Kebetulan tulisan saya kemarin di rubrik ini bertali-singgung dengan Israel. Kebetulan juga saya seorang pemalas akut. Daripada cari bahan nyangkem baru, mending lanjut ngrasani Israel saja. Mumpung masih viral dan anget. (Kapan Israel tidak viral dan anget?).
Oke, lupakan world cup U-20, FIFA, Erick Tohir, sambatan Hokky Caraka, atau penolakan-penolakan yang menyebabkan dramaturgi geger wong ngoyak pildun itu. Selain sepakbola ternyata memang bukan gawan bayi bangsa kita, juga karena PSSI sudah sebaiknya berhenti hidup sebagai memori kolektif di dalam kepala kita semua. Berikan mereka waktu untuk menentukan apakah sebaiknya beralih menjadi paguyuban mancing atau komunitas kontes kicau burung. Mengingat kredibilitas mereka yang makin ke sini makin nyungsep (Jw: merosot), sudah saatnya mereka mengurus hal-hal yang lebih sederhana dan tidak membutuhkan IQ yang prima-prima amat.
Bicara Israel, saya selalu ingat Etgar Keret (alih-alih ingat imperialismenya), penulis cerpen dan novel bergaya ngocol kelahiran Ramat Gan. Jokes-jokes garingnya (hampir segaring Teuku Wisnu) seperti memang disengaja untuk mengikis kebencian pembaca terhadap tanah kelahirannya. Saya selalu senang untuk mengungkapkan ini, “kalau ada satu alasan untuk tidak membenci Israel, itu adalah Etgar Keret.”
Performa kocaknya agak sedikit menurun di buku terakhirnya yang saya beli, “Galat di Ujung Galaksi“. Tapi tetap tidak membuat rasa kagum saya berkurang. Karena kapan pun hidup sumpek, kita tetap bisa membaca “Cara Menulis Kreatif“, “Supir Bus yang Bercita-cita Menjadi Tuhan“, atau “Crazy Glue“.
Tetapi saya tahu kamu-kamu ini tidak ada yang suka membaca. Kamu og. Lihat judul berita di Twitter saja langsung di-quote tweet sebelum dibuka link-nya. Kalau ada postingan infografis, pertanyaanmu di kolom komentar adalah sesuatu yang sudah dijelaskan di dalam infografisnya. Tingkat baca rendah tapi tingkat nggemesi-nya tinggi. Kita og. Benar-benar sudah tidak ada yang mengagetkan di sini. Kecuali ketika kemarin Megawati bertanya, “kangen apa tidak sama ibu?” WKWKWK.
Selain lewat sastra, kamu juga sebenarnya bisa berkenalan dengan Israel lewat dunia film. Ada series berjudul “Fauda” di Netflix. Doron beserta tim spionase khususnya ditugasi membantu Mossad untuk mengurai atau menggagalkan serangan-serangan teror para jihadis Palestina. Terdiri dari 4 seasons, kamu akan disuguhi kelindan konflik yang setidaknya bisa membuatmu tidak terlalu biner hitam-putih memandang konflik perang tak berkesudahan ini.
Ada Israel, Yahudi, dan Zionis. Tiga-tiganya kadang adalah satu di dalam pemahaman kita. Kemudian Yahudi punya turunan, ada suku Ashkenazi, Sephardi, dan Mizrahim. Ketiganya belum tentu setuju dengan Israel, apalagi Zionisme. Terus ada lagi Naturei Karta. Agudath Yisrael. Yudaisme Haredi. Yahudi pun ada yang liberal, ultra-liberal, ortodoks, agak ortodoks, bisa juga ultra-ortodoks. Kalau Israel Adesanya sih masih mudah dipahami, sekadar fighter wibu yang bulan kemarin kehilangan sabuk light-heavyweight-nya di tangan Alex Pereira.
Sementara di tempat saya ada satu kawasan yang dijuluki ‘ISRAEL’: Istana Raja Lonthe. Yang itu paling mudah dipelajari. Israel yang terakhir adalah Israel dengan pengertian paling kalcer di dalam batok kepala saya.
Bagaimana, bingung kan? Sama, saya juga. Tapi setidaknya lumayan, orang bingung itu sering terhindar dari sikap judgemental dan sok iyes. Tinggal dibumbui sedikit curiosity dan paket data, niscaya kumpulan para bingung akan lahir kembali di dunia sebagai selancar peta ilmu. Kecuali hobimu memang menolak-nolak ilmu pengetahuan, maka tidak ada yang aneh dari kejadian sepekan terakhir. Sudah fix kalian ini individu mbalelo. Cocok masuk parlemen jadi sohibnya Arteria Dahlan.[]
Dramaga, 3 April 2023
________________
Editor: M. Naufal Waliyuddin