slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata - Metafor.id
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Monday, 16 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Event Reportase

Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Moh. Ainu Rizqi by Moh. Ainu Rizqi
15 June 2025
in Reportase
0
Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Romo Sindhunata (kanan) sedang mengisi diskusi di Taman Baca Mahanani, Kediri (Sumber: dok. pribadi penulis | Ainu Rizqi)

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

“Rasionalitas mitos itu jangan disepelekan.”
—Sindhunata, Mahanani, 4 Juni 2025

Saat Romo Sindhu mengucapkan itu, seketika saya terhenyak. Sedikit merinding. Barulah setelah itu saya sadar: saya sedang berada dalam momen eureka.

Momen itu cukup terngiang-ngiang dalam diri saya, hingga mendorong saya menuliskan sebuah refleksi singkat yang mungkin jelek-saja-belum.

Momen seperti itu cukup beralasan. Pasalnya, sebagai seseorang yang pernah bergulat dengan filsafat semasa kuliah, banyak hal yang saya ragukan. Termasuk mitos-mitos yang berseliweran sejak saya kecil hingga hari ini. Saat mendengar teman, orang sepuh, atau siapa pun menyampaikan sesuatu yang erat dengan mitos, seketika itu saya menyangkal, “Ah, itu hanya mitos.”

Namun, perjalanan membawa saya pada banyak hal. Saya amat bersyukur memiliki lingkar pertemanan dengan beragam latar belakang. Lambat laun, beberapa teman mulai mengajak saya untuk mendiskusikan hal-ihwal seputar mitos dan lokalitas yang ada di sekitar saya.

Dalam lingkar pertemanan lain pun saya tiba pada pembahasan yang sangat erat kaitannya dengan lokalitas, budaya Jawa, dan local wisdom yang ada. Tentu dalam benak saya selalu ada aneka pergulatan antara yang rasional vs yang irasional. Antara yang nyata vs yang maya. Serta dalam banyak hal, pergulatan itu kerap dimenangkan oleh bagian diri saya yang angkuh.

Singkatnya, saya kerap dirongrong perasaan jumawa bahwa yang rasional-lah yang menang. Yang nyata, yang empiris, itulah yang menjadi batu pijakan bagi kemajuan peradaban. Keangkuhan epistemik semacam itu sempat lama bertahan dalam isi kepala saya.

Hingga akhirnya pertemuan demi pertemuan, percakapan demi percakapan, pengalaman demi pengalaman, membawa saya pada kesadaran purba: bahwa ada kalanya yang tak nampak, yang irasional, itulah yang menjadi nyala api bagi redupnya peradaban.

Sindhunata, Kediri, dan Hal-hal yang Tercecer dari Keseharian

Perjumpaan saya dengan Sindhunata sebenarnya sudah sejak beberapa tahun silam. Sejak saya menempuh pendidikan di Jogja, nama Sindhunata cukup akrab dengan saya. Beberapa kali saya berjumpa dengannya di Bentara Budaya, dalam pameran Djoko Pekik, atau di acara-acara lain. Lebih jauh lagi, perjumpaan saya dengan nama Sindhunata saat saya bergulat mesra dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Sebuah catatan pribadi Pramoedya Ananta Toer yang ia tuliskan semasa ditahan tanpa pengadilan di Pulau Buru. Dalam buku tersebut, Pram menuliskan ada dua orang wartawan, Trisno Juwono dari Pikiran Rakyat Bandung dan wartawan muda, Sindhunata, dari Kompas.

Pram juga menuliskan bahwa sebelum ke Pulau Buru, Sindhunata telah dua kali berkunjung ke rumah istri dan anak-anak Pram. Pertemuan Sindhunata dengan Pram tersebut bagi saya merupakan pertemuan yang hangat, intim, sekaligus penuh keakraban. Sebab Sindhunata membawa pesan yang mendalam dari keluarga Pram, dalam pencarian saya, diketahui pula bahwa Sindhunata ternyata dititipi sebuah dokumen penting oleh Pram, yang kemudian diserahkan Sindhunata kepada jurnalis luar negeri agar dokumen itu aman.

Dari situ saya mulai meraba-raba seputar Sindhunata. Mengikuti tulisan-tulisannya di Kompas dan waktu pada akhirnya membawa saya ke Mahanani, sebuah taman baca di Kediri.

Saya bergiat di Mahanani terbilang belum lama. Dalam waktu yang tak lama tersebut, banyak hal yang membuat saya amat bersyukur. Salah satunya ialah kedatangan Sindhunata ke Taman Baca Mahanani ini.

Menyambut kedatangan Sindhunata, kami di Mahanani pun berinisiatif membuat acara dengan tajuk PERJAMUAN SINDHUNATAN. Sehari sebelum Sindhunata datang di Kediri, kami menggelar bedah buku karya-karya Sindhunata. Karya-karya yang dibincangkan yaitu, Putri Cina, Anak-anak Semar, Menyusu Celeng, dan Bayang-bayang Ratu Adil.

