitam. Di sisi lain aku bersyukur. Sebab yang terakhir kali kulihat sebelum ajal, siluman itu telah memulai ritual busuknya lagi sebelum akhirnya menggerayangi makhluk keempat tadi.

Cukup melegakan melihat pola tingkahnya tak pernah berubah. Berandai suatu saat dengan mudah ia akan lenyap oleh mangsanya sendiri yang berhasil kabur. Meyakinkan di ujung kesadaranku bahwa sesuatu yang pernah ada tak akan bisa dihilangkan begitu saja di ingatan. Kecuali hilang ingatan. Mencoba terus membunuh tetapi ada yang tak pernah benar-benar mati. Sekarang coba kau tanyakan pada dirimu. Bukankah semakin kau bunuh semakin ia tumbuh?

 

2020

Tags: catatankehidupankeluhmetaforamutualismeobituaripengalaman
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pecel Lele Batas Kota

Next Post

Pak Soesilo Toer: “Homo Alalu” dan Doktor yang Memulung

Tokoh Fiksi

Tokoh Fiksi

Nama pena dari Afif Asari. Mahasiwa Arsitektur di Malang yang menyukai dunia fiksi dan puisi. Penulis buku "Damai dan Abadi dalam Selimut Gelap" (Guepedia, 2020).

Artikel Terkait

Belajar Mengitari Israel
Cangkem

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023

Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem...

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku
Cangkem

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 March 2023

Saya ini sekarang suka nulis, tapi kalau disuruh. Disuruh empunya web ini, contohnya. Tiga tahun lalu saya nulis kayak orang...

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan
Cangkem

Bias Kontol dan Efek Sampingnya yang Menyebalkan

21 March 2022

Silakan kalau anda ingin memfitnah saya sebagai orang yang sedang misuh atau berkata kasar sejak dari judul. Tapi kontol sebagai...

Cengkraman Lelaki Idaman
Cangkem

Cengkraman Lelaki Idaman

18 January 2022

Mbak, kalau kamu dapat dentang chat yang sibuk mengajakmu munajat tengah malam. Aku bisiki dulu ‘ndak ada jaminan, kalau doi...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

24 March 2022
Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya

Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya

22 June 2025
Gambar Artikel Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

Kenangan yang Kusimpan Dalam-dalam

2 November 2020
Gambar Artikel Puisi Tentang Kopi - Setabah Kopi

Setabah Kopi

24 December 2020
Gambar Artikel Mind Management

Mind Management

27 November 2020
Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

Bukti Pemerintah Serius Menangani Pandemi Covid-19

9 August 2021
When The Weather is Fine dan Puisi Kesakitan

When The Weather is Fine dan Puisi Kesakitan

12 November 2021
Sandalku Dicuri Tuhan | Puisi-puisi Widya Prayoga T.

Sandalku Dicuri Tuhan | Puisi-puisi Widya Prayoga T.

24 May 2023
Baret Kuning Si Penyelamat

Baret Kuning Si Penyelamat

7 January 2022
Pendidikan Psikosufistik dan Cara ‘Mengintip’ Kecerdasan Spiritual

Pendidikan Psikosufistik dan Cara ‘Mengintip’ Kecerdasan Spiritual

7 July 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

Kategori

  • Event (11)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (9)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (207)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (137)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In