Eh, apa kabar bangsamu itu?
Yang kamu bangga-banggakan kamu hidup di dalamnya
Apa kabar negerimu itu?
Yang kamu bangga-banggakan Bhinneka Tunggal Ika-nya meski tak tahu betul Tunggal atau malah Gagal
Apa kabar duniamu itu?
Yang setiap hari menyuarakan kedamaian, cinta-kasih, dan kebaikan lainnya sementara setiap detik terjadi pula permusuhan, kebencian, dan pembunuhan?
Coba kamu lihat, perhatikan, amati, terka—syukur-syukur kamu renungi—bagaimana negerimu sejauh ini. Dan sebutkan satu saja kata yang betul-betul mewakili pandanganmu itu tadi. Subhanallah kah? Yakin? Bangsamu ini memang kaya, kok, tapi apa iya kekayaan itu milik sendiri? Masya Allah kah? Yakin? Semua yang terjadi memang atas perkenan-Nya, tapi apa iya Tuhan kerso dengan kita yang terus-menerus menyelingkuhi-Nya? La Ilaha Illallah kah? Yakin? Kamu bilang “tiada Tuhan selain Allah”, tapi apa iya negerimu ini punya kesadaran kalau punya Tuhan?
Eh, kok malah jadinya aku menginterupsi pandanganmu. Yasudah, sebutkan saja apa uneg-unegmu itu. Bilamana boleh bebas berkata, maka pisuhan-pisuhan lah yang keluar dari mulutku setelah berkaca pada negeri sendiri. Entah jancuk, asu, bajingan, dan kawan-kawannya, pokoknya satu pisuhan itu relevan betul buatku.
***
Renungan, bualan, atau sesalan terhadap dunia rupanya tak cuma dialami oleh orang racetho sepertiku. Musisi besar seperti band andalanku, The Beatles, juga sering membikin musik berupa renungan itu tadi. Mereka bukan sekadar grup band pop-rock yang “cuma” main musik, tapi juga “membaca”. Membaca dirinya sendiri, membaca fenomena di sekitarnya, dan sebagainya.
Om George Harrison, yang pernah kurasani di “Keraguan dalam Keyakinan“ kemarin, juga sering menelurkan renungannya berupa lagu. While My Guitar Gently Weeps, misalnya. Ia terinspirasi dari konsep relativisme yang orang Timur pahami; bahwa segala sesuatu relatif (terpengaruhi/dipengaruhi) terhadap sesuatu yang lain. Maka tiada yang namanya peristiwa itu terjadi secara tidak sengaja—tidak mendapat pengaruh dari sesuatu yang lain.
While My Guitar Gently Weeps ini salah satu dari 30 nomor yang ada di album kesembilan The Beatles, White Album, yang dirilis tahun 1968. Sealbum ada tiga puluh lagu? Hmmm, kok kayak semudah itu kalo mau bikin album. Dan ya, googling aja sendiri kalau mau tahu seberapa hitsnya album dan nomor tersebut. Terlalu banyak penghargaannya. Mlz.
“I look at you all, see the love there that’s sleeping”
Kupandang kalian, kulihat cinta yang sedang terlelap
Ah, inilah rasanya diriku. Memandang kalian di jalanan, di perkantoran, di kampus-kampus, di dunia maya, dan kulihat ada cinta di sana. Ada cinta, memang. Tapi cinta itu terlelap. Yang sadar adalah kebencian, saling menjatuhkan, iri dengki, dan peristiwa-peristiwa yang sama sekali tak menunjukkan bahwa itu berdasar pada cinta.
“While My Guitar Gently Weeps”
Sedang gitarku lirih menangis
Bilamana kusebut gitar adalah bagian dari diriku—bukan sekadar alat di luar diriku, maka gitar pun merasakan apa yang saat itu juga kurasakan. Menangis lirih, merintih, tertunduk sayu.
“I look at the floor and I see it needs sweeping”
Kupandang lantai dan kulihatnya butuh sapuan
Lantai sebagai representasi dari tanah tempat kita berpijak; di dunia, di Indonesia, di Jakarta, di Istana Negara, misalnya. Pasir-pasir, debu-debu, sampah-sampah dari ukuran terkecil hingga terbesarnya berserakan di lantai itu. Andai saja aku punya kuasa, wewenang, dan kesiapan untuk membersihkan dan menyapunya, maka kelak kulakukan. Oh ya, kalau pun punya kesiapan, aku juga belum diberitahu di mana sapunya disembunyikan. Kata mereka, “Biarkan saja seperti ini. Sudah biasa. Hidupmu saja yang terlalu suka bersih.”
“Still my guitar gently weeps”
Masih saja, gitarku lirih menangis.
Transisi dari verse di atas menuju reff unik juga, sebagaimana lagu-lagu The Beatles biasanya. Bila di verse memainkan nada dasar minor, lebih tepatnya A minor, maka di reff-nya bermodulasi ke A mayor. Tak seperti kebanyakan lagu pop pada umumnya, memang. Bagus, sih, toh tiap orang dan kelompok punya ciri khasnya sendiri-sendiri.