Saya sendiri mendapat bagian untuk membincangkan karyanya yang berjudul Bayang-bayang Ratu Adil. Saat membaca buku tersebut, bagian awal sudah disuguhkan Sindhunata dengan Kediri. Sesuatu yang amat dekat dengan saya.

Mengapa Kediri? Ya, sebab membicarakan ratu adil mau tak mau harus menisbatkan nama Jayabaya, yang petilasannya ada di Kediri. Sindhunata pun menuliskan hal itu dalam bukunya, bahkan hingga disertasinya.

Banyak orang menganggap bahwa ratu adil itu ialah sosok fiktif. Mitos belaka. Namun bagi Sindhunata tidak. Ratu adil dikajinya begitu mendalam dan intim. Beruntungnya pula, pencariannya yang mendalam itu ia bagikan dalam karyanya.

Sindhunata memotret ratu adil bukan sekadar sosok. Melampaui itu, ratu adil bagi Sindhunata adalah spirit perlawanan yang dilanggengkan oleh wong cilik. Sindhunata tak hendak mendudukkan ratu adil sebagai sosok atau bukan, historis atau ahistoris, melainkan sebagai nyala api yang membakar gairah hidup wong cilik; yang papa, yang menderita, yang dihisap-tandaskan oleh penindasan.

Hal itu kiranya yang membuat Sindhunata berhasil melanskap wong cilik dengan pembelaan-pembelaannya terhadap narasi mitologis yang dibangun. Tentunya narasi mitologis itu pula yang kerap diabaikan, sebab seolah-olah hal itu tak rasional, tak ilmiah, tak relevan, pseudo-sains.

Padahal, menurut Sindhunata saat sarasehan di Mahanani, dengan melarang wong cilik menjauhi mitos dan menganggap orang yang percaya mitos itu adalah orang terbelakang ialah sebentuk penindasan yang dilanggengkan. Oleh karena itu Sindhunata mengatakan, “Jangan anti terhadap mitos. Justru tugas kita membela dan menyampaikan aspirasi mereka yang dibalut melalui mitos tersebut. Hidup mereka sudah cukup sengsara. Melalui mitos, harapan-harapan mereka terbangun.”

Sindhunata juga menegaskan agar kita perlu memiliki kepekaan mitologis. Maksudnya agar kita peka terhadap narasi-narasi mitos yang dibawakan oleh wong cilik. Dalam mitos itu terdapat perlawan, harapan, dan cara wong cilik menyiasati hidupnya.

“Mitos itu cara bertahan wong cilik. Melalui mitos, wong cilik melahirkan harapan. Makanya mitos itu suatu bentuk kecerdikan wong cilik dalam melanjutkan hidup di bawah berbagai tekanan.”—Sindhunata.

Kekuasaan yang Sembrono dan Wong Cilik yang Selalu Dimanfaatkan

Sebagai pengkaji wong cilik yang tekun, tentunya sikap kritis dan skeptis pada kekuasaan selalu lekat pada Sindhunata. Tak habis-habisnya Sindhunata mengingatkan pada kami bahwa mitos itu baik bagi wong cilik, sebab dengan mitos itu mereka berimajinasi, memiliki pengharapan, dan dengan mitos mereka—sebagaimana nama lakon wayang yang dipentaskan dalang cilik Madjid Panjalu sebelum sarasehan dengan Sindhunata dimulai—selalu Tuku Pangarep-arep.

Justru yang membuat mitos nampak usang sebenarnya para politisi itu sendiri. Kita tahu, bagaimana mereka memanfaatkan mitos guna kepentingannya sendiri. Tiap pemilu, akan selalu ada selentingan bahwa ratu adil adalah si A, atau si S, bahkan si U. Lewat pemilu pula wong cilik dijejali bansos, hal yang menyiratkan bahwa, “Akulah si ratu adil itu, sebab kelaparan kalian telah aku sembuhkan untuk saat ini. Maka pilihlah aku yang akan menyejahterakan kalian!”

Begitulah janji-janji politik bertebaran. Wong cilik pun makin rentan. Namun, adakah ratu adil itu, kesejahteraan itu, menghinggapi wong cilik? Tidak! Atas nama rakyat, mereka memperkaya diri sendiri. Seperti dalam tembang Jula Juli Dangdut yang dibacakan Sindhunata di Mahanani, negara ini bukannya berbagi kesejahteraan, malah justru bagi-bagi tambang.

Parahnya lagi, hal semacam ini sudah bertahan sejak lama. Sindhunata sendiri dalam disertasinya mencatat bahwa perjuangan wong cilik mendambakan rat adil ini, yang dirisetnya, sejak abad 19. Mulai dari Perang Jawa, Perlawanan Samin, hingga Sarekat Islam. Namun apa faktanya? Hingga hari ini penderitaan itu masih bersitahan di peluh-peluh mereka yang papa.

