Halo, apa kabar?
Sudah berapa banyak teman yang kau punya?
Sudah berapa banyak (mantan) kekasih yang kau sakiti dan kau pun tersakiti?
Sudah berapa bagian bumi yang pernah kau pijak?
Dan seberapa ingat kau dengan itu semua?
Seberapa sering akal dan hatimu tegang?
Seberapa sering pula akal dan hatimu bermain-main?
Seberapa sering kau tegang dengan cinta, dan kaupun bermain-main dengannya?
Dan seberapa handal kau memposisikan tegang dan bermain-mainmu itu?
****
Notifikasi whatsapp malam itu berdering. Kutunda beberapa menit sampai apa yang kukerjakan sudah beres. Nampaknya dari Om Beben Jazz, musisi sekaligus pengampu Komunitas Jazz Kemayoran. Kebetulan di rentang waktu chat itu, kami sedang membahas The Beatles. Rupanya, Mas Beben juga fans berat The Beatles. Bahkan lebih radikal dari saya yang cuma bondo internet, ia punya banyak koleksi original kaset dan buku seputar Beatles.
Setelah saya dibikin iri dengan koleksinya, saya todong Om Beben dengan pertanyaan remeh, “Lagu The Beatles mana yang paling berkesan buat Om Beben?”
“Secara personal, In My Life,” disebutnya.
Saya tahu lagunya, cuma belum menemukan apa yang menjadikan lagu itu menjadi lagu favorit Mas Beben. Dari segi musiknya, tidak semistis Yesterday dan Something yang pernah kubahas. Juga permainan nadanya tidak sekaya While My Guitar Gently Weeps.
Progresi chord-nya pun seperti kebanyakan lagu ballad pada umumnya. Tidak banyak keluar dari family chord “A mayor” yang menjadi nada dasar atau Do-nya. Cuma ada tambahan chord 4-minor atau Fa-minor saja, yang menjadi jembatan halus untuk kembali ke Do.
Atmosfer musiknya bright dan ceria. Namun ada sedikit transisi Fa-mayor ke Fa-minor nya yang memberikan nuansa lembut.
Menyerah dengan sisi musikalitas yang saya belum menemukan sisi jazzy-nya, maka otomatis Google-lah yang menjawabnya. Mencari liriknya, dan ternyata makjleb. Langsung saja saya respons ke Om Beben bahwa lagu itu pantas untuk di-Add to favourite, atau minimal pantas diacungi jempol.
Om Beben menjawab, “Saya bayangkan itu Gua Hira-nya John, setiap manusia yang suka berpikir mendalam punya gua Hira-nya sendiri.” Tak heran juga, sebab keempat Beatle—panggilan untuk personil The Beatles—adalah pemikir yang dalam buat saya, terlebih John Lennon.
Sebab Gua Hira bukan sekadar dimana tempatnya, di bukit mana dia berada, atau seberapa luas tempatnya. Melainkan peristiwa yang terjadi didalamnya, bagaimana Kanjeng Rasul Muhammad SAW mendapat wahyu pertamanya disana. Dengan proses tafakkur yang tak main-main pula, tentunya.
Maka Gua Hira adalah dimanapun tempatmu berada, kau bersama dengan-Nya. Dimanapun kau bersama dengan-Nya, kau ber-tafakkur atas segala-galanya.
***
“There are places i’ll remember
All my life though some has changed”
Disanalah tempat-tempat yang akan kuingat sepanjang nafasku. Tempat-tempat dimana telah terbangun kesedihan, kebahagiaan, kemarahan, dan rasa-rasa yang lain pula. Kuingat sepanjang waktu, meski seiring waktu berubahlah tempat-tempat itu.
“Some forever not for better
Some has gone and some remain”
Sebagian dari tempat-tempat itu masih kukuh. Kukuh untuk tak berubah menjadi lebih baik. Lebih baik atau tidak, tiada pengaruh terhadap ada atau tiadanya tempat itu. Bukan, bukan perihal tata ruangnya. Bukan pula keartistikan tempatnya. Seperti ada subyektivitas kesan orang yang pernah menginjakkan kaki didalamnya.