“I don’t know why nobody told you
How to unfold your love”
Tiada kumengerti, mengapa tak seorangpun berkata padamu
Bagaimana untuk membuka cintamu
Coba perhatikan, sudah berapa banyak agamawan, influencer, guru, dosen, hingga pejabat yang menyuruhmu untuk melakukan kebaikan dan berporos pada cinta-kasih? Namun tiada yang mengajakmu untuk menikmati berbuat baik dan cinta itu sendiri? Lantas bagaimana kita bisa tahu bahwa baik dan cinta itu dibutuhkan?
“I don’t know how someone controlled you
They bought and sold you”
Tiada kumengerti, bagaimana seseorang mengendalikanmu
Mereka membeli dan menjualmu
Pernahkah tersirat bahwa kita ini sedang diperjualbelikan sebagaimana barang elektronik? Dibeli dengan uang berupa janji-janji yang tak kunjung dijumpai setitik saja bukti. Dijual harga diri kita dengan semurah-murahnya, flash sale, ke hadapan pembesar dunia? Di mana sekarang harga diri bangsamu, Cuk?
Empat larik kalimat di reff tersebut mewakili klimaks dari kebingunganku sendiri. Mbuh wis. Selama penelitianku sebagai wong cilik, hanya “ngopo to” yang terus-menerus menyertai setiap peristiwa. Mbok plis jangan keterlaluan gitu, lho.
“I look at the world and I notice it’s turning
While my guitar gently weeps”
Kupandang dunia dan kuperhatikan ia berubah
Sedang gitarku lirih menangis
“Lho, seiring berjalannya waktu ya tentu saja ada yang berubah, masak ndak mau menerima perubahan?” Kata mereka. Bro, kalau saja gitarku—yang menjadi bagian dari diriku—ini bisa lirih menangis, apa perubahan yang terjadi itu menunjukkan perubahan ke arah kebaikan? Atau sebaliknya, menuju ke arah kebusukan? Kemajuan atau kemunduran?
“With every mistakes we must surely be learning
Still my guitar gently weeps”
Dengan segala kesalahan-kesalahan itu, harusnya kita belajar
Sedang gitarku lirih menangis
Tanpa fafifu, sudah jelas betul maksud liriknya. Tapi, untuk mengaku kita ini salah juga butuh kejujuran, mental, dan keikhlasan. Masih banyak orang yang merasa seolah-olah paling benar, tanpa kesadaran bahwa dia juga bisa salah. Sungguh butuh kelegowoan hati untuk mengakui bahwa kita ini bisa salah.
“I don’t know how you were diverted
You were perverted too
I don’t know how inverted
No one alerted you”
Tiada kumengerti bagaimana bisa terbelok arahmu
Kau pun tersesat pula
Tiada kumengerti bagaimana bisa terbalikkan arahmu
Tak seorangpun mengingatkanmu
Ah, lagi-lagi tiada kumengerti. Ngopo to. Bisa-bisanya kamu terbelok dari arah tujuan hidupmu. Sulit beristiqomah dalam nilai-nilai kebaikanmu. Hingga tersesat dalam nikmatnya kebusukan yang terbungkus gemerlapnya harta dan tahta. Terbalik pula tujuanmu dari cinta yang kau elu-elukan itu. Dengan banyaknya orang yang mengingatkanmu, atau lebih tepatnya menyuruhmu, untuk melakukan kebaikan, tanpa mengajak untuk menikmati berbuat baik itu sendiri.
***

Heran, bingung dan kosong akan apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Tapi hidup ya tetaplah hidup. Mau gimana-gimana, ya kita hidup di dunia. Semoga terus kokoh keyakinan kita untuk berjalan ke arah yang semestinya.
Makjleb rasanya sewaktu kudengarkan dan kubaca lirik lagu ini pertama kali. Kok aku ini merasa tersindir. Membanggakan akal dan hati yang dibekali-Nya, mengelu-elukan cinta yang juga dari-Nya, tapi malah sembrono dalam memfungsikannya. Mirip, aku ini siapa, toh? Kok berani-beraninya merasa paling sip di antara yang lain. Sok yes.
Lagu-lagu renungan gubahan Om Harrison seperti ini sudah amat banyak ditelurkan. Maklum saja, Om Harrison sempat meguru spiritual langsung ke India, selain belajar memainkan sitar juga. Secara langsung maupun tak langsung, prosesnya di India berpengaruh terhadap segi musikalitas dan lirik dari The Beatles itu sendiri. Notasi yang digunakan, instrumen yang dimainkan, dan lirik-lirik yang ditulis tak jauh dari hasil belajarnya di India. Ilmu kelakone kanthi laku, ya, Om?
Oh ya, kembali ke percakapan di awal cerita tadi, bagaimana kabarmu? Baik-baik saja dengan duniamu yang saat ini? Yakin? Apa ndak mau misuh?[]
(Lirih Menangis, Karya Dul Jabbar. Di Publish di ©Metafor.id)