Kendati demikian, alih-alih perlawanan itu pudar, justru perlawanan itu masih ajeg dalam diri wong cilik. Ajegnya perlawanan itu berkat adanya mitos yang berjabat tangan dengan erat pada alam pikiran wong cilik.

Saya jadi teringat dengan salah satu sesepuh desa yang mengatakan bahwa di pohon besar itu (pohon dekat rumah saya) ada penunggunya—berupa makhluk gaib tak kasat mata. Dengan demikian, pohon itu jangan ditebang sembarangan. Biarkan ia hidup jika tak ingin penunggunya murka.

Dari mitos itu, saya mendapatkan kesadaran bahwa mereka-mereka yang memegang mitos macam itu justru orang terdepan yang menjaga ekologis. Sebagaimana yang ditulis Sindhunata dalam buku Bayang-bayang Ratu Adil, bahwa wong cilik itu tak memahami bahasa ekologis, tetapi mengalami ekologis. Oleh karena itu, mereka cukup baik menjaga hubungan dengan alam. Meski hubungan itu kerap kali dibumbui mitos.

Namun begitulah cara wong cilik berjuang melawan keserakahan kapitalisme. Begitulah cara mereka guna mewariskan udara segar dan keberlangsungan ekologis untuk anak cucu kelak.

Diinsafkan Kembali, Dipertemukan Kembali pada Lokalitas

“Sarasehan Wong Cilik” yang dihelat di Mahanani telah usai. Namun perenungan kembali pada diri sendiri ini menolak selesai. Setelah berdialog panjang lebar dan menyempatkan diri berdialog dengan salah satu orang terdekat Sindhunata, saya menemukan sesuatu yang sempat jauh dari diri saya: refleksi keseharian atas hal-hal yang terabaikan.

Perjamuan Sindhunatan membuat saya makin bisa berdamai dengan kultur yang berjalin kelindan dengan mitologis. Kini, setiap mendengar sebuah mitos didengungkan, saya menemukan ada kesegaran lain. Ada perspektif yang cukup indah. Benar memang kata Sindhunata saat menutup sarasehan tersebut, “Dalam mitos yang dinarasikan wong cilik ada keindahan.”

Keindahan itu berupa spirit, harapan, perlawanan, dan perjuangan untuk menghadapi hidup yang melulu tak menentu. Saya menangkap bahwa Sindhunata bukan sedang mengajak kita untuk percaya pada mitos, tapi mengajak kita untuk melihat tanda-tanda, meraba gejala-gejala, simbol-simbol yang ada di balik mitos.

Agaknya saya mulai sadar, bahwa tanpa mitos, mungkin hidup ini kelewat hambar dan hampa tak terkira.[]

Tags: ekologisesaikearifan lokalkelestarian lingkunganliterasiMahananimitosreportasesindhunata
ShareTweetSendShare
Previous Post

Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Moh. Ainu Rizqi

Moh. Ainu Rizqi

Alumni Aqidah Filsafat Islam UINSUKA dan Guru Honorer yang gemar ngopi sambil menulis

Artikel Terkait

Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
Reportase

Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta

24 May 2024

METAFOR.ID - Yogyakarta | Pada Kamis, 23 Mei 2024 Forum Buku Berjalan Indonesia ikut merayakan Hari Buku Nasional di Yogyakarta....

Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
Reportase

Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival

21 May 2024

METAFOR.ID | KEDIRI – Bertepatan dengan Hari Buku Nasional 2024, Taman Baca Mahanani yang didukung oleh sejumlah komunitas menyelenggarakan "Mahanani...

Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
Reportase

Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan

5 May 2024

JAKARTA - Minggu, 5 Mei 2024, Forum Buku Berjalan merayakan 4 tahun komunitasnya. Sejak berdiri, komunitas ini berperan sebagai media...

Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
Reportase

Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa

31 March 2024

METAFOR.ID - Jumat malam (29/03/2024) telah berlangsung kegiatan "Puasa Puisi feat Mantra-Mantra" hasil kolaborasi antara Filosotoy dan Warung Sastra di...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Alasan Kenapa Self-Love Sulit Dilakukan

Alasan Kenapa Self-Love Sulit Dilakukan

29 October 2021
Menjajaki Belanda: Dekapan Mimpi yang Jadi Nyata

Menjajaki Belanda: Dekapan Mimpi yang Jadi Nyata

5 July 2022
Latu

Latu

18 March 2021
Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

16 February 2021
Drama Korea Yumi’s Cell dan Mencintai Diri

Drama Korea Yumi’s Cell dan Mencintai Diri

3 November 2021
Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

11 January 2023
Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

Hartojo Andangdjaja: Menulis Puisi dengan Bahasa yang Jernih

11 October 2021
Kisah Penjual Jamu dan Hukum yang Aneh

Kisah Penjual Jamu dan Hukum yang Aneh

29 May 2021
Promothean

Promothean

1 February 2021
Dimulai dari Ibu

Dimulai dari Ibu

6 May 2021

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa

Kategori

  • Event (11)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (9)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In