Sabdamu telah ranum
Bermekar menjelma pucuk bunga azalea
Kematian menjadi penutup nasehatmu
Semenjak Izroil mengucap namamu
Mulutmu tertutup rapat tak bercelah
Air mata menangis deras tiba-tiba
Kala itu aku masih bertaksa ria dengan pendapatku
Kupingku tak mendengarmu
Mataku jelalatan tak menentu
Mulutku merajah jahannam pada sumpah serapah
“Nak, pulanglah…”
Aku menjilat tanah seperti ular jagoan
Dadaku tegap bak perwira
“Nanti bu…”
Begitu ucapku sambil mengulur waktu
Tak disangka…
Kalimat itu diucapkannya kembali
Mataku memerah, dadaku puspas tak menentu
Sekali lagi ku bentak orang tua itu.
Aku memang pendendam pada orang yang keras kepala.
Perlahan ia senyum,
Sinyal terputus, dari jauh ada isak yang disembunyikan dalam-dalam
Mulutnya mengunci, matanya memejam
Ada jarak yang tak pernah ia bayangkan
Nak, apakah ibumu salah?
Pertanyaan itu tetap tak bisa membela perasaan orang yang berduka
Lagi-lagi ingatannya menerawang jauh
Ia kecewa, tapi mulutnya tak pernah berhenti berdoa.
Bahkan hatinya dibalut sendiri di sepertiga malam
Menghamba sebagai hamba
Menghamba demi anaknya.
Ia selalu pandai menyimpan luka dicelah senyumnya.
Cengkareng, 30 oktober 2020