“All this places had their moments
With lovers and friends, i still can recall”
Ah, kenangan adalah subyektivitas yang tentu kembali pada kesan tiap-tiap orang. Bersama orang terkasih yang terdahulu, bersama teman-teman yang turut mengisi waktu, maka kenangan turut pula terbangun di tempat itu. Jelas betul, masih bisa kuingat.
“Some are dead and some more are living
In my life, I love them all”
Maka diantara orang-orang yang turut andil dalam kenanganku ini, ada yang tiada bisa lagi untuk mengukir kenangan denganku, ada pula yang masih terus berlangsung membikin kenangan-kenangan untuk masa yang aku pun tak tahu akan bagaimana. Ah, dalam hidupku ini, aku mencintai mereka semua.
Diantara kenangan-kenangan yang tersisa dari mereka, bukan selalu kenangan manis yang menyertaiku. Sebab kenangan itu sendiri adalah hal-hal yang membekas dalam ingatanku. Kebaikan mereka, ketulusan mereka, hingga perendahan mereka atas diriku yang memang sudah rendah ini. Aku dan mereka sama saja, sama-sama random. Bisa berubah kapan saja, sesuka hati.
Tapi, nampaknya ada sosok yang konsisten dalam memproduksi cinta-kasihnya,
“But of all these friends and lovers
There is no one compares with You”
Dari teman-teman dan kekasih-kekasih yang pernah meninggikan dan pula merendahkanku, tiada satu pun dari mereka yang pantas kubandingkan dengan-Mu, Tuhan. Kau bukan cuma tiada bandingannya, namun juga tak pantas untuk dibandingkan dengan siapapun. Sungguh, Kau tak pernah ada kepalsuan. Meski ada misteri-misteri yang Engkau sendiri membimbingku untuk membukanya.
“And these memories lose their meaning
When I think of love as something new”
Dan pahit-manisnya kenangan ini seketika kehilangan maknanya, Kekasih. Ketika kutafakkuri “Cinta” sebagai sesuatu yang baru. Yang aku sendiri belum pernah menemukan titik kesadaran cintaku bagaimana. Oh, rupanya cinta bukan tentang kata-katanya, katamu. Sebab rasa bukan hal yang definitif. Maka telah dan terus aku belajar, Kekasih, tentang cinta yang Kau ajarkan dan Kau tunjukkan itu.
“Though I know I’ll never lose affection
For people and things that went before”
Kendati aku tahu aku takkan pernah memupuskan kasih sayangku pada mereka, yang mereka pun pergi entah kemana arahnya. Namun tetap, kasih sayangku untuk mereka tiada pergi dari hati.
“I know I’ll often stop and think about them
In my life, I love You more”
Aku mencintai mereka, baik yang masih menemani maupun yang telah pergi. Dan aku tahu juga, Kekasih, bahwa aku akan sering terombang-ambing untuk memikirkan atau tiada memikirkan mereka sama sekali. Toh hidup ini begitu dinamis. Apa yang kulakukan sekarang, akan mengarah pada siapa yang akan kupikirkan. Tapi tidak dengan senyum-Mu, Kekasih. Bilamana aku tiada insecure, aku akan bilang,
“Sepanjang perjalanan hidupku, aku betul-betul lebih mencintai-Mu.”
****
Maka bukan semata-mata ketegangan dan kemistisan lah yang paling pantas untuk mengungkapkan cinta kepada-Nya. Dengan tiadanya ketegangan, maka bukan lantas kita bermain-main dengan-Nya.
Betul memang, bahwa kehidupan di dunia ini tiada lain adalah senda gurau. Senda gurau pun ada tata aturannya sendiri, bukan? Tentang bagaimana membedakan norma dan etika ketika bersenda gurau dengan teman sendiri, dengan orang tua, dengan orang asing, dan sebagainya.
Bermain musik, bermain sepakbola, dan semacamnya itu, bukankah butuh keseriusan yang bukan main-main?
Maka tafakkur lah salah satu jalan yang bisa menuntun kita menuju pada cinta kasih-Nya. Berpikir mendalam. Meningkatkan optimalitas daya pikir yang dibekali oleh-Nya. Beriringan dengan menemukan Gua Hira bagi masing-masing kita.
Sejauh ini, dimanakah Gua Hira-mu?