Rasakan dan cermati sekelilingmu, Ponk. Dunia ini serba tergesa-gesa. Orang-orang di jalan raya, lihatlah, baik pengendara roda dua sampai penumpang roda sepuluh, mereka seolah sedang dikejar-kejar waktu. Banyak gejala yang terpancar di wajah mereka: ketakutan terlambat datang ke kantor, takut kena pares telat tiba di sekolah, khawatir kena marah pemesan satu bak truk pasir, kewegahan dan ketidakbetahan diri dengan kondisi macet, serta gelagat halus dari kekosongan jiwa pada diri mereka sendiri saat melamun resah di kala lampu merah.
Hidup di zaman ini, waktu terasa seperti memburu. Ruang-ruang semakin sesak. Sementara diri dan keseharian kita tak kunjung berubah. Dalam gerak kehidupan yang melesat sedemikian laju, sebisa mungkin aku menghindari kata “sibuk”, Ponk. Sebab, jika tidak, itu akan menyelinap masuk ke alam bawah sadarku. Kemudian bagai gunung es di kutub utara, alam bawah sadar—yang diibaratkan seperti bagian bawah gunung es yang lebih besar dan tak terlihat—akan lebih banyak memengaruhi perilaku dan watak keseharianku.
Sepadat apapun aktivitas, dalam hari Senin umpamanya, aku tetap akan mengharamkan mulut dan jemariku untuk berkata sibuk kepada siapa pun. Bahkan status profil WhatsApp tidak pernah kusetel sebagai “Sedang Sibuk”. Ini tidak lain adalah upaya politik psikologis kecil. Sebuah siasat dan seni mengakali diri sendiri.
Tujuannya biar secara batin dan kejiwaan, aku tidak tertekan oleh apapun dan tidak sampai merasa seolah-olah segala hal sedang kulakukan—tanpa kumengerti apa hasil yang ingin kucapai dengan melakukan itu semua. Itu kuperhitungkan demi kesadaran reflektif bahwa setiap harinya aku masih memiliki banyak waktu luang. Dari waktu luang itulah, aku bisa lebih produktif.
“Dalam hidupku sebisa mungkin aku menghindari kata ‘sibuk’ hanya demi memberi sugesti bahwa diriku masih memiliki banyak waktu luang. Dari situ aku bisa lebih produktif dan hidup secara lebih santuy–sepadat apapun aktivitas keseharianku.”
Dengan menghindari kata sibuk, secara tidak langsung aku mengkhalifahi setiap jengkal waktu secara lebih bijak dan berbuah. Minimal, menghasilkan satu puisi atau sekadar ide cerita dan tulisan mentah.
Kau pun tahu sendiri, Ponk, bahwa ada jurang yang cukup lebar antara kata “sibuk” dan “produktif”. Yang pertama akan menjerumuskanmu pada sensasi kelelahan yang tidak membahagiakan, sedang yang kedua akan sangat (mungkin) mengarahkanmu pada rasa lelah yang lega dan menyenangkan. Sibuk kerap dekat dengan multi-tasking dan pekerjaan dangkal, sementara produktif lebih condong ke single-tasking dan kerja mendalam.
Belum lagi jika kau kaitkan dengan bagaimana motif kita melakukan sesuatu. Saat kita “sibuk”, orientasi kita kerap melenceng dari yang sebenarnya, bisa jadi karena tuntutan kantor, sekolah, atau apapun yang lebih sering tidak kita sukai ketimbang kita sukai. Hal itu akan memicu pusing, stress, frustrasi. Apalagi jika kau tipe orang yang perfeksionis. Siap-siap mengacak-acak rambutmu sendiri lantaran puyeng bin spaneng.
Namun berbeda saat kita tidak berkata sibuk sewaktu ditanya teman. Misalnya, ada karibmu hendak mengajak nongkrong sambil gibah, lantas kau jawab, “Sepurane, Lur, aku sek kudu ngeseng” (Maaf, sob, aku kebelet beol). Sambil diam-diam di batinmu kau melisankan “aku ingin produktif”. Pokoknya, sebisa mungkin hindari menggunakan kata sibuk. Sepenuh apapun jadwal harianmu. Mending jujur sedang apa atau mengganti kata sibuk dengan kalimat: “Sek, Lur, aku pengen produktif dino iki. Ora melu sek yo!” (Jawa: Bentar, sob, aku pengin produktif dulu hari ini. Gak ikut dulu, ya!)
Asal jangan kau imbuhi dengan re-(produktif). Bisa geger warga AU. Wong polos macam kau ini kan belum (atau tidak akan?) menikah. Mau sama siapa kau begituan, hah? Kambing tetangga?